Oleh: Baharuddin Thahir•
Dosen Tetap pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri
Abstract:
Changes meant as a response to the pressures and pressures that exist. Merumakan changes a necessity in life, good for indididu, communities, and organizations, not least a big organization called government and the states. Change is not an easy process because it takes a positive attitude on the circumstances that are and will be ongoing. Changes in the level of government bureaucracy would be difficult to implement if we are faced with a government culture that has not been free from the tendency of aristocracy, feudalism, and the arrogance of power. But if the national leadership has a strong political will that improvement efforts is not impossible to implement because of the hierarchy kewenanganpun have an integrative effect.
Successful management of change in the government bureaucracy would bring the government to give meaning and respond to the constantly evolving dynamics. Bsik government has the spirit to realize policies that create social, political, economic, and cultural stability in order to reduce the risk of medium and long term. All done for the benefit of the people by promoting social justice for all Indonesian people.
Key Words: Change management, bureaucracy, good governance
PENDAHULUAN
Perubahan merupakan suatu keniscayaan pada kehidupan manusia. Setiap mahluk hidup pasti akan mengalami perubahan, baik dalam konteks fisik, prilaku hingga peradaban. Berkaitan dengan ini, filsuf Heraclitus mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang permanen, kecuali perubahan. Pernyataan tersebut kiranya masih mengandung kebenaran sampai saat ini. Berbagai faktor yang menyebabkan perubahan bisa bermacam-macam, misalnya semakin besarnya tuntutan dari luar individu atau organisasi. Hal yang sama berlaku pada organisasi pemerintahan.
Perubahan pada dunia pemerintahan semata-mata dilakukan untuk merespons dinamika internal dan eksternal. Perubahan dilakukan oleh setiap pihak yang menyadari bahwa proses itu penting bagi peningkatan kualitas pelaksanaan fungsi pemerintahan. Bahkan reformasi pemerintahan yang dilakukan saat ini dapat dipandang sebagai upaya dan pendekatan untuk memecahkan masalah yang timbul akibat adanya perubahan.
Oleh karena perubahan sebagai suatu keniscayaan maka pimpinan organisasi pemerintahan dituntut memiliki (1) kepekaan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi diluar organisasi yang dipimpinnya; (2) mempunyai keterampilan dan keberanian untuk melakukan perubahan didalam organisasi demi peningkatan kemampuan organisasional untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan; dan (3) mampu memperhitungkan dan mengakomodasikan dampak dari perubahan-perubahan yang terjadi itu.
Sampai disini, masalah klasik yang sering muncul sebagai salah satu bentuk respons terhadap perubahan ialah adanya pihak yang tidak setuju pada proses perubahan meski pihak tersebut menyadari bahwa perubahan tidak bisa dihindarkan. Dengan demikian manajemen perubahan menjadi suatu hal yang penting agar proses dan dampak dari perubahan tersebut mengarah pada titik positif.
Jika diasumsikan bahwa masalah birokrasi pemerintah daerah relatif sama dengan kondisi birokrasi di pusat maka lembaga tersebut masih dihadapkan banyak masalah dalam mengembangkan good governance, antara lain tantangan dalam pemberantasan KKN, clean government, kebijakan yang tidak jelas, kelembagaan belum ditata dengan baik, penempatan personil tidak kredibel, dan enforcement menggunakan sentra kehidupan politik yang kurang berorientasi pada kepentingan bangsa.
Tulisan ini mengetengahkan berbagai hal yang berkenaan dengan manajemen perubahan khususnya dalam konteks perubahan pada birokrasi pemerintahan. Pada bagian awal penulis menguraikan perubahan dan manajemen perubahan, selanjutnya dibahas pula eksistensi birokrasi dan dinamika perubahan yang diikuti dengan uraian tentang birokrasi pemerintahan dan responsifitas terhadap globalisasi serta manajemen perubahan dan tata kelola pemerintahan yang baik. Bagian akhir tulisan ini mengetengahkan aneka masalah yang seringkali menghadang proses perubahan serta cara mengatasinya.
PERUBAHAN DAN MANAJEMEN PERUBAHAN
Seperti telah dikemukakan pada bagian sebelumnya bahwa perubahan merupakan tanggapan terencana atau tak terencana terhadap tekanan-tekanan dan desakan-desakan yang ada. Perubahan mempunyai manfaat bagi kelangsungan hidup suatu organisasi, tanpa adanya perubahan maka dapat dipastikan bahwa usia organisasi tidak akan bertahan lama. Perubahan dapat terjadi karena sebab-sebab yang berasal dari dalam maupun dari luar organisasi tersebut.
Perubahan bertujuan agar organisasi tidak menjadi statis melainkan tetap dinamis dalam menghadapi perkembangan jaman, kemajuan teknologi dan dibidang pelayanan masyarakat adalah peningkatan kesadaran masyarakat akan pelayanan yang berkualitas. Jones (2000;….) memandang bahwa perubahan terdiri dari 3 (tiga) type yang berbeda, dimana setiap tipe memerlukan strategi manajemen perubahan yang berbeda pula. Tiga macam perubahan tersebut adalah:
a. Perubahan Rutin, dimana telah direncanakan dan dibangun melalui proses organisasi;
b. Perubahan Peningkatan, yang mencakup keuntungan atau nilai yang telah dicapai organisasi;
c. Perubahan Inovatif, yang mencakup cara bagaimana organisasi memberikan pelayanannya.
EKSISTENSI BIROKRASI DAN DINAMIKA PERUBAHAN
Beberapa kalangan menilai bahwa manajemen perubahan pada organisasi pemerintah relatif lebih lebih sulit dilakukan karena pada birokrasi pemerintahan setidaknya memiliki ciri, antara lain (1) Sangat terikat dengan regulasi / peraturan; (2) Merupakan konsensus politik / kesepakatan; (3) Masa kepemimpinan pendek; dan (4) Terlalu banyak yang dituntut oleh stakeholders. Paling tidak hal ini tergambar dari pendapat Michel Crozier dalam Fred W. Riggs (1996) yang mengatakan bahwa birokrasi sebagai “pemerintahan oleh sejumlah biro”, yakni pemerintahan oleh sejumlah departemen Negara yang diisi oleh staf yang ‘ditunjuk’ dan bukan ‘dipilih’ atau diorganisasikan secara hierarkhis, dan keberadaannya bergantung pada otoritas yang mutlak. Kekuasaan birokrasi lanjutnya dalam pengertian ini menggambarkan tentang berkuasanya hukum dan tatanan, tetapi pada saat yang sama pemerintahan tersebut tanpa didukung oleh peran serta mereka yang diperintah.
Jika kita berkaca pada pandangan tersebut di atas untuk menilai praktek birokrasi di Indonesia maka sesungguhnya banyak hal yang dapat kita paparkan. Karena bagaimanapun, praktek birokrasi Indonesia telah berjalan selama lebih dari setengah abad dengan segala dinamika ketatanegaraan, politik, sosial maupun budaya yang mengirinya.
Paparan dengan nuansa ‘history” dimulai ketika Indonesia resmi menjadi Negara yang lepas dari penjajahan, maka pada saat itu kita tidak memiliki modal yang memadai selain semangat perjuangan dan nasionalisme. Pada awal terbentuknya Negara tersebut, tepatnya ketika era demokrasi parlementer, pemerintah pusat dihadapkan pada pembentukan DI/TII dibeberapa daerah Jawa Barat di bawah pimpinan Kartosuwiryo, di Aceh oleh Teungku Daud Beureuh yang ditandai dengan berdirinya Negara Bagian Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII), sementara itu di Ambon, Soumukil memproklamirkan RMS. Pada pertengahan 1950-an, muncul pemberontakan PRRI yang berpusat di Sumatra Barat dan Permesta yang berbasis di Sulawesi Utara. Pemberontakan ini muncul sebagai bentuk kekecewaan daerah terhadap pemerintah pusat yang dianggap mengabaikan aspirasi dan kepentingan rakyat setempat.
