Bedah Buku Sajadah Lipat Pak Camat (SLPC) bersama Gol A Gong - Kajian Pemerintahan

Tuesday, March 22, 2016

Bedah Buku Sajadah Lipat Pak Camat (SLPC) bersama Gol A Gong


Serang, Banten. Acara Bedah Buku  Novel Sajadah Lipat Pak Camat Karya Riyanto El Haris yang dilaksanakan di Rumah Dunia Kota Serang Banten, Senin 21 Maret 2016  berjalan Lancar,
Gol A Gong membedah novel  SLPC tersebut yang diproyeksikan Gol A Gong dalam Format Film, lengkap dengan pemeran dan lokasi pembuatan Film. Novel tersebut menarik dan layak dijadikan film.

Selain Gol A Gong juga hadir Ardian Je yang juga merupakan relawan Rumah Dunia. berikut essay tanggapan Ardian Je terhadap Novel SLPC

Menjalani kehidupan di dunia pemerintahan sebagai pemegang jabatan sangatlah sulit dan pelik, karena dipenuhi dengan intrik dan kepentingan yang kerap mengantarkan pada konflik. Di saat itulah kebijaksanaan, kepercayaan, akal sehat hingga keimanan diuji. Jika seseorang berani menghadapi ujian tersebut dan melewatinya—bukan lari darinya—maka ia bisa dinyatakan lulus dari ujian kehidupan.
Dalam kehidupan, ujian merupakan hal yang tak terelakkan. Begitu pula dalam kehidupan di dunia pemerintahan: jabatan adalah bentuk nyata dari ujian itu sendiri, sekaligus ladang pendulang amal kebaikan dan kebajikan. Hal demikian dapat kita temukan dalam novel Sajadah Lipat Pak Camat—disingkat SLPC—(Tinta Medina, 2015) karya Riyanto El Harist, salah seorang PNS di Serang.
Menjadi seorang pemegang jabatan berarti mesti melaksanakan tugas dengan baik dan mampu menjaga diri dari godaan, terlebih pada godaan yang sekiranya hanya menguntungkan pribadi ataupun kelompok, sementara di sisi lain, hak dan kesejahteraan masyarakat jadi terbengkalai. “Mungkin itu juga ya Pak, yang membuat para camat sering terkena kasus sengketa tanah,” Pak Malik menambahi, “tetangga saya yang menjabat camat malah memalsukan surat jual beli demi keuntungan pengembangan dari kota. Wah, ternyata banyak juga godaan untuk menjadi pejabat itu ya ….” (halaman 211).

Sosok Ikhsan adalah sosok pemimpin yang ideal. Mengapa? Karena, Ikhsan menjabat sebagai camat—camat dalam konteks ini bisa melambangkan pemimpin secara lebih luas. Pemimpin atau pejabat atau pemegang kekuasaan harus mengutamakan kesejahteraan rakyat. Pemimpin harus berjuang mati-matian demi kesejahteraan rakyatnya. Bukankah tujuan utama negara atau instansi daerah dari provinsi, kota/kabupaten, kecamatan, desa/kelurahan dan seterusnya adalah untuk menyejahterakan rakyat? Bukan kesejahteraan pribadi, keluarga atau kerabat atau kelompoknya!
Pemimpin, dan umumnya bagi semua orang, harus dapat menjaga diri dari godaan harta, tahta dan wanita. Jika tergoda oleh salah satunya, maka akan hancur karisma kepemimpinannya di mata masyarakatnya. Tak jarang, tiga komponen ini digunakan sebagai senjata rahasia sekaligus senjata utama dalam “menyerang” seseorang atau kelompok orang yang berseberangan dengan orang lain demi kepentingan tertentu. Sebagai manusia yang tak alpa dari kesalahan, Ikhsan “goyah” oleh godaan wanita, yakni Myrna. Namun, sebelum keimannnya goyah sepenuhnya, Ikhsan memutuskan untuk “berhenti” menjalin kedekatan dengan Myrna. Untungnya, Ikhsan tidak terjerumus ke dalam hal yang lebih buruk lagi, dan berhasil menghentikannya.

RHM, Empi, Riyanto, Gol A Gong
Baca Juga :Reevaluation needed to mend disadvantages of Pilkada


Hal lain yang dapat dipelajari dari tokoh fiktif Ikhsan ialah tidak semua pejabat yang ada di bui adalah orang jahat, dan tidak semua orang pemerintahan gemar melencengkan tugasnya, serta tidak semua orang yang ada di luar bui adalah orang baik. Orang baik dan jahat ada di manapun dengan rupa yang beraneka ragam.

Pemimpin harus tahan suap! Jangan mau disuap! Suap-menyuap adalah jelas pelanggaran hukum dan jabatan dan kewenangan. Pemimpin ada bukan untuk memperkaya diri dan memiskinkan masyarakat, tapi berusaha untuk memperkaya batin masyarakatnya serta nilai-nilai kehidupan.
Pemimpin juga harus berani menolak kenaikan jabatan, bila harus mengorbankan rakyat. Jika ada pemimpin yang seperti itu, dapat dikatakan bahwa ia merupakan pemimpin kerdil yang  mementingkan diri sendiri. Karena konsep pemimpin pada dasarnya ialah peduli dan melayani. Karenanya, dibutuhkan sifat dan sikap simpati dan empati pada masyarakat. Jabatan bukanlah segalanya. Yang segalanya ialah rakyat!

Kalau ada ataupun banyak orang atau pihak yang tidak menyukai sosok pemimpin yang baik, maka si pemimpin itu harus tetap bersabar, berusaha dan berdoa semaksimal mungkin, dan percaya ada Tuhan yang selalu melihat hamba yang baik. Tuhan akan menyelesaikan masalah manusia yang di mata-Nya hanyalah butiran debu.

Di tahun kampanye politik seperti saat ini, sudah menjadi kewajiban bagi para pemimpin atau pejabat di Banten untuk menjadi sosok peimpin yang ideal, yang dicontohkan sedikitnya oleh Ikhsan sang camat dalam novel Sajadah Lipat Pak Camat. Bagi rakyat sendiri, memang harus pintar membaca calon sosok pemimpin, agar di masa mendatang kesejahteraan bisa terwujud.

 
by Ardian Je, relawan Rumah Dunia.

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda