Pandangan DPD RI Terhadap Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 - Kajian Pemerintahan

Tuesday, May 3, 2016

Pandangan DPD RI Terhadap Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015



      I.       Pengantar
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang Sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU Pilkada) yang menjadi landasan hukum pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak di Indonesia masih menimbulkan pelbagai persoalan, yang secara substansial mempengaruhi pelaksanaan Pilkada Serentak yang digelar pada bulan Desember tahun lalu (2015), baik dalam tahap persiapan maupun penyelenggaraan.
Fakta-fakta lapangan pada saat pelaksanaan Pilkada Serentak 2015 gagal diantisipasi dalam pengaturan norma UU Pilkada sebut saja misalnya munculnya Calon Tunggal. Oleh karena itu, perubahan UU Pilkada menjadi suatu keniscayaan untuk mewujudkan pemilihan Kepala Daerah yang memenuhi kaidah demokrasi dan asas-asas keadilan sebagaimana diamanahkan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Arah perbaikan UU Pilkada hendaknya mampu menjawab beberapa pertanyaan kunci yaitu:
1.    Apakah makna Pemilu (pilkada) yang bebas, demokratis, dan langsung jika pemerintahan yang dihasilkan tidak memberikan insentif dan kontribusi signifikan bagi peningkatan kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat?
2.    Mengapa pemilu (Pilkada) yang bebas dan demokratis tidak berbanding lurus dengan lahirnya pemimpin yang bersih dan bertanggung jawab yang mampu menciptakan tata-kelola pemerintahan yang baik?
            Dalam pemikiran kami sistem pilkada pada hakikatnya adalah mekanisme atau metode tertentu yang digunakan untuk mengubah suara menjadi dukungan konkrit terhadap kepala daerah. Karena itu setiap sistem Pilkada, baik sistem langsung maupun sistem pemilihan melalui DPRD, memiliki kekurangan dan kelebihan yang melekat pada dirinya masing-masing.
Sistem Pilkada mencakup prosedur dan mekanisme penyelenggaraannya, serta tata-kelola pilkada dalam rangka menghasilkan pemerintahan yang efektif, demokrasi yang lebih substantif dan terkonsolidasi, yang stabil dan mendukung kinerja pemerintahan hasil Pilkada. Pilihan atas format Pemilu (Pilkada) semestinya merupakan satu kesatuan rangkaian paket pilihan bersama-sama dengan sistem pemerintahan, sistem perwakilan, sistem kepartaian dan representasi daerah. Artinya, harus ada koherensi dan konsistensi antara pilihan atas sistem pemerintahan, sistem perwakilan, sistem pilkada, sistem kepartaian dan representasi daerah.
            Karena itu, pilihan atas format dan sistem Pemilu (Pilkada) semestinya bertolak dari kesepakatan tentang tujuan Pemilu (Pilkada) itu sendiri, apakah lebih pada tujuan pertama yakni representativeness atau keterwakilan politik semua unsur, kelompok, dan golongan dalam masyarakat, atau lebih pada tujuan kedua yaitu menghasilkan pemerintah yang bisa memerintah (governable) atau yang populer disebut sebagai pemerintahan yang efektif.
Bila kita mencoba mengkritisi desain pengaturan kepemiluan selama ini setidaknya ada 2 (dua) persoalan mendasar:
1.    Secara umum skema atau format pemilu (pileg, pilpres, dan pilkada) tidak menjanjikan melembaganya demokrasi substansial yang terkonsolidasi, juga tidak melembagakan pemerintahan yang efektif dan sinergis (nasional-regional-lokal) serta pemerintah yang bersih dari korupsi dan perangkap penyalahgunaan kekuasaan. Maka, tidak mengherankan jika politik transaksional dalam pengertian negatif masih kental mewarnai relasi kekuasaan di antara berbagai aktor dan institusi demokrasi hasil pemilu.
2.    Format Pilkada tidak menjanjikan kepala daerah yang kapabel sekaligus akuntabel.  Orientasi dan arah kompetisi masih berputar di sekitar upaya meraih popularitas dan elektabilitas. Hampir tidak ada kesempatan bagi publik memilih kandidat berdasarkan kapabilitas para calon. Hal ini disebabkan penetapan calon dan mekanisme calon secara oligarkis oleh ketua umum ataupun pimpinan parpol.
            Oleh karena itu, tantangan ke depan adalah UU Pilkada dapat mengakomodir model alternatif skema atau format Pilkada yang tepat bagi  demokrasi lokal (terkait pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah) yang menjanjikan terbentuknya pemerintahan daerah yang tidak hanya stabil, tetapi juga sinergis dan efektif