Selanjutnya, ketika Indonesia memasuki demokrasi terpimpin, Pada masa itu birokrasi sangat jauh dari fungsi idealnya, yaitu melaksanakan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini disebabkan pemerintah lebih disibukkan dengan menangani berbagai pemberontakan yang terjadi di berbagai daerah. fungsi utama pemerintahan adalah mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keinginan untuk melaksanakan tujuan tersebut, secara sadar usaha mengakomodasi paham dan aliran yang diintegrasikan dalam suatu ajaran menjadi tidak terhindarkan. Pada saat itulah Soekarno menggaungkan ajaran NASAKOM (nasionalisme, agama, dan komunisme). Celakanya konsepsi integrasi atas beberapa ideology tersebut politik justru melahirkan konflik antara ketiga aliran tersebut yang berujung pada terjadinya serangkaian pemberontakan dan separatis. Al-Rasyid dalam Buyung (1999)
Pada masa itu pelayanan publik nyaris tidak memperoleh perhatian dari Birokrasi. Birokrasi yang memiliki cakupan urusan pemerintahan mulai dari bagaimana pelayanan terhadap bayi yang baru lahir sampai pada pengurusan kerangka yang sudah lama terkubur tidak begitu nampak pada masa Orde Lama. Birokrasi lebih tampil sebagai safeguard dari persatuan dan kesatuan bangsa. Ada tiga kendala utama dari organisasi publik yang menyebabkan hal tersebut, yaitu pertama adanya desakan untuk menjaga kemerdekaan dan kesatuan. Kedua, rendahnya tingkat kedewasaan politik yang membentuk sistem politik yang bukan saja pluralistik, namun juga anomik-anarkik. Ketiga, iklim internasional yang masih mengacu pada pembentukan geo-politik daripada geo-ekonomi. Ketiga kendala tersebut yang membuat organisasi publik gagal membuat kebijakan publik yang adaptif terhadap perubahan jaman (Riant Nugroho Dwidjowijoto:2000)
Pada zaman Orde Baru, birokrasi benar-benar dikonsolidasikan dan diefektifkan di bawah kekuasaan Negara dan partai penguasa. Sepanjang 32 tahun, organisasi publik memberikan kontribusi yang signifikan. Manajemen yang terpusat senantiasa mengacu pada kebijakan prioritas kepada pengajaran ketertinggalan secara ekonomi daripada pengembangan demokrasi. Fungsi ini diperankan oleh birokrasi mulai dari pusat hingga ke daerah. Dampak dari proses pemanfaatan birokrasi oleh penguasa adalah organisasi publik cenderung menjadi sebuah entitas tersendiri yang menjadi kuat daripada publiknya. Birokrasi dalam beberapa tingkat menyublim menjadi bagian dari kekuasaan, bahkan identik dengan kekuasaan itu sendiri. Birokrasi menjadi kelas tersendiri dalam masyarakat yang pada gilirannya menjadikan mereka tidak mampu lagi merespons kepentingan publik karena adanya kecenderungan lebih memenuhi kebutuhan dan kepentingan penguasa dan dirinya. Pada era Orde Baru tersebut kondisi birokrasi relatif sama dengan yang dialami oleh negara berkembang lainnya yaitu birokrasi serba lamban dan tidak efisien.
Keadaan demikian dijelaskan oleh Fred W. Riggs (1996) bahwa Fenomena Birokrasi pemerintahan di Negara berkembang, di mana keadaan masyarakatnya sedang dalam proses transisi dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri atau dari tradisional menuju masyarakat modern masih cenderung bersifat paternalistik, formalistik, tumpang tindih, nepotis, dan mekanistik. Keadaan tersebut mengakibatkan pertanggungjawaban pegawai tidak pada apa yang baik atau apa yang perlu dikerjakan, namun hanya mengikuti peunjuk pimpinannya semata.
Semenjak era reformasi yang ditandai dengan jatuhnya pemerintahan Orde baru pada tahun 1998, banyak terjadi perubahan manajemen pemerintahan di Indonesia. Perubahan manajemen perubahan tersebut membawa pengaruh terhadap terjadinya perubahan dalam menata birokrasi pemerintah. (Thoha: 2011)
Uraian di atas menunjukkan bahwa birokrasi senantiasa hadir dalam setiap dinamika perkembangan dan perubahan ketatanegaraan, meski dalam konteks pemerintahan di Indonesia maka eksistensi birokrasi dapat saja dipandang belum melaksanakan fungsi idealnya khususnya berkenaan dengan hubungan pemerintahan.
BIROKRASI PEMERINTAHAN DAN RESPONSIFITAS TERHADAP GLOBALISASI
Era globalisasi menimbulkan tantangan-tantangan baru, harapan-harapan baru, peluang-peluang baru, demikian pula masalah-masalah baru yang menuntut dilakukannya reformasi dalam birokrasi agar lebih mampu mengantisipasi perubahan. Reformasi yang dimaksud meliputi pembenahan-pembenahan yang bersifat struktural dan fungsional menuju terciptanya birokrasi yang efisien dan produktif, meningkatnya mutu sumber daya aparat sebagai pelaku birokrasi, perbaikan sistem imbalan dan pola pengembangan karier pegawai, serta peningkatan pengawasan dan pengendalian (Achmady:1999)
Pada zaman yang modern dimana masalah yang dihadapi oleh pemerintahan semakin kompleks menjadikan birokrasi sebagai organisasi yang hidup. Kehadiran birokrasi tidak dalam pengertian fisik semata, namun dapat memberi makna dan senantiasa merespons adanya dinamika yang berkembang. Jika lembaga publik (dibaca: birokrasi) mengalami kegagalan yang diakibatkan ketidakpekaan terhadap lingkungan dan pada akhirnya tidak mampu merespon perubahan, sementara perubahan sebagai keadaan yang tidak terelakkan maka organisasi publik tersebut cenderung dihadapkan pada dua pilihan yang tidak produktif, yaitu menjadi kaku atau menolak, serta menjadi lamban dan masa bodoh.
Memang disadari bahwa meski praktek birokrasi dewasa ini sudah mengalami kemajuan yang ditunjukkan dengan adanya e-government namun birokrasi pemerintahan (di Indonesia) cenderung masih membawa semangat dan kondisi yang diwarisi sebelumnya, seperti hierarkhi yang berakar dengan kultur pamongpraja. Karena bagaimanapun juga birokrasi cukup terikat kepada kondisi budaya masyarakat. Mengubah budaya birokrasi bukan hal yang mudah apalagi birokrasi yang belum terbebas dari kecenderungan aristokrasi, feodalisme, dan arogansi kekuasaan. Namun jika para pimpinan nasional memiliki political will yang kuat upaya perbaikan itu bukan hal yang mustahil untuk dilaksanakan karena adanya hierarkhi kewenanganpun memiliki pengaruh yang integratif termasuk dalam dunia birokrasi.
Menanggapi globalisasi dan modernisasi itu, kedepan, birokrasi diharapkan dapat berfungsi entrepreneurial yang diwujudkan melalui kebijakan yang menciptakan lingkungan makroekonomi yang stabil dalam rangka mengurangi resiko investasi jangka menengah dan panjang. Selain itu, birokrasi melaksanakan berbagai program deregulasi dan debirokratisasi untuk mengurangi high cost economy dengan proses usaha dan reduksi biaya administrasi, terutama yang menyangkut perdagangan, investasi dan kegiatan usaha ekonomi pada umumnya. Dalam rangka mengemban fungsi itu pula, birokrasi mengarahkan kebijakan moneter dan fiscal untuk mendukung iklim usaha yang sehat dan bergairah dengan tetap memberi perhatian pada upaya menjaga stabilitas ekonomi. (Thoha dalam Dharma:1999)
Sementara itu, sebagai bagian dari globalisasi ialah liberalisasi ekonomi memaksa birokrasi untuk menyerahkan sebagian dari kewenangannya pada mekanisme pasar. Hal itu berarti peranan birokrasi ke depan lebih pada influencing and directing. Pelaksanaan peran tersebut dapat diaplikasikan dalam berbagai upaya, diantaranya pertama birokrasi semakin mencurahkan perhatian terhadap pelayanan kepada publik (customer-driven) dan tidak asyik dengan dirinya sendiri; kedua Birokrasi mendorong kompetisi menuju the best performance bukan saja antara sektor swasta dan sektor pemerintah, dan antar lembaga di dalam sektor publik; dan ketiga Birokrasi mengembangkan langkah-langkah preventif dibandingkan langkah-langkah kuratif. Hal ini dilakukan dalam rangka mengantisipasi perkembangan masa depan.
MANAJEMEN PERUBAHAN DAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK
Seiring dengan berlangsungnya reformasi dan dimulainya demokrasi pasca era orde baru maka seyogianya disadari bahwa telah terjadi perubahan mendasar yang berlangsung sangat cepat dalam struktur birokrasi, tidak terkecuali di tingkat pemerintah daerah. Dalam konteks pemerintahan daerah, hal tersebut dapat saja dipandang sebagai penataan birokrasi pemerintah daerah, yang secara normatif merupakan bagian dari rekayasa sosial guna mengatasi krisis multidimensi yang melanda Indonesia. Dalam skala kecil, penataan birokrasi di daerah ini dilakukan untuk kepentingan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi. Sementara dalam skala yang lebih besar proses tersbut dapat dinilai sebagai usaha untuk menciptakan lingkungan kerja dan budaya organisasi yang sehat dan kondusif, sehingga tingkat kepuasaan semakin meningkat dan pada saat yang sama akan menyehatkan iklim investasi.
Untuk mewujudkan tujuan itu, sepertinya dibutuhkan penataan administrasi negara dan birokrasi pemerintahan dalam rangka membangun kinerja pemerintahan daerah yang lebih efektif dan profesional. Setidaknya, label yang diberikan masyarakat mengenai bad birocracy pada pemerintah daerah dapat dikurangi.
Menariknya dan sekaligus menjadi tantangan karena Sejalan dengan era globalisasi saat ini mengindikasikan bahwa masyarakat pada umumnya telah memasuki tahapan the age of high mass-consumption. Kondisi ini ditunjukkan pada adanya pergeseran pada sektor-sektor dominan terhadap kebutuhan barang dan jasa sejalan dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Sebagian besar masyarakat telah terpenuhi kebutuhan dasarnya yakni sandang, pangan dan papan serta berubahnya struktur angkatan kerja yang meningkat tidak hanya proporsi jumlah penduduk perkotaan melainkan juga jumlah angkatan kerja yang terampil.
Menghadapi kondisi masyarakat tersebut di atas, maka diperlukan peran pemerintahan dalam memberikan pelayanan secara efiktif, efisien dan secara profesional. Tantangan perubahan masyarakat dan tantangan terhadap kinerja pemerintahan selain menghadapi masyarakat yang semakin cerdas dan masyarakat yang semakin banyak tuntutannya/variatif serta memenuhi standar kualitatif sangatlah terbatas. Ungkapan klasik dan kritis seperti “kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah”, misalnya, berkembang seiring dengan penampakan kinerja aparatur yang kurang baik di mata masyarakat. Ungkapan itu menggambarkan betapa buruknya perilaku pelayanan birokrasi kita yang berpotensi menyuburkan praktek percaloan dan pungli. Kondisi inilah yang sebetulnya memunculkan iklim investasi di daerah kurang kompetitif.
Hal itu berarti dibutuhkan upaya menekan sekecil mungkin terjadinya kesenjangan antara tuntutan pelayanan masyarakat dengan kemampuan aparatur pemerintah untuk memenuhinya, sebab keterbatasan sarana dan prasarana yang telah ada tidak dapat dijadikan sebagai alasan pembenar tentang rendahnya kualitas pelayanan kepada masyarakat. Kemandirian dan kemampuan yang handal dari pemerintah merupakan syarat tetap terpeliharanya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah untuk memenuhi segala kebutuhan pelayanan umumnya.
Dalam kaitan inilah maka pemerintah perlu memiliki semangat kewirausahaan (entrepreneurship). Ide penataan ulang pemerintahan ini sejalan dengan pemikiran dan perkembangan administrasi negara yang berusaha melakukan reinventing government pada awal tahun 1990-an. Salah satu ide pokok dari perubahan administrasi negara tersebut adalah pentingnya public service sebagai orientasi dari birokrasi pemerintahan.
Penataan birokrasi pemerintah daerah, secara normatif merupakan bagian dari rekayasa sosial guna mengatasi krisis multidimensi yang melanda. Dalam skala kecil atau mikro, hal ini dilakukan untuk kepentingan memulihkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi. Dalam skala makro untuk menciptakan lingkungan kerja dan budaya organisasi yang sehat dan kondusif, sehingga tingkat kepuasaan masyarakat (customer satisfaction) meningkat dan iklim investasi menyehat.
Untuk mewujudkan tujuan itu, perlu ada manajemen perubahan dalam birokrasi pemerintahan dalam rangka membangun kinerja pemerintahan yang efektif, efisien, dan profesional. Setidaknya, “stempel” yang diberikan masyarakat mengenai buruk dan berbelit-belitnya birokrasi pada pemerintah baik pusat ataupun di daerah dapat dikurangi. Peran pemerintahan ditunjukkan melalui pelaksanaan fungsi pemerintahan dengan melihat beberapa tuntutan masyarakat diatas dengan kondisi pemerintah sebagai pelayan masyarakat saat ini yaitu : (1) Pemerintahan dengan sistem Birokrasi yang lamban dan terpusat; (2) Pemenuhan terhadap ketentuan dan peraturan (bukannya berorientasi misi); (3) Rantai hierarki/komando yang rigid; maka pemerintah saat ini harus berupaya merubah perannya untuk masa yang akan datang yaitu melalui penerapan konsep Reinventing Government.
Menurut David Osborne dan Peter Plastrik (1997), Reinventing Government adalah transformasi sistem dan organisasi pemerintah secara fundamental guna menciptakan peningkatan dramatis dalam efektifitas, efesiensi, dan kemampuan mereka untuk melakukan inovasi. Transformasi ini dicapai dengan mengubah tujuan, sistem insentif, pertanggungjawaban, struktur kekuasaan dan budaya sistem dan organisasi pemerintahan. Dalam konteks itu perubahan menjadikan pemerintah siap untuk menghadapi tantangan-tantangan dalam hal pelayanan terhadap masyarakat, menciptakan organisasi-organisasi yang mampu memperbaiki efektifitas dan efisiensi pada saat sekarang dan di masa yang akan datang.
PERUBAHAN: ANEKA MASALAH DAN CARA MENGATASINYA
Birokrasi pemerintahan merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai komponen. Perubahan pada salah satu komponen akan berpengaruh terhadap komponen yang lain. Manusia merupakan komponen yang paling sulit diprediksi dan dalam kaitannya dengan perubahan organisasi, merupakan persoalan yang paling rumit. Orang memiliki kecenderungan menolak adanya perubahan sebab perubahan akan membawa mereka ke dalam situasi yang tidak menentu. Pada umumnya orang menginginkan situasi yang stabil sehingga cenderung mempertahankan kondisi dan kedudukan yang telah mapan. Nadler (1983: 554-555) mengemukakan bahwa dalam upaya melaksanakan perubahan organisasi terdapat tiga masalah yang dihadapi, yaitu:
Resistensi atau Penolakan Terhadap Perubahan
Resistensi terhadap perubahan diartikan sebagai suatu keadaan dimana terdapat sekelompok orang (anggota organisasi) cenderung menolak perubahan dan berusaha mempertahankan status dan kenyamanan kerja sebagaimana yang telah mereka alami sebelumnya. Perubahan yang terjadi bisa saja membawa kelompok resisten tersebut kepada situasi yang tidak menentusehingga menimbulkan kecemasan. Berbagai kemudahan yang mereka peroleh selama ini juga terancam tidak lagi akan mereka rasakan. Perubahan organisasi biasanya akan mengguncang berbagai hubungan yang sudah terjalin sebelumnya. Kecuali itu anggota yang sudah memiliki kedudukan dan kekuasaan tertentu merasa terancam pula dengan adanya perubahan organisasi. Dalam situasi yang baru tidak memberi kepastian dan jaminan pihak-pihak resisten akan memperoleh kedudukan yang lebih tinggi atau setidak-tidaknya sama dengan apa yang mereka dapatkan dalam kondisi lama. Dari berbagai alasan itulah maka anggota cenderung menolak perubahan organisasi.
