![]() |
PNS DALAM LINGKARAN PEMILU |
Oleh : Singgih Usman Fuadi
Sistem Pemerintahan yang dijalankan di sebuah negara dapat dilihat salah satunya dari bagaimana masyarakat di negara tersebut memilih pemimpinnya. Di Indonesia yang menganut Sistem Demokrasi melaksanakan kegiatan untuk memilih pemimpin di seluruh level pemerintahan dengan menggunakan cara pemilihan langsung atau masyarakat lebih familiar dengan istilah pemilihan umum (Pemilu). Pemilihan langsung di Indonesia berbeda dengan pemilihan langsung yang dilaksanakan di negara lain walaupun sama-sama menggunakan sistem demokrasi. Sebagai contoh pelaksanaan pemilihan langsung di Indonesia dengan pemilihan langsung di Amerika. Di Indonesia, setiap orang (yang sudah dewasa secara hukum) berhak atau mempunyai satu suara untuk memilih (One Man One Vote), sedangkan di Amerika dalam melakukan pemilihan menggunakan sistem Elector dalam proses pemilihannya.
Sistem Pemerintahan yang dijalankan di sebuah negara dapat dilihat salah satunya dari bagaimana masyarakat di negara tersebut memilih pemimpinnya. Di Indonesia yang menganut Sistem Demokrasi melaksanakan kegiatan untuk memilih pemimpin di seluruh level pemerintahan dengan menggunakan cara pemilihan langsung atau masyarakat lebih familiar dengan istilah pemilihan umum (Pemilu). Pemilihan langsung di Indonesia berbeda dengan pemilihan langsung yang dilaksanakan di negara lain walaupun sama-sama menggunakan sistem demokrasi. Sebagai contoh pelaksanaan pemilihan langsung di Indonesia dengan pemilihan langsung di Amerika. Di Indonesia, setiap orang (yang sudah dewasa secara hukum) berhak atau mempunyai satu suara untuk memilih (One Man One Vote), sedangkan di Amerika dalam melakukan pemilihan menggunakan sistem Elector dalam proses pemilihannya.
Pagelaran pemilihan
langsung di seluruh daerah di Indonesia merupakan hal yang dinanti-nanti
seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat menjadi sangat antusias karena kontestasi
politik yang digelar untuk menentukan pemimpin secara langsung tersebut,
menempatkan masyarakat tidak hanya sebagai objek tetapi juga sebagai subjek
pembangunan. Masyarakat secara langsung memilih pemimpinnya yang diharapkan
mampu memberikan solusi terhadap masalah-masalah yang ada di daerah. Pilihan
mereka akan seseorang disimpan rapat-rapat di bilik suara dan dimasukkan ke
dalam kotak suara yang telah disediakan oleh panitia pemungutan suara, hingga
tiba pada proses penghitungan dan akan diketahui yang mendapatkan suara
terbanyak di seluruh TPS.
Sebelumnya, para
pasangan calon kepala daerah melakukan kampanye dengan memaparkan berbagai visi
misi serta rencana aksi untuk memberikan gambaran kepada masyarakat pemilih
akan seperti apa daerahnya apabila berada dibawah kepemimpinan mereka. Kegiatan
kampanye dilakukan secara menyuluruh di berbagai wilayah untuk memaparkan
“janji” apabila terpilih, atau paling tidak untuk mengenalkan pasangan calon
yang mungkin dapat dikatakan masih relatif baru dan belum terlalu dikenal oleh
masyarakat. Visi misi para pasangan calon banyak membuat masyarakat berdecak
kagum dengan program-program yang disusun untuk mengembangkan suatu daerah.
Program yang diberikan pada masa kampanye dirasakan sebagai sumber mata air di
tengah padang pasir, sebagai solusi terhadap berbagai masalah yang mungkin
dianggap masyarakat belum dapat terselesaikan. Namun, janji politik yang
diberikan pada masa kampanye tersebut tidak serta merta dapat terwujud secara
keseluruhan. Bahkan program 100 hari kerja yang dirancang sebagai bentuk
program awal yang dijanjikan akan segera direalisasikan (program prioriotas)
pun tidak sedikit yang luput dari target sasaran.
Dalam gegap gempitanya
pesta demokrasi tersebut, ada pihak yang sebenarnya dalam bayang-bayang
keresahan, harap-harap cemas siapakah yang akan menjadi pemimpin selanjutnya. Mereka
adalah para Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau sekarang disebut sebagai Aparatur
Sipil Negara (ASN) yang berada pada situasi tersebut. Terlebih bagi mereka yang
sudah menduduki sebuah jabatan, namun tidak terlepas juga bagi seluruh jajaran
staf. Kondisi tersebut akan sangat lebih terasa pada tingkat pemerintah daerah
yang akan menggelar pilkada, terkhusus lagi di pemerintah daerah yang petahana
sudah menduduki jabatan selama 2 periode. Pasukan sakit hati akan kembali
mencoba peruntungan agar dapat kembali menduduki jabatan selama masa suram
dalam karirnya sebagai PNS.
