Disampaikan pada Pertemuan Komunitas Ilmiah IPDN (Scientific Traffic tanggal 13 Mei 2015 di Kampus IPDN Cilandak Jakarta. (Materi ini pertama kali disampaikan dalam format orasi ilmiah di Universitas Islam As-Syafi’iyah tanggal 17 Maret 2015 di TMII dalam upacara Wisuda Sarjana)
Saya berangkat dari asumsi bahwa Pemerintahan sudah lama menjadi faktor paling penting dalam mempengaruhi kualitas kehidupan ummat manusia. Secara historis dan empiris, suatu masyarakat bisa maju atau terbelakang, rajin atau malas, kaya atau miskin, pintar atau bodoh, beradab atau biadab, sangat tergantung di lingkungan pemerintahan macam apa masyarakat itu berinteraksi atau berkembang. Ini disebabkan karena pemerintah sebagai wujud konkrit dari kekuasaan negara menyelenggarakan sejumlah kewenangan, peran, kewajiban dan tanggungjawab untuk mengurus kepentngan rakyat. Tujuan utama terbentuknya suatu pemerintahan negara adalah memberi rasa aman dan menjamin keamanan atau “security” bagi warganya (Thomas Hobbes), menciptakan ruang kebebasan atau “liberty” (John Stuart Mill dan juga Thomas Paine), serta kesejahteraan ummat manusia atau “welfare of mankind” (the Fabians).
Dalam konteks “security,” pencapaian tujuan ini memerlukan hadirnya aparat keamanan (tentara+polisi atau semacamnya) sebagai jaminan keamanan secara fisik sehingga masyarakat bisa menjalani hidupnya dengan tertb. Tapi ini saja tidak cukup. Pemerintah juga diwajibkan mendorong terciptanya kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan yang stabil, bergairah, dan dinamis di tengah masyarakat sehingga mereka secara mandiri mampu menciptakan rasa aman di lingkungannya masing-masing. Tidak ada suatu masyarakat yang menikmati rasa aman hanya karena banyak polisi dan tentara di sekitarnya. Rasa aman yang sifatnya hakiki justru terbentuk dari nilai kebersamaan, solidaritas, dan keharmonisan dalam perbedaan yang terbentuk dalam masyarakat sebagai respon terhadap kehadiran pemerintah yang mengayomi mereka. Jadi interaksi antara kebutuhan masyarakat akan jaminan keamanan dan kewajiban pemerintah menjaga ketertiban dan keteraturan akan secara kumulatif menciptakan “security.”
Kebebasan atau “liberty” sebagai tujuan lain dari pembentukan pemerintahan negara berkenaan dengan harapan bagi terbukanya ruang ekspressi, prakarsa, kreativitas, innovasi dan pencapaian ide-ide untuk mengejar kebahagiaan, baik itu dilakukan oleh individu maupun yang dilakukan secara bersama. Kebebasan dianggap sebagai hak alamiah yang melekat pada eksistensi ummat manusia. Sejak revolusi Prancis, hampir tidak ada nilai kemanusiaan yang diperjuangkan secara gigih, dengan keikhlasan berkorban yang luar biasa, melebihi keinginan menikmati kebebasan. Kemerdekaan suatu bangsa pada hakekatnya adalah kebebasan yang dinikmati bangsa itu dalam menjalani hidupnya menuju cita-cita yang disepakati dan dirumuskan bersama. Dari azas kebebasan itulah lahir rasa percaya diri, kesadaran akan harga diri, dan sikap mandri suatu bangsa, baik dalam hubungan domestik maupun dalam pergaulan antar bangsa.
Dalam implementasinya, setiap negara mengalami pasang surut dalam mengelola penciptaan rasa aman dan kebebasan pada waktu yang bersamaan. Dua tujuan ini tidak selalu dapat terpuaskan secara seimbang. Tidak jarang terjadi kepentingan menciptakan rasa aman mengharuskan atau menjadi alasan dibatasinya gerak dan ekspressi kebebasan. Sebaliknya, ruang kebebasan yang terbuka luas seringkali sulit menghindari terciptanya suasana yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban.
Dalam konteks interaksi dan pengelolaan atas dua kepentingan ini memerlukan kecanggihan luar biasa dari sistem yang diberlakukan di setiap negara. Tapi dalam tulisan ini saya tidak akan membahas hal itu karena kompleksitasnya memerlukan ulasan tersendiri.
Berbeda dengan “security” dan “liberty” yang bisa dianggap sebagai alasan klasik, hal kesejahteraan sebagai tujuan terbentuknya pemerintahan negara adalah sesuatu yang baru. Tugas pemerintah untuk membangun ekonomi negara sebagai jalan menuju kesejahteraan diterima secara universal pasca perang dunia kedua. Kehancuran infrastruktur dan lahan penopang hidup manusia di berbagai wilayah dunia yang dilanda perang, atau wilayah terdampak perang yang dahsyat itu, menyadarkan para pemimpin dunia, khususnya dari negara yang keluar sebagai pemenang perang, bahwa pembangunan sosial-ekonomi untuk kesejahteraan rakyat tidak mungkin lagi diserahkanhanya kepada pihak swasta di setiap negara. Apalagi karena pasca perang dunia kedua telah bangkit negara-negara yang baru merdeka dengan segala kekurangan yang melekat pada keberadaannya: kurang modal, miskin teknologi, tanpa enterpreneur, pendidikan masyarakat rendah, dan kondisi sosial yang terpuruk, termasuk merebaknya berbagai penyakit. Atas dasar itu disimpulkan bahwa hanya pemerintah negara itu sendiri yang bisa berperan mengambil prakarsa membangun kehidupan sosial- ekonomi masyarakatnya. Ini berarti bahwa pembangunan sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur transportasi, air bersih, listrik, dan berbagai sektor produksi harus dilakukan atau dipelopori oleh negara. Walau bangsa itu miskin, paling tidak negara memiliki kewenangan untuk melakukan mobilisasi seluruh sumber daya yang tersedia, termasuk menjamin pinjaman dari lembaga-lembaga donor serta menerima dan mengelola berbagai bantuan internasional. Sejak itu. terbangunlah suatu konsensus dalam teori dan praktek bahwa keberhasilan suatu pemerintahan antara lain bisa dilihat dan diukur dari tingkat kesejahteraan kumulatif yang dinikmati oleh rakyat negara itu. Bahkan lebih dari itu, belakangan, penyebaran kesejahteraan pun menjadi alat ukur keberhasilan, sehingga kesenjangan yang mencolok antar wilayah atau antar kelompok bisa dianggap sebagai indikasi kegagalan sebuah negara (Joseph Stiglitz, The Price of Inequality, 2012)
Bersambung.................