Sebagai respon terhadap masalah resistensi diperlukan tindakan penyadaran bagi anggota akan arti pentingnya perubahan dalam rangka peningkatan keefektifan organisasi. Dengan demikian timbul motivasi anggota untuk berpartisipasi aktif dan positif dalam program perubahan yang dilaksanakan.
Pengawasan Organisasi
Masalah kedua berkenaan dengan pengawasan organisasi. Dalam situasi yang normal (sebelum perubahan dilaksanakan) pengawasan mudah dilakukan sebab jalurnya sudah pasti sebagaimana tergambar pada struktur organisasi. Akan tetapi dengan adanya perubahan, situasi akan mengalami perubahan. Organisasi yang memasuki masa transisi diliputi ketidak pastian. Pada situasi yang tidak pasti tersebut prilaku anggota organisasi cenderung semakin sulit terkontrol. Dampaknya ialah semakin sulit pula mendeteksi terjadinya penyimpangan. Mekanisme pengawasan yang biasanya tergambar jelas melalui fungsi yang dimiliki masing-masing struktur organisasi hanya dapat dilakukan dengan efektif pada situasi yang stabil. Dalam masa transisi belum jelas benar siapa mengawasi siapa atau siapa bawahan siapa karena strukturnya mengalami perubahan. Terhadap masalah pengawasan ini, persiapan khusus selama berlangsungnya masa transisi sehingga situasi tidak menentu yang terjadi pada masa itu dapat terkendali menjadi suatu hal yang tidak terelakkan. Cara lain yang mungkin dilakukan ialah menghadirkan instrumen baru dalam suatu organisasi yang memiliki fungsi pengawasan. Paling tidak ini yang dilakukan oleh Pemerintah dengan membentuk lembaga-lembaga pengawas dan pada saat yang sama meningkatkan kontrol masyarakat melalui media massa.
Kekuasaan
Masalah yang ketiga menyangkut masalah kekuasaan. Apalagi pada suatu masyarakat yang masih memiliki ciri Prysmatic society (Fred W. Riggs (1996) dimana masyarakatnya berada suasana yang modern namun dari aspek prilaku masih mempertahankan pola tradisional. Pada keadaan demikian, umumnya masyarakat demikian pula organisasi terdapat kelompok-kelompok informal yang memiliki ’kekuasaan’ dalam mengendalikan organisasi. Kelompok-kelompok itu memiliki kemampuan mempengaruhi pimpinan dan ikut mewarnai kebijakan-kebijakan yang diambil organisasi. Aktivitas kelompok-kelompok seperti itu cenderung bersifat politis. Kelompok-kelompok ini telah memiliki posisi yang mapan dalam struktur yang berlaku. Adanya perubahan organisasi, suasana menjadi tidak jelas sehingga kedudukan mereka terancam. Akibatnya para anggota dan antara kelompok yang ada saling berebut pengaruh agar dapat menduduki posisi kunci dalam struktur yang baru nanti. Situasi seperti itu dapat mempengaruhi pencapaian tujuan perubahan. Menghadapi masalah ini, dapat diperbaiki melalui mekanisme politik yang dinamis dan sehat sehingga sanggup mendukung pelaksanaan program perubahan.
PENUTUP
Perubahan merupakan suatu konsep yang begitu mudah diucapkan bahkan seringkali menjadi jargon politik, namun relative sulit dilaksanakan, apalagi jika perubahan itu diperhadapkan dengan budaya pemerintahan yang belum terbebas dari kecenderungan aristokrasi, feodalisme, dan arogansi kekuasaan. Namun jika para pimpinan nasional memiliki political will yang kuat upaya perbaikan itu bukan hal yang mustahil untuk dilaksanakan karena adanya hierarkhi kewenanganpun memiliki pengaruh yang integratif.
Menghadirkan pemerintah yang menjadi lokomotif perubahan dapat dipikirkan untuk melakukan beberapa pendekatan, antara lain pendekatan kepemimpinan yang secara konsisten menjaga amanah rakyat. Kemampuan menjaga amanah berada pada tataran penjagaan etika pemerintahan. Dimana di dalamnya Birokrasi pemerintahan tidak hanya berpegang pada hukum formal semata namun juga melaksanakan seluruh fungsi pemerintahan pada sisi penegakan etika pemerintahan. Selain itu pemerintahan yang baik ialah pemerintah yang mampu menjadi pengawal pemerintahan dan memiliki karakter kepemimpinan yang sensitif dan responsif terhadap dinamika pemerintahan dan lingkungannya. Jika dihubungkan dengan proses reformasi birokrasi yang saat ini digalakkan maka semangat perubahan menjadi roh pelaksanaan reformasi birokrasi pada bidang kelembagaan, sumber daya manusia dan prilaku birokrasi itu sendiri.
Dibagian akhir tulisan ini, muncul suatu harapan bahwa birokrasi pemerintahan menjadi organisasi yang hidup dimana kehadirannya tidak dalam pengertian fisik semata, namun dapat memberi makna dan senantiasa merespons adanya dinamika yang terus berkembang. Pemerintahan dituntut memiliki jiwa kepemimpinan entrepreneurial yang diwujudkan melalui kebijakan yang menciptakan lingkungan sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang stabil dalam rangka mengurangi resiko jangka menengah dan panjang. Semua dilakukan untuk kepentingan rakyat dengan mengedepankan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Budihardjo, Andreas. 2011. Organisasi menuju pencapaian kinerja optimum. Jakarta: Prasetya Mulya Publishing.
Dwidjowijoto, Riant Nugroho. 2000. Organisasi Publik Masa Depan, Jakarta. Perpod
Handoko. Hani. 2011. Manajemen dalam berbagai Perspektif. Jakarta: Erlangga
Hariyoso, H.S. 2002. Pembaharuan Birokrasi dan Kebijaksanaan Publik. Jakarta: Peradaban
Huntington, P. Samuel. (diterjemahkan oleh M. Sadat Ismail) 2012. Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia. Jakarta: Qalam
Jones. 2000. Organization Design, Process Reeginering and Change Management. New York: Mc Graw Hill.
Kasali, Rheinald. 2010. Change. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Mariana, Dede dan Caroline Paskarina (edit). 2010. Merancang Reformasi Birokrasi di Indonesia. Bandung: AIPI Bandung bekerjasama dengan Puslit KPK LPPM Unpad
Nasution, Adnan Buyung, Harun Al-Rasyid, Ichlasul Amal, dkk. 1999. Federalisme Untuk Indonesia. Jakarta: Kompas Press
Rasyid, M. Ryaas. 2007, Makna Pemerintahan, tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan. Jakarta : Mutiara sumber Widya
_____________________1997. Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan dan Politik Orde Baru. Jakarta: Yarsif Watampone
Riggs, W. Fred. 1996. (diterjemahkan oleh Luqman Hakim) Administrasi Pembangunan Sistem Administrasi dan Birokrasi. Jakarta: Rajawali Press
Saefullah, A. Djadja. 2008. Pemikiran Kontemporer Administrasi Publik, Perspektif Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Era Desentralisasi. Bandung: LP3AN Unpad
Thoha, Miftah. 2011. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era reformasi. Jakarta: kencana
Mac Andrews, Colin dan Ichlasul amal (ed.) 2000. Hubungan Pusat-Daerah dalam Pembangunan. Jakarta: Penerbit PT Raja Grafindo Persada
Dosen Tetap pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri
Abstract:
Changes meant as a response to the pressures and pressures that exist. Merumakan changes a necessity in life, good for indididu, communities, and organizations, not least a big organization called government and the states. Change is not an easy process because it takes a positive attitude on the circumstances that are and will be ongoing. Changes in the level of government bureaucracy would be difficult to implement if we are faced with a government culture that has not been free from the tendency of aristocracy, feudalism, and the arrogance of power. But if the national leadership has a strong political will that improvement efforts is not impossible to implement because of the hierarchy kewenanganpun have an integrative effect.