II.      Peran DPD RI
Pilkada pada dasarnya merupakan hajat demokrasi yang memiliki lokus di daerah. Oleh karena itu, menjadi dasar alasan yang kuat bagi DPD RI untuk ikut dalam membahas UU Pilkada secara tripartit bersama DPR RI dan Pemerintah. Hal ini didasarkan pada ketentuan  Pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD 1945. Pasal 22D ayat (1) menyatakan: Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.” 
Selanjutnya, Pasal 22D ayat (2) menyebutkan “Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.”
Penegasan legal standing DPD RI ini diperkuat dengan ketentuan Pasal 249 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD,dan DPRD yaitu: “DPD mempunyai wewenang dan tugas: a) mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah kepada DPR; b) ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a; c) menyusun dan menyampaikan daftar inventaris masalah rancangan undang-undang yang berasal dari DPR atau Presiden yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;...:”

III.    Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2015
Pilkada Serentak 2015 telah dilaksanakan di 264 Daerah (8 Provinsi, 222 Kabupaten, 34 Kota) dari yang seharusnya 269 Daerah, karena dilakukan penundaan di 5 Daerah yaitu: Provinsi Kalimantan Tengah, Kabupaten Fakfak, Kabupateng Simalungun, Kota Pemantang Siantar, dan Kota Manado. Beberapa daerah yang mengalami penundaan Pilkada Serentak tersebut pada akhirnya dilaksanakan Pilkada pada:
a.    18 Januari 2016 untuk Pilkada Kabupaten Fakfak;
b.    27 Januari 2016 untuk Provinsi Kalimantan Tengah;
c.    10 Februari 2016 untuk Kabupaten Simalungun;
d.    17 Februari 2016 untuk Kota Manado;
e.    Belum dijadwalkan untuk Pilkada Kota Pematang Siantar
Kami patut memberikan apresiasi kepada Penyelenggara Pemilu, dalam hal ini KPU dan Bawaslu yang telah mengawal proses pelaksanaan Pilkada Serentak 2015 yang secara umum berjalan relatif aman dan lancar. Namun demikian, patut kiranya kami memberikan catatan temuan hasil pengawasan yang dilakukan DPD RI pada saat penyelenggaraan Pilkada Serentak  2015. Patut diketahui bahwa sebagai wujud komitmen DPD RI dalam mengawal Pilkada Serentak, maka seluruh anggota DPD RI melakukan pemantauan langsung di 269 Daerah yang terbagi atas 9 Gubernur, 224 Bupati, dan 36 Walikota.
Beberapa hal yang menjadi temuan menonjol DPD RI dalam Pilkada Serentak 2015 adalah sebagai berikut:
1.    Munculnya calon tunggal, luput diatur dalam norma UU Pilkada. Terdapat 3 (tiga) daerah yang memiliki satu pasangan calon dalam Pilkada Serentak 2015 yakni Kabupaten Tasikmalaya; Kabupaten Blitar; dan Kabupaten Timur Tengah Utara), sehingga bentuk pemilihannya ‘setuju’ dan ‘tidak setujul’
2.    Terkait Anggaran Pilkada, banyak daerah yang terlambat dalam menyediakan dana untuk kebutuhan pilkada. Selain itu, Dana Pilkada tidak dialokasikan di APBD, terutama daerah otonom baru;