PNS memang memiliki
keterbatasan dalam mengikuti proses pemilihan umum baik itu untuk dipilih
sebagai anggota legislatif (DPR/D) ataupun sebagai kepala daerah. PNS
diwajibkan mundur dari keanggotannya sebagai PNS apabila mendaftarkan diri
sebagai calon peserta pemilu. Keterbatasan tersebutlah akhirnya membuat PNS
merasa enggan untuk mengikuti proses pemilu karena harus bertaruh dengan
kehilangan status sebagai PNS. Hal tersebut dianggap bertentangan terhadap UUD
1945 karena adanya pembatasan hak warga negara untuk dapat memilih dan dipilih.
Namun dalam gugatan yang dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi, Majelis memberikan pertimbangan lain yang dituangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XII/2014 yang dibacakan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi tanggal 8 Juli 2015. Putusan tersebut merujuk pada Putusan MK No. 45/PUU-VIII/2010 bertanggal 1 Mei 2012 yang kemudian dirujuk dalam Putusan No.12/PUU-IX/2013 bertanggal 9 April 2013 yang menyatakan bahwa, persyaratan mundurnya PNS yang dikarenakan untuk mengikuti pemilihan jabatan publik merupakan sebuah konsekwensi yuridis dari pilihannya, karena sudah terikat dalam peraturan sistem birokrasi pemerintahan, sehingga tidak ada pelanggaran HAM ataupun pelanggaran hak konstitusional dalam konteks tersebut. Mahkamah Konstitusi lebih menekankan pada “kapan” PNS mengudurkan dari keanggoatannya apabila akan masuk dalam arena pemilihan. Aspek keadilan digunakan sebagai dasar untuk merubah waktu pengunduran diri PNS dari yang semula harus mengundurkan diri dari sejak mendaftar, dirubah menjadi mengundurkan diri pada saat telah ditetapkan secara resmi sebagai calon oleh penyelenggara pemilu.
Namun dalam gugatan yang dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi, Majelis memberikan pertimbangan lain yang dituangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XII/2014 yang dibacakan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi tanggal 8 Juli 2015. Putusan tersebut merujuk pada Putusan MK No. 45/PUU-VIII/2010 bertanggal 1 Mei 2012 yang kemudian dirujuk dalam Putusan No.12/PUU-IX/2013 bertanggal 9 April 2013 yang menyatakan bahwa, persyaratan mundurnya PNS yang dikarenakan untuk mengikuti pemilihan jabatan publik merupakan sebuah konsekwensi yuridis dari pilihannya, karena sudah terikat dalam peraturan sistem birokrasi pemerintahan, sehingga tidak ada pelanggaran HAM ataupun pelanggaran hak konstitusional dalam konteks tersebut. Mahkamah Konstitusi lebih menekankan pada “kapan” PNS mengudurkan dari keanggoatannya apabila akan masuk dalam arena pemilihan. Aspek keadilan digunakan sebagai dasar untuk merubah waktu pengunduran diri PNS dari yang semula harus mengundurkan diri dari sejak mendaftar, dirubah menjadi mengundurkan diri pada saat telah ditetapkan secara resmi sebagai calon oleh penyelenggara pemilu.
Fungsi PNS seharusnya
menjadi fokus utama dalam pembahasan mengenai proses pemilihan umum termasuk di
dalamnya pemilihan kepala daerah. Fungsi tersebut sebenarnya telah tertuang dalam
Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 sebagai perekat dan pemersatu bangsa. Nilai
dasar seorang ASN yang berhubungan erat dengan pelaksanaan pilkada akan merujuk
pada pasal 4 huruf d yaitu dapat bekerja secara profesional dan tidak berpihak.
Hal tersebut selaras dengan asas netralitas yang menjadi dasar pelaksanaan
kebijakan dan manajemen ASN sebagaimana tertuang dalam pasal 2 huruf f.
Secara harfiah memang
selaras antara asas netralitas dalam manajemen ASN dengan nilai dasar ASN untuk
tidak berpihak. Kata Netralitas dalam referensi manapun akan merujuk pada
sebuah kalimat yang diartikan untuk tidak memihak. Ketidakberpihakan ASN dalam
hal ini PNS, harus selalu dijaga untuk mempertahankan fungsi hakiki nya.