Successful management of change in the government bureaucracy would bring the government to give meaning and respond to the constantly evolving dynamics. Bsik government has the spirit to realize policies that create social, political, economic, and cultural stability in order to reduce the risk of medium and long term. All done for the benefit of the people by promoting social justice for all Indonesian people.
Key Words: Change management, bureaucracy, good governance
PENDAHULUAN
Perubahan merupakan suatu keniscayaan pada kehidupan manusia. Setiap mahluk hidup pasti akan mengalami perubahan, baik dalam konteks fisik, prilaku hingga peradaban. Berkaitan dengan ini, filsuf Heraclitus mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang permanen, kecuali perubahan. Pernyataan tersebut kiranya masih mengandung kebenaran sampai saat ini. Berbagai faktor yang menyebabkan perubahan bisa bermacam-macam, misalnya semakin besarnya tuntutan dari luar individu atau organisasi. Hal yang sama berlaku pada organisasi pemerintahan.
Perubahan pada dunia pemerintahan semata-mata dilakukan untuk merespons dinamika internal dan eksternal. Perubahan dilakukan oleh setiap pihak yang menyadari bahwa proses itu penting bagi peningkatan kualitas pelaksanaan fungsi pemerintahan. Bahkan reformasi pemerintahan yang dilakukan saat ini dapat dipandang sebagai upaya dan pendekatan untuk memecahkan masalah yang timbul akibat adanya perubahan.
Oleh karena perubahan sebagai suatu keniscayaan maka pimpinan organisasi pemerintahan dituntut memiliki (1) kepekaan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi diluar organisasi yang dipimpinnya; (2) mempunyai keterampilan dan keberanian untuk melakukan perubahan didalam organisasi demi peningkatan kemampuan organisasional untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan; dan (3) mampu memperhitungkan dan mengakomodasikan dampak dari perubahan-perubahan yang terjadi itu.
Sampai disini, masalah klasik yang sering muncul sebagai salah satu bentuk respons terhadap perubahan ialah adanya pihak yang tidak setuju pada proses perubahan meski pihak tersebut menyadari bahwa perubahan tidak bisa dihindarkan. Dengan demikian manajemen perubahan menjadi suatu hal yang penting agar proses dan dampak dari perubahan tersebut mengarah pada titik positif.
Jika diasumsikan bahwa masalah birokrasi pemerintah daerah relatif sama dengan kondisi birokrasi di pusat maka lembaga tersebut masih dihadapkan banyak masalah dalam mengembangkan good governance, antara lain tantangan dalam pemberantasan KKN, clean government, kebijakan yang tidak jelas, kelembagaan belum ditata dengan baik, penempatan personil tidak kredibel, dan enforcement menggunakan sentra kehidupan politik yang kurang berorientasi pada kepentingan bangsa.
Tulisan ini mengetengahkan berbagai hal yang berkenaan dengan manajemen perubahan khususnya dalam konteks perubahan pada birokrasi pemerintahan. Pada bagian awal penulis menguraikan perubahan dan manajemen perubahan, selanjutnya dibahas pula eksistensi birokrasi dan dinamika perubahan yang diikuti dengan uraian tentang birokrasi pemerintahan dan responsifitas terhadap globalisasi serta manajemen perubahan dan tata kelola pemerintahan yang baik. Bagian akhir tulisan ini mengetengahkan aneka masalah yang seringkali menghadang proses perubahan serta cara mengatasinya.
PERUBAHAN DAN MANAJEMEN PERUBAHAN
Seperti telah dikemukakan pada bagian sebelumnya bahwa perubahan merupakan tanggapan terencana atau tak terencana terhadap tekanan-tekanan dan desakan-desakan yang ada. Perubahan mempunyai manfaat bagi kelangsungan hidup suatu organisasi, tanpa adanya perubahan maka dapat dipastikan bahwa usia organisasi tidak akan bertahan lama. Perubahan dapat terjadi karena sebab-sebab yang berasal dari dalam maupun dari luar organisasi tersebut.
Perubahan bertujuan agar organisasi tidak menjadi statis melainkan tetap dinamis dalam menghadapi perkembangan jaman, kemajuan teknologi dan dibidang pelayanan masyarakat adalah peningkatan kesadaran masyarakat akan pelayanan yang berkualitas. Jones (2000;….) memandang bahwa perubahan terdiri dari 3 (tiga) type yang berbeda, dimana setiap tipe memerlukan strategi manajemen perubahan yang berbeda pula. Tiga macam perubahan tersebut adalah:
a. Perubahan Rutin, dimana telah direncanakan dan dibangun melalui proses organisasi;
b. Perubahan Peningkatan, yang mencakup keuntungan atau nilai yang telah dicapai organisasi;
c. Perubahan Inovatif, yang mencakup cara bagaimana organisasi memberikan pelayanannya.
EKSISTENSI BIROKRASI DAN DINAMIKA PERUBAHAN
Beberapa kalangan menilai bahwa manajemen perubahan pada organisasi pemerintah relatif lebih lebih sulit dilakukan karena pada birokrasi pemerintahan setidaknya memiliki ciri, antara lain (1) Sangat terikat dengan regulasi / peraturan; (2) Merupakan konsensus politik / kesepakatan; (3) Masa kepemimpinan pendek; dan (4) Terlalu banyak yang dituntut oleh stakeholders. Paling tidak hal ini tergambar dari pendapat Michel Crozier dalam Fred W. Riggs (1996) yang mengatakan bahwa birokrasi sebagai “pemerintahan oleh sejumlah biro”, yakni pemerintahan oleh sejumlah departemen Negara yang diisi oleh staf yang ‘ditunjuk’ dan bukan ‘dipilih’ atau diorganisasikan secara hierarkhis, dan keberadaannya bergantung pada otoritas yang mutlak. Kekuasaan birokrasi lanjutnya dalam pengertian ini menggambarkan tentang berkuasanya hukum dan tatanan, tetapi pada saat yang sama pemerintahan tersebut tanpa didukung oleh peran serta mereka yang diperintah.
Jika kita berkaca pada pandangan tersebut di atas untuk menilai praktek birokrasi di Indonesia maka sesungguhnya banyak hal yang dapat kita paparkan. Karena bagaimanapun, praktek birokrasi Indonesia telah berjalan selama lebih dari setengah abad dengan segala dinamika ketatanegaraan, politik, sosial maupun budaya yang mengirinya.
Paparan dengan nuansa ‘history” dimulai ketika Indonesia resmi menjadi Negara yang lepas dari penjajahan, maka pada saat itu kita tidak memiliki modal yang memadai selain semangat perjuangan dan nasionalisme. Pada awal terbentuknya Negara tersebut, tepatnya ketika era demokrasi parlementer, pemerintah pusat dihadapkan pada pembentukan DI/TII dibeberapa daerah Jawa Barat di bawah pimpinan Kartosuwiryo, di Aceh oleh Teungku Daud Beureuh yang ditandai dengan berdirinya Negara Bagian Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII), sementara itu di Ambon, Soumukil memproklamirkan RMS. Pada pertengahan 1950-an, muncul pemberontakan PRRI yang berpusat di Sumatra Barat dan Permesta yang berbasis di Sulawesi Utara. Pemberontakan ini muncul sebagai bentuk kekecewaan daerah terhadap pemerintah pusat yang dianggap mengabaikan aspirasi dan kepentingan rakyat setempat.
Selanjutnya, ketika Indonesia memasuki demokrasi terpimpin, Pada masa itu birokrasi sangat jauh dari fungsi idealnya, yaitu melaksanakan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini disebabkan pemerintah lebih disibukkan dengan menangani berbagai pemberontakan yang terjadi di berbagai daerah. fungsi utama pemerintahan adalah mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keinginan untuk melaksanakan tujuan tersebut, secara sadar usaha mengakomodasi paham dan aliran yang diintegrasikan dalam suatu ajaran menjadi tidak terhindarkan. Pada saat itulah Soekarno menggaungkan ajaran NASAKOM (nasionalisme, agama, dan komunisme). Celakanya konsepsi integrasi atas beberapa ideology tersebut politik justru melahirkan konflik antara ketiga aliran tersebut yang berujung pada terjadinya serangkaian pemberontakan dan separatis. Al-Rasyid dalam Buyung (1999)
Pada masa itu pelayanan publik nyaris tidak memperoleh perhatian dari Birokrasi. Birokrasi yang memiliki cakupan urusan pemerintahan mulai dari bagaimana pelayanan terhadap bayi yang baru lahir sampai pada pengurusan kerangka yang sudah lama terkubur tidak begitu nampak pada masa Orde Lama. Birokrasi lebih tampil sebagai safeguard dari persatuan dan kesatuan bangsa. Ada tiga kendala utama dari organisasi publik yang menyebabkan hal tersebut, yaitu pertama adanya desakan untuk menjaga kemerdekaan dan kesatuan. Kedua, rendahnya tingkat kedewasaan politik yang membentuk sistem politik yang bukan saja pluralistik, namun juga anomik-anarkik. Ketiga, iklim internasional yang masih mengacu pada pembentukan geo-politik daripada geo-ekonomi. Ketiga kendala tersebut yang membuat organisasi publik gagal membuat kebijakan publik yang adaptif terhadap perubahan jaman (Riant Nugroho Dwidjowijoto:2000)
Pada zaman Orde Baru, birokrasi benar-benar dikonsolidasikan dan diefektifkan di bawah kekuasaan Negara dan partai penguasa. Sepanjang 32 tahun, organisasi publik memberikan kontribusi yang signifikan. Manajemen yang terpusat senantiasa mengacu pada kebijakan prioritas kepada pengajaran ketertinggalan secara ekonomi daripada pengembangan demokrasi. Fungsi ini diperankan oleh birokrasi mulai dari pusat hingga ke daerah. Dampak dari proses pemanfaatan birokrasi oleh penguasa adalah organisasi publik cenderung menjadi sebuah entitas tersendiri yang menjadi kuat daripada publiknya. Birokrasi dalam beberapa tingkat menyublim menjadi bagian dari kekuasaan, bahkan identik dengan kekuasaan itu sendiri. Birokrasi menjadi kelas tersendiri dalam masyarakat yang pada gilirannya menjadikan mereka tidak mampu lagi merespons kepentingan publik karena adanya kecenderungan lebih memenuhi kebutuhan dan kepentingan penguasa dan dirinya. Pada era Orde Baru tersebut kondisi birokrasi relatif sama dengan yang dialami oleh negara berkembang lainnya yaitu birokrasi serba lamban dan tidak efisien.
Keadaan demikian dijelaskan oleh Fred W. Riggs (1996) bahwa Fenomena Birokrasi pemerintahan di Negara berkembang, di mana keadaan masyarakatnya sedang dalam proses transisi dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri atau dari tradisional menuju masyarakat modern masih cenderung bersifat paternalistik, formalistik, tumpang tindih, nepotis, dan mekanistik. Keadaan tersebut mengakibatkan pertanggungjawaban pegawai tidak pada apa yang baik atau apa yang perlu dikerjakan, namun hanya mengikuti peunjuk pimpinannya semata.
Semenjak era reformasi yang ditandai dengan jatuhnya pemerintahan Orde baru pada tahun 1998, banyak terjadi perubahan manajemen pemerintahan di Indonesia. Perubahan manajemen perubahan tersebut membawa pengaruh terhadap terjadinya perubahan dalam menata birokrasi pemerintah. (Thoha: 2011)
Uraian di atas menunjukkan bahwa birokrasi senantiasa hadir dalam setiap dinamika perkembangan dan perubahan ketatanegaraan, meski dalam konteks pemerintahan di Indonesia maka eksistensi birokrasi dapat saja dipandang belum melaksanakan fungsi idealnya khususnya berkenaan dengan hubungan pemerintahan.
BIROKRASI PEMERINTAHAN DAN RESPONSIFITAS TERHADAP GLOBALISASI
Era globalisasi menimbulkan tantangan-tantangan baru, harapan-harapan baru, peluang-peluang baru, demikian pula masalah-masalah baru yang menuntut dilakukannya reformasi dalam birokrasi agar lebih mampu mengantisipasi perubahan. Reformasi yang dimaksud meliputi pembenahan-pembenahan yang bersifat struktural dan fungsional menuju terciptanya birokrasi yang efisien dan produktif, meningkatnya mutu sumber daya aparat sebagai pelaku birokrasi, perbaikan sistem imbalan dan pola pengembangan karier pegawai, serta peningkatan pengawasan dan pengendalian (Achmady:1999)
Pada zaman yang modern dimana masalah yang dihadapi oleh pemerintahan semakin kompleks menjadikan birokrasi sebagai organisasi yang hidup. Kehadiran birokrasi tidak dalam pengertian fisik semata, namun dapat memberi makna dan senantiasa merespons adanya dinamika yang berkembang. Jika lembaga publik (dibaca: birokrasi) mengalami kegagalan yang diakibatkan ketidakpekaan terhadap lingkungan dan pada akhirnya tidak mampu merespon perubahan, sementara perubahan sebagai keadaan yang tidak terelakkan maka organisasi publik tersebut cenderung dihadapkan pada dua pilihan yang tidak produktif, yaitu menjadi kaku atau menolak, serta menjadi lamban dan masa bodoh.
Memang disadari bahwa meski praktek birokrasi dewasa ini sudah mengalami kemajuan yang ditunjukkan dengan adanya e-government namun birokrasi pemerintahan (di Indonesia) cenderung masih membawa semangat dan kondisi yang diwarisi sebelumnya, seperti hierarkhi yang berakar dengan kultur pamongpraja. Karena bagaimanapun juga birokrasi cukup terikat kepada kondisi budaya masyarakat. Mengubah budaya birokrasi bukan hal yang mudah apalagi birokrasi yang belum terbebas dari kecenderungan aristokrasi, feodalisme, dan arogansi kekuasaan. Namun jika para pimpinan nasional memiliki political will yang kuat upaya perbaikan itu bukan hal yang mustahil untuk dilaksanakan karena adanya hierarkhi kewenanganpun memiliki pengaruh yang integratif termasuk dalam dunia birokrasi.
Menanggapi globalisasi dan modernisasi itu, kedepan, birokrasi diharapkan dapat berfungsi entrepreneurial yang diwujudkan melalui kebijakan yang menciptakan lingkungan makroekonomi yang stabil dalam rangka mengurangi resiko investasi jangka menengah dan panjang. Selain itu, birokrasi melaksanakan berbagai program deregulasi dan debirokratisasi untuk mengurangi high cost economy dengan proses usaha dan reduksi biaya administrasi, terutama yang menyangkut perdagangan, investasi dan kegiatan usaha ekonomi pada umumnya. Dalam rangka mengemban fungsi itu pula, birokrasi mengarahkan kebijakan moneter dan fiscal untuk mendukung iklim usaha yang sehat dan bergairah dengan tetap memberi perhatian pada upaya menjaga stabilitas ekonomi. (Thoha dalam Dharma:1999)
Sementara itu, sebagai bagian dari globalisasi ialah liberalisasi ekonomi memaksa birokrasi untuk menyerahkan sebagian dari kewenangannya pada mekanisme pasar. Hal itu berarti peranan birokrasi ke depan lebih pada influencing and directing. Pelaksanaan peran tersebut dapat diaplikasikan dalam berbagai upaya, diantaranya pertama birokrasi semakin mencurahkan perhatian terhadap pelayanan kepada publik (customer-driven) dan tidak asyik dengan dirinya sendiri; kedua Birokrasi mendorong kompetisi menuju the best performance bukan saja antara sektor swasta dan sektor pemerintah, dan antar lembaga di dalam sektor publik; dan ketiga Birokrasi mengembangkan langkah-langkah preventif dibandingkan langkah-langkah kuratif. Hal ini dilakukan dalam rangka mengantisipasi perkembangan masa depan.
