I.
Pengantar
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
Dan Walikota Menjadi Undang-Undang Sebagaimana yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota
Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU Pilkada) yang menjadi landasan
hukum pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak di Indonesia masih
menimbulkan pelbagai persoalan, yang secara substansial mempengaruhi
pelaksanaan Pilkada Serentak yang digelar pada bulan Desember tahun lalu (2015),
baik dalam tahap persiapan maupun penyelenggaraan.
Fakta-fakta
lapangan pada saat pelaksanaan Pilkada Serentak 2015 gagal diantisipasi dalam
pengaturan norma UU Pilkada sebut saja misalnya munculnya Calon Tunggal. Oleh
karena itu, perubahan UU Pilkada menjadi suatu keniscayaan untuk mewujudkan pemilihan
Kepala Daerah yang memenuhi kaidah demokrasi dan asas-asas keadilan sebagaimana
diamanahkan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Arah
perbaikan UU Pilkada hendaknya mampu menjawab beberapa pertanyaan kunci yaitu:
1.
Apakah makna Pemilu (pilkada) yang bebas, demokratis, dan
langsung jika pemerintahan yang dihasilkan tidak memberikan insentif dan
kontribusi signifikan bagi peningkatan kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan
rakyat?
2. Mengapa
pemilu (Pilkada) yang
bebas dan demokratis tidak berbanding lurus dengan lahirnya pemimpin
yang bersih dan
bertanggung jawab yang
mampu menciptakan
tata-kelola pemerintahan yang baik?
Dalam pemikiran kami sistem pilkada
pada hakikatnya adalah mekanisme atau metode tertentu yang digunakan untuk
mengubah suara menjadi dukungan konkrit terhadap kepala daerah. Karena
itu setiap sistem Pilkada, baik sistem langsung maupun sistem pemilihan melalui
DPRD, memiliki kekurangan dan kelebihan yang melekat pada dirinya
masing-masing.
Sistem Pilkada mencakup prosedur dan mekanisme penyelenggaraannya, serta
tata-kelola pilkada dalam rangka menghasilkan pemerintahan yang efektif, demokrasi
yang lebih substantif dan terkonsolidasi, yang stabil dan mendukung kinerja
pemerintahan hasil Pilkada. Pilihan atas format Pemilu (Pilkada) semestinya merupakan
satu kesatuan rangkaian paket pilihan bersama-sama dengan sistem pemerintahan,
sistem perwakilan, sistem kepartaian dan representasi daerah. Artinya, harus
ada koherensi dan konsistensi antara pilihan atas sistem pemerintahan,
sistem perwakilan, sistem pilkada, sistem kepartaian dan representasi daerah.
Karena itu, pilihan
atas format dan sistem Pemilu (Pilkada) semestinya bertolak dari kesepakatan
tentang tujuan Pemilu (Pilkada) itu sendiri, apakah lebih pada tujuan pertama
yakni representativeness atau keterwakilan politik semua unsur,
kelompok, dan golongan dalam masyarakat, atau lebih pada tujuan kedua yaitu
menghasilkan pemerintah yang bisa memerintah (governable) atau yang
populer disebut sebagai pemerintahan yang efektif.
Bila kita mencoba mengkritisi
desain pengaturan kepemiluan selama ini setidaknya ada 2 (dua) persoalan
mendasar:
1. Secara
umum skema atau format
pemilu (pileg, pilpres, dan pilkada) tidak
menjanjikan melembaganya demokrasi substansial yang terkonsolidasi, juga
tidak melembagakan pemerintahan yang
efektif dan sinergis (nasional-regional-lokal) serta pemerintah yang
bersih dari korupsi dan perangkap penyalahgunaan kekuasaan. Maka, tidak mengherankan jika politik transaksional dalam pengertian
negatif masih kental mewarnai relasi kekuasaan di antara berbagai aktor dan
institusi demokrasi hasil pemilu.
2. Format
Pilkada tidak menjanjikan kepala daerah yang
kapabel sekaligus akuntabel. Orientasi dan arah kompetisi masih berputar
di sekitar upaya meraih popularitas
dan elektabilitas. Hampir tidak ada kesempatan bagi publik memilih
kandidat berdasarkan kapabilitas para
calon. Hal ini disebabkan penetapan
calon dan mekanisme calon secara oligarkis oleh ketua umum ataupun
pimpinan parpol.
Oleh karena itu, tantangan ke depan adalah UU Pilkada dapat mengakomodir
model alternatif
skema atau format Pilkada yang tepat bagi demokrasi lokal (terkait pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah) yang menjanjikan terbentuknya pemerintahan daerah
yang tidak hanya stabil, tetapi juga sinergis dan efektif
II.
Peran DPD RI
Pilkada pada dasarnya merupakan
hajat demokrasi yang memiliki lokus di daerah. Oleh karena itu, menjadi dasar
alasan yang kuat bagi DPD RI untuk ikut dalam membahas UU Pilkada secara
tripartit bersama DPR RI dan Pemerintah. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD 1945. Pasal
22D ayat (1) menyatakan: “Dewan
Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah.”
Selanjutnya, Pasal 22D ayat (2)
menyebutkan “Dewan Perwakilan Daerah ikut
membahas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan
pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan
agama.”
Penegasan legal standing DPD RI ini diperkuat dengan ketentuan Pasal 249 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD,dan DPRD yaitu: “DPD mempunyai wewenang dan tugas: a) mengajukan rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah kepada DPR; b) ikut membahas rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a; c) menyusun dan
menyampaikan daftar inventaris masalah rancangan undang-undang yang berasal
dari DPR atau Presiden yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam
huruf a;...:”
III.
Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2015
Pilkada
Serentak 2015 telah dilaksanakan di 264 Daerah (8 Provinsi, 222 Kabupaten, 34
Kota) dari yang seharusnya 269 Daerah, karena dilakukan penundaan di 5 Daerah
yaitu: Provinsi Kalimantan Tengah, Kabupaten Fakfak, Kabupateng Simalungun, Kota
Pemantang Siantar, dan Kota Manado. Beberapa daerah yang mengalami penundaan Pilkada
Serentak tersebut pada akhirnya dilaksanakan Pilkada pada:
a.
18
Januari 2016 untuk Pilkada Kabupaten Fakfak;
b.
27
Januari 2016 untuk Provinsi Kalimantan Tengah;
c.
10
Februari 2016 untuk Kabupaten Simalungun;
d.
17
Februari 2016 untuk Kota Manado;
e.
Belum
dijadwalkan untuk Pilkada Kota Pematang Siantar
Kami
patut memberikan apresiasi kepada Penyelenggara Pemilu, dalam hal ini KPU dan
Bawaslu yang telah mengawal proses pelaksanaan Pilkada Serentak 2015 yang
secara umum berjalan relatif aman dan lancar. Namun
demikian, patut kiranya kami memberikan catatan temuan hasil pengawasan yang
dilakukan DPD RI pada saat penyelenggaraan Pilkada Serentak 2015. Patut diketahui bahwa sebagai wujud komitmen
DPD RI dalam mengawal Pilkada Serentak, maka seluruh anggota DPD RI melakukan
pemantauan langsung di 269 Daerah yang terbagi atas 9 Gubernur, 224 Bupati, dan
36 Walikota.
Beberapa hal yang menjadi temuan menonjol DPD RI dalam
Pilkada Serentak 2015 adalah sebagai berikut:
1. Munculnya calon tunggal,
luput diatur dalam norma UU Pilkada. Terdapat 3 (tiga) daerah yang memiliki
satu pasangan calon dalam Pilkada Serentak 2015 yakni Kabupaten Tasikmalaya;
Kabupaten Blitar; dan Kabupaten Timur Tengah Utara), sehingga bentuk pemilihannya
‘setuju’ dan ‘tidak setujul’
2.
Terkait Anggaran
Pilkada, banyak daerah yang terlambat dalam menyediakan dana untuk
kebutuhan pilkada. Selain itu, Dana Pilkada tidak dialokasikan di
APBD, terutama daerah otonom baru;
3. Keterlibatan Aparatur Sipil Negara
(ASN) dalam politik praktis pada tahapan
Pilkada Serentak 2015 di beberapa daerah ( – terdapat 29 laporan dugaan
pelanggaran netralltas ASN diantaranya Simalungun, Sumut; Bantul, DIY; Sumbawa
Barat, NTB; Muna, Sultra, dll - );
4. Partisipasi tidak memenuhi target. Tingkat partisipasi secara nasional dalam Pilkada Serentak 2015 di 264
Daerah rata-rata 60% dari target yang ditetapkan KPU sebesar 67% dengan tingkat
partisipasi terendah pada Pilkada Kota Medan (24%);
5. Dualisme kepengurusan Parpol. Dualisme kepengurusan partai politik di 18 daerah (salah satunya di Sumba Timur);
6. Status petahana yang kembali maju dalam
Pilkada 2015 (terjadi di 6 daerah, di antaranya Tanjung Jabung Timur dan Ogan
Ilir);
7. Data pemilih selalu menjadi isu yang krusial dalam
penyelenggaraan pemilihan, termasuk pilkada. Tingkat akurasi Daftar Pemilih pada
daerah tertentu terdapat selisih yang cukup besar antara DP4, DPS dan DPT;
8. Dibukanya
ruang bagi keluarga petahana untuk mencalonkan diri menyumburkan politik dinasti di daerah;
9. Ketidakefektifan
kinerja lembaga pengawas Pilkada dalam
hal melakukan pengawasan karena ketiadaan kewenangan Bawaslu dalam memutuskan
sengketa Pilkada.
10. Gugatan
Proses Pilkada dan Gugatan Sengketa Hasil kepada Mahkamah Konstitusi. Terdapat 147 gugatan dengan
rincian 6 (enam) gugatan Pilkada Gubernur, 11 (sebelas) gugatan Pilkada
Walikota, dan 130 (seratus tiga puluh) gugatan Pilkada Bupati. Gugatan tersebut
berasal dari 132 daerah (6 Provinsi, 8 Kota dan 118 Kabupaten). Dari 147
gugatan tersebut kepada MK yang diterima untuk di sidangkan ‘Gugatan Hasil
Pilkada’ sebanyak 8 (delapan) Kabupaten yaitu: Solok Selatan, Kuantan Sengigi, Bangka
Barat, Muna, Kepulauan Sula, Halmahera Selatan dan Teluk Bintuni.
11. Konflik dan kekerasan dalam pilkada
cenderung meningkat. Kasus kericuhan, pengrusakan,
kekerasan, serta intimidasi penyelenggara Pilkada di daerah:
a. Pengrusakan kantor KPU Nabire, Manggarai Barat;
b. Pembacokan calon KDH di Lamongan, Jatim;
c. Intimidasi kepada anggota KPU Mataram;
d. Penganiayaan/pemukulan terhadap Ketua KPU Toli-Toli, Sulteng pada saat
penetapan Calon KDH/Wa.KDH;
e. Kericuhan massa di depan kantor KPU Ogan Ilir, Sumsel;
f. Pembakaran kantor camat di Kabupaten Manggarai Barat;
g. Pendudukan Kantor KPU dan Panwaslu oleh massa pendukung Paslon di Kabupaten
Gowa;
h. Unjuk rasa pada Rapat Pleno KPU hasil Pilkada Provinsi Kalimantan Utara;
Selain
masalah tersebut di atas terdapat juga sejumlah masalah teknis dalam
pelaksanaan Pilkada antara lain:
1. Temuan dokumen palsu di 8 daerah, di antaranya Simalungun;
2. Persyaratan dukungan partai politik di
16 daerah (di antaranya di Belitung Timur dan Sorong Selatan)
3. Waktu pendaftaran (terjadi di satu
daerah, yaitu Supiori);
4. Pemenuhan dokumen dari instansi lain,
seperti di Jambi dan Kotawaringin Timur;
5. Persyaratan mantan narapidana yang
maju dalam Pilkada ada 5 daerah, di antaranya Bengkulu Selatan dan Sidoarjo;
6. Dukungan terhadap calon perseorangan di
25 daerah;
7. Syarat kesehatan di 3 daerah, di
antaranya Musi Rawas dan Musi Rawas Utara;
8. Perubahan dokumen pencalonan di
3 daerah;
9. Calon kepala daerah yang bermasalah dengan status tersangkanya di satu daerah, yakni Bengkalis;
10. Pergantian calon diluar ketentuan,
di Simalungun dan Sigi
11. Pengadaan dan pendistribusian logistik yang disebabkan faktor
cuaca, letak geografis, sarana transportasi dan ketersediaan penyedia kebutuhan
logistik pemilu;
12. Politik uang (money politic). Adanya politik uang
yang melibatkan pasangan calon, tim sukses, dan penyelenggara Pilkada di
kecamatan dan Desa;
13. Alat Peraga Kampanye yang masih terpasang pada hari pemungutan suara masih ditemukan di beberapa
daerah;
14. Pemungutan Suara Ulang di sejumlah TPS, karena kesalahan pengecekan keabsahan pemilih;
15. Adanya pemilih yang tidak mendapat undangan pemilihan (seperti di Kabupaten Manggarai Barat).
Bagi DPD RI berbagai
catatan temuan lapangan tersebut di atas, menjadi dasar argumentatif dan
penguatan serta urgensi untuk melakukan perubahan terhadap UU No. 8 Tahun 2015.