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS disusun untuk
mengatur bagaimana PNS harus tetap bekerja secara profesional serta mempunyai
kontrol yang kuat dalam menjalankan tugas negaranya. Larangan PNS untuk
memberikan dukungan pada saat pelaksanaan pemilu diatur sedemikian rupa dengan
cara-cara yang telah ditentukan sebagaimana tertuang dalam pasal 4 angka 12
hingga angka 15. Pelanggaran terhadap larangan tersebut dapat dikenai sanksi
dari sanksi sedang berupa penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1
tahun, hingga sanksi berat yang dapat berakibat pada pemberhentian dengan
hormat tidak atas permintaan sendiri. Sehingga dapat dikatakan bahwa
peraturan-peraturan tersebut mengatur PNS dapat menentukan pilihan dalam proses
pemilu dengan menggunakan asas pemilu yaitu terkait kerahasiaan.
Kondisi pelaksanaan di
lapangan, Netralitas PNS menjadi hal yang patut dipertanyakan. Sudah menjadi
rahasia umum bahwa dalam proses pemilihan kepala daerah misalnya, banyak
terdapat tim sukses yang berasal dari PNS itu sendiri, tentunya menggunakan
cara yang dapat terhindar dari sanksi larangan dalam peraturan tentang disiplin
PNS. Berbagai faktor kepentingan akan muncul apabila PNS sudah terkooptasi dan
terbingkai dalam berbagai perbedaan pandangan serta tujuan dalam proses
pemilihan umum. Perbedaan tujuan tersebut dapat mengancam eksistensi dari Korps
Pegawai Negeri (Korpri) termasuk korps pegawai negeri lainnya yang
digadang-gadang sebagai alat perekat dan pemersatu bangsa. Tidak jarang adu
argumentasi yang berujung pada adu kekuatan fisik antar pendukung mewarnai
proses tersebut. Apabila suatu organisasi atau korps pegawai negeri dalam
bentuk apapun sudah tidak sepaham dan saling menjatuhkan untuk kepentingan
kelompoknya, maka fungsi perekat dan pemersatu bangsa hanya sekedar simbol
retorika. Jadi akan menimbulkan sebuah pertanyaan apakah Korps tersebut harus
tetap ada jika tujuannya pun sudah tidak dapat dicapai ?
Netralitas harusnya
dikunci dalam satu makna tidak memihak dan tidak perlu dibiaskan. Netralitas
menjadi sebuah asas kepastian dan bukan menjadi sebuah Netralitas Semu. Batasan
yang tegas harus diciptakan guna mendukung terciptanya profesionalitas PNS yang
sejati. Larangan PNS harusnya dibuat secara tegas, apabila PNS sudah ditetapkan
untuk mengundurkan diri jika mengikuti proses pemilihan, maka PNS juga SEHARUSNYA DILARANG UNTUK MEMILIH sehingga menghilangkan konflik kepentingan di
dalamnya. Birokrasi akan dapat berjalan secara sehat, transparan dan akuntabel
apabila pejabat di dalam birokrasi tersebut sudah lepas dari kooptasi unsur
kepentingan. Dengan kata lain, akan terdapat kontrol secara internal dari
masing-masing pelaksanaa kegiatan apabila unsur kepentingan tersebut tidak
membayangi setiap pekerjaan yang dilakukan. Namun, apabila PNS tetap
“dibiarkan” menjadi sebuah komoditas berharga dalam setiap arena pemilihan, hal
tersebut dapat dikatakan bagai pungguk merindukan bulan, sehingga perlu
dilakukan perubahan terhadap peraturan yang mengatur fungsi PNS dengan
menghapus fungsi perekat dan pemersatu bangsa di dalamnya.
Demikian itu tidaklah
menjadi sebuah pilihan arif apabila harus menghapus fungsi yang begitu mulia.
Tanggung jawab yang begitu berat menyatukan seluruh wilayah Indonesia dalam
bingkai persatuan harus menjadi fokus utama dengan menjamin berjalanya sistem
pemerintahan yang baik. PNS ada baiknya harus diposisikan sama dengan Institusi
TNI dan POLRI dalam setiap pelaksanaan pemilu, yaitu juga untuk dilarang
memilih. Memang tidak akan menjadi jaminan bahwa penciptaan independensi seperti
yang dimiliki TNI dan POLRI akan membebaskan unsur kepentingan yang selama ini
melekat dalam tubuh PNS, yang kemudian tetap harus diikuti dengan sistem
penataan jabatan secara profesional, tetapi paling tidak ada upaya satu demi
satu langkah dalam menciptakan iklim pemerintahan yang lebih kondusif.
Secara dana akan lebih hemat,kalau pns tidak dilibatkan akan sangat mempengaruhi hasil demokrasi. Pemilih yang tersisa adalah non pns tni dan polri, siapa saja mereka
ReplyDelete