MANAJEMEN PERUBAHAN DAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK
Seiring dengan berlangsungnya reformasi dan dimulainya demokrasi pasca era orde baru maka seyogianya disadari bahwa telah terjadi perubahan mendasar yang berlangsung sangat cepat dalam struktur birokrasi, tidak terkecuali di tingkat pemerintah daerah. Dalam konteks pemerintahan daerah, hal tersebut dapat saja dipandang sebagai penataan birokrasi pemerintah daerah, yang secara normatif merupakan bagian dari rekayasa sosial guna mengatasi krisis multidimensi yang melanda Indonesia. Dalam skala kecil, penataan birokrasi di daerah ini dilakukan untuk kepentingan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi. Sementara dalam skala yang lebih besar proses tersbut dapat dinilai sebagai usaha untuk menciptakan lingkungan kerja dan budaya organisasi yang sehat dan kondusif, sehingga tingkat kepuasaan semakin meningkat dan pada saat yang sama akan menyehatkan iklim investasi.
Untuk mewujudkan tujuan itu, sepertinya dibutuhkan penataan administrasi negara dan birokrasi pemerintahan dalam rangka membangun kinerja pemerintahan daerah yang lebih efektif dan profesional. Setidaknya, label yang diberikan masyarakat mengenai bad birocracy pada pemerintah daerah dapat dikurangi.
Menariknya dan sekaligus menjadi tantangan karena Sejalan dengan era globalisasi saat ini mengindikasikan bahwa masyarakat pada umumnya telah memasuki tahapan the age of high mass-consumption. Kondisi ini ditunjukkan pada adanya pergeseran pada sektor-sektor dominan terhadap kebutuhan barang dan jasa sejalan dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Sebagian besar masyarakat telah terpenuhi kebutuhan dasarnya yakni sandang, pangan dan papan serta berubahnya struktur angkatan kerja yang meningkat tidak hanya proporsi jumlah penduduk perkotaan melainkan juga jumlah angkatan kerja yang terampil.
Menghadapi kondisi masyarakat tersebut di atas, maka diperlukan peran pemerintahan dalam memberikan pelayanan secara efiktif, efisien dan secara profesional. Tantangan perubahan masyarakat dan tantangan terhadap kinerja pemerintahan selain menghadapi masyarakat yang semakin cerdas dan masyarakat yang semakin banyak tuntutannya/variatif serta memenuhi standar kualitatif sangatlah terbatas. Ungkapan klasik dan kritis seperti “kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah”, misalnya, berkembang seiring dengan penampakan kinerja aparatur yang kurang baik di mata masyarakat. Ungkapan itu menggambarkan betapa buruknya perilaku pelayanan birokrasi kita yang berpotensi menyuburkan praktek percaloan dan pungli. Kondisi inilah yang sebetulnya memunculkan iklim investasi di daerah kurang kompetitif.
Hal itu berarti dibutuhkan upaya menekan sekecil mungkin terjadinya kesenjangan antara tuntutan pelayanan masyarakat dengan kemampuan aparatur pemerintah untuk memenuhinya, sebab keterbatasan sarana dan prasarana yang telah ada tidak dapat dijadikan sebagai alasan pembenar tentang rendahnya kualitas pelayanan kepada masyarakat. Kemandirian dan kemampuan yang handal dari pemerintah merupakan syarat tetap terpeliharanya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah untuk memenuhi segala kebutuhan pelayanan umumnya.
Dalam kaitan inilah maka pemerintah perlu memiliki semangat kewirausahaan (entrepreneurship). Ide penataan ulang pemerintahan ini sejalan dengan pemikiran dan perkembangan administrasi negara yang berusaha melakukan reinventing government pada awal tahun 1990-an. Salah satu ide pokok dari perubahan administrasi negara tersebut adalah pentingnya public service sebagai orientasi dari birokrasi pemerintahan.
Penataan birokrasi pemerintah daerah, secara normatif merupakan bagian dari rekayasa sosial guna mengatasi krisis multidimensi yang melanda. Dalam skala kecil atau mikro, hal ini dilakukan untuk kepentingan memulihkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi. Dalam skala makro untuk menciptakan lingkungan kerja dan budaya organisasi yang sehat dan kondusif, sehingga tingkat kepuasaan masyarakat (customer satisfaction) meningkat dan iklim investasi menyehat.
Untuk mewujudkan tujuan itu, perlu ada manajemen perubahan dalam birokrasi pemerintahan dalam rangka membangun kinerja pemerintahan yang efektif, efisien, dan profesional. Setidaknya, “stempel” yang diberikan masyarakat mengenai buruk dan berbelit-belitnya birokrasi pada pemerintah baik pusat ataupun di daerah dapat dikurangi. Peran pemerintahan ditunjukkan melalui pelaksanaan fungsi pemerintahan dengan melihat beberapa tuntutan masyarakat diatas dengan kondisi pemerintah sebagai pelayan masyarakat saat ini yaitu : (1) Pemerintahan dengan sistem Birokrasi yang lamban dan terpusat; (2) Pemenuhan terhadap ketentuan dan peraturan (bukannya berorientasi misi); (3) Rantai hierarki/komando yang rigid; maka pemerintah saat ini harus berupaya merubah perannya untuk masa yang akan datang yaitu melalui penerapan konsep Reinventing Government.
Menurut David Osborne dan Peter Plastrik (1997), Reinventing Government adalah transformasi sistem dan organisasi pemerintah secara fundamental guna menciptakan peningkatan dramatis dalam efektifitas, efesiensi, dan kemampuan mereka untuk melakukan inovasi. Transformasi ini dicapai dengan mengubah tujuan, sistem insentif, pertanggungjawaban, struktur kekuasaan dan budaya sistem dan organisasi pemerintahan. Dalam konteks itu perubahan menjadikan pemerintah siap untuk menghadapi tantangan-tantangan dalam hal pelayanan terhadap masyarakat, menciptakan organisasi-organisasi yang mampu memperbaiki efektifitas dan efisiensi pada saat sekarang dan di masa yang akan datang.
PERUBAHAN: ANEKA MASALAH DAN CARA MENGATASINYA
Birokrasi pemerintahan merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai komponen. Perubahan pada salah satu komponen akan berpengaruh terhadap komponen yang lain. Manusia merupakan komponen yang paling sulit diprediksi dan dalam kaitannya dengan perubahan organisasi, merupakan persoalan yang paling rumit. Orang memiliki kecenderungan menolak adanya perubahan sebab perubahan akan membawa mereka ke dalam situasi yang tidak menentu. Pada umumnya orang menginginkan situasi yang stabil sehingga cenderung mempertahankan kondisi dan kedudukan yang telah mapan. Nadler (1983: 554-555) mengemukakan bahwa dalam upaya melaksanakan perubahan organisasi terdapat tiga masalah yang dihadapi, yaitu:
Resistensi atau Penolakan Terhadap Perubahan
Resistensi terhadap perubahan diartikan sebagai suatu keadaan dimana terdapat sekelompok orang (anggota organisasi) cenderung menolak perubahan dan berusaha mempertahankan status dan kenyamanan kerja sebagaimana yang telah mereka alami sebelumnya. Perubahan yang terjadi bisa saja membawa kelompok resisten tersebut kepada situasi yang tidak menentusehingga menimbulkan kecemasan. Berbagai kemudahan yang mereka peroleh selama ini juga terancam tidak lagi akan mereka rasakan. Perubahan organisasi biasanya akan mengguncang berbagai hubungan yang sudah terjalin sebelumnya. Kecuali itu anggota yang sudah memiliki kedudukan dan kekuasaan tertentu merasa terancam pula dengan adanya perubahan organisasi. Dalam situasi yang baru tidak memberi kepastian dan jaminan pihak-pihak resisten akan memperoleh kedudukan yang lebih tinggi atau setidak-tidaknya sama dengan apa yang mereka dapatkan dalam kondisi lama. Dari berbagai alasan itulah maka anggota cenderung menolak perubahan organisasi.
Sebagai respon terhadap masalah resistensi diperlukan tindakan penyadaran bagi anggota akan arti pentingnya perubahan dalam rangka peningkatan keefektifan organisasi. Dengan demikian timbul motivasi anggota untuk berpartisipasi aktif dan positif dalam program perubahan yang dilaksanakan.
Pengawasan Organisasi
Masalah kedua berkenaan dengan pengawasan organisasi. Dalam situasi yang normal (sebelum perubahan dilaksanakan) pengawasan mudah dilakukan sebab jalurnya sudah pasti sebagaimana tergambar pada struktur organisasi. Akan tetapi dengan adanya perubahan, situasi akan mengalami perubahan. Organisasi yang memasuki masa transisi diliputi ketidak pastian. Pada situasi yang tidak pasti tersebut prilaku anggota organisasi cenderung semakin sulit terkontrol. Dampaknya ialah semakin sulit pula mendeteksi terjadinya penyimpangan. Mekanisme pengawasan yang biasanya tergambar jelas melalui fungsi yang dimiliki masing-masing struktur organisasi hanya dapat dilakukan dengan efektif pada situasi yang stabil. Dalam masa transisi belum jelas benar siapa mengawasi siapa atau siapa bawahan siapa karena strukturnya mengalami perubahan. Terhadap masalah pengawasan ini, persiapan khusus selama berlangsungnya masa transisi sehingga situasi tidak menentu yang terjadi pada masa itu dapat terkendali menjadi suatu hal yang tidak terelakkan. Cara lain yang mungkin dilakukan ialah menghadirkan instrumen baru dalam suatu organisasi yang memiliki fungsi pengawasan. Paling tidak ini yang dilakukan oleh Pemerintah dengan membentuk lembaga-lembaga pengawas dan pada saat yang sama meningkatkan kontrol masyarakat melalui media massa.
Kekuasaan
Masalah yang ketiga menyangkut masalah kekuasaan. Apalagi pada suatu masyarakat yang masih memiliki ciri Prysmatic society (Fred W. Riggs (1996) dimana masyarakatnya berada suasana yang modern namun dari aspek prilaku masih mempertahankan pola tradisional. Pada keadaan demikian, umumnya masyarakat demikian pula organisasi terdapat kelompok-kelompok informal yang memiliki ’kekuasaan’ dalam mengendalikan organisasi. Kelompok-kelompok itu memiliki kemampuan mempengaruhi pimpinan dan ikut mewarnai kebijakan-kebijakan yang diambil organisasi. Aktivitas kelompok-kelompok seperti itu cenderung bersifat politis. Kelompok-kelompok ini telah memiliki posisi yang mapan dalam struktur yang berlaku. Adanya perubahan organisasi, suasana menjadi tidak jelas sehingga kedudukan mereka terancam. Akibatnya para anggota dan antara kelompok yang ada saling berebut pengaruh agar dapat menduduki posisi kunci dalam struktur yang baru nanti. Situasi seperti itu dapat mempengaruhi pencapaian tujuan perubahan. Menghadapi masalah ini, dapat diperbaiki melalui mekanisme politik yang dinamis dan sehat sehingga sanggup mendukung pelaksanaan program perubahan.
PENUTUP
Perubahan merupakan suatu konsep yang begitu mudah diucapkan bahkan seringkali menjadi jargon politik, namun relative sulit dilaksanakan, apalagi jika perubahan itu diperhadapkan dengan budaya pemerintahan yang belum terbebas dari kecenderungan aristokrasi, feodalisme, dan arogansi kekuasaan. Namun jika para pimpinan nasional memiliki political will yang kuat upaya perbaikan itu bukan hal yang mustahil untuk dilaksanakan karena adanya hierarkhi kewenanganpun memiliki pengaruh yang integratif.
Menghadirkan pemerintah yang menjadi lokomotif perubahan dapat dipikirkan untuk melakukan beberapa pendekatan, antara lain pendekatan kepemimpinan yang secara konsisten menjaga amanah rakyat. Kemampuan menjaga amanah berada pada tataran penjagaan etika pemerintahan. Dimana di dalamnya Birokrasi pemerintahan tidak hanya berpegang pada hukum formal semata namun juga melaksanakan seluruh fungsi pemerintahan pada sisi penegakan etika pemerintahan. Selain itu pemerintahan yang baik ialah pemerintah yang mampu menjadi pengawal pemerintahan dan memiliki karakter kepemimpinan yang sensitif dan responsif terhadap dinamika pemerintahan dan lingkungannya. Jika dihubungkan dengan proses reformasi birokrasi yang saat ini digalakkan maka semangat perubahan menjadi roh pelaksanaan reformasi birokrasi pada bidang kelembagaan, sumber daya manusia dan prilaku birokrasi itu sendiri.
Dibagian akhir tulisan ini, muncul suatu harapan bahwa birokrasi pemerintahan menjadi organisasi yang hidup dimana kehadirannya tidak dalam pengertian fisik semata, namun dapat memberi makna dan senantiasa merespons adanya dinamika yang terus berkembang. Pemerintahan dituntut memiliki jiwa kepemimpinan entrepreneurial yang diwujudkan melalui kebijakan yang menciptakan lingkungan sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang stabil dalam rangka mengurangi resiko jangka menengah dan panjang. Semua dilakukan untuk kepentingan rakyat dengan mengedepankan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Budihardjo, Andreas. 2011. Organisasi menuju pencapaian kinerja optimum. Jakarta: Prasetya Mulya Publishing.
Dwidjowijoto, Riant Nugroho. 2000. Organisasi Publik Masa Depan, Jakarta. Perpod
Handoko. Hani. 2011. Manajemen dalam berbagai Perspektif. Jakarta: Erlangga
Hariyoso, H.S. 2002. Pembaharuan Birokrasi dan Kebijaksanaan Publik. Jakarta: Peradaban
Huntington, P. Samuel. (diterjemahkan oleh M. Sadat Ismail) 2012. Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia. Jakarta: Qalam
Jones. 2000. Organization Design, Process Reeginering and Change Management. New York: Mc Graw Hill.
Kasali, Rheinald. 2010. Change. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Mariana, Dede dan Caroline Paskarina (edit). 2010. Merancang Reformasi Birokrasi di Indonesia. Bandung: AIPI Bandung bekerjasama dengan Puslit KPK LPPM Unpad
Nasution, Adnan Buyung, Harun Al-Rasyid, Ichlasul Amal, dkk. 1999. Federalisme Untuk Indonesia. Jakarta: Kompas Press
Rasyid, M. Ryaas. 2007, Makna Pemerintahan, tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan. Jakarta : Mutiara sumber Widya
_____________________1997. Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan dan Politik Orde Baru. Jakarta: Yarsif Watampone
Riggs, W. Fred. 1996. (diterjemahkan oleh Luqman Hakim) Administrasi Pembangunan Sistem Administrasi dan Birokrasi. Jakarta: Rajawali Press
Saefullah, A. Djadja. 2008. Pemikiran Kontemporer Administrasi Publik, Perspektif Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Era Desentralisasi. Bandung: LP3AN Unpad
Thoha, Miftah. 2011. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era reformasi. Jakarta: kencana
Mac Andrews, Colin dan Ichlasul amal (ed.) 2000. Hubungan Pusat-Daerah dalam Pembangunan. Jakarta: Penerbit PT Raja Grafindo Persada