3.    Keterlibatan Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam politik praktis pada tahapan Pilkada Serentak 2015 di beberapa daerah ( – terdapat 29 laporan dugaan pelanggaran netralltas ASN diantaranya Simalungun, Sumut; Bantul, DIY; Sumbawa Barat, NTB; Muna, Sultra, dll - );
4.    Partisipasi tidak memenuhi target. Tingkat partisipasi secara nasional dalam Pilkada Serentak 2015 di 264 Daerah rata-rata 60% dari target yang ditetapkan KPU sebesar 67% dengan tingkat partisipasi terendah pada Pilkada Kota Medan (24%);
5.    Dualisme kepengurusan Parpol. Dualisme kepengurusan partai politik di 18 daerah (salah satunya di Sumba Timur);
6.    Status petahana yang kembali maju dalam Pilkada 2015 (terjadi di 6 daerah, di antaranya Tanjung Jabung Timur dan Ogan Ilir);
7.    Data pemilih selalu menjadi isu yang krusial dalam penyelenggaraan pemilihan, termasuk pilkada. Tingkat akurasi Daftar Pemilih pada daerah tertentu terdapat selisih yang cukup besar antara DP4, DPS dan DPT;
8.    Dibukanya ruang bagi keluarga petahana untuk mencalonkan diri menyumburkan politik dinasti di daerah;
9.    Ketidakefektifan kinerja lembaga pengawas Pilkada dalam hal melakukan pengawasan karena ketiadaan kewenangan Bawaslu dalam memutuskan sengketa Pilkada.
10.  Gugatan Proses Pilkada dan Gugatan Sengketa Hasil kepada Mahkamah Konstitusi. Terdapat 147 gugatan dengan rincian 6 (enam) gugatan Pilkada Gubernur, 11 (sebelas) gugatan Pilkada Walikota, dan 130 (seratus tiga puluh) gugatan Pilkada Bupati. Gugatan tersebut berasal dari 132 daerah (6 Provinsi, 8 Kota dan 118 Kabupaten). Dari 147 gugatan tersebut kepada MK yang diterima untuk di sidangkan ‘Gugatan Hasil Pilkada’ sebanyak 8 (delapan) Kabupaten yaitu: Solok Selatan, Kuantan Sengigi, Bangka Barat, Muna, Kepulauan Sula, Halmahera Selatan dan Teluk Bintuni.  
11.  Konflik dan kekerasan dalam pilkada cenderung meningkat. Kasus kericuhan, pengrusakan, kekerasan, serta intimidasi penyelenggara Pilkada di daerah:
a.    Pengrusakan kantor KPU Nabire, Manggarai Barat;
b.    Pembacokan calon KDH di Lamongan, Jatim;
c.    Intimidasi kepada anggota KPU Mataram;
d.    Penganiayaan/pemukulan terhadap Ketua KPU Toli-Toli, Sulteng pada saat penetapan Calon KDH/Wa.KDH;
e.    Kericuhan massa di depan kantor KPU Ogan Ilir, Sumsel;
f.     Pembakaran kantor camat di Kabupaten Manggarai Barat;
g.    Pendudukan Kantor KPU dan Panwaslu oleh massa pendukung Paslon di Kabupaten Gowa;
h.    Unjuk rasa pada Rapat Pleno KPU hasil Pilkada Provinsi Kalimantan Utara;

Selain masalah tersebut di atas terdapat juga sejumlah masalah teknis dalam pelaksanaan Pilkada antara lain:
1.    Temuan dokumen palsu di 8 daerah, di antaranya Simalungun;
2.    Persyaratan dukungan partai politik di 16 daerah (di antaranya di Belitung Timur dan Sorong Selatan)
3.    Waktu pendaftaran (terjadi di satu daerah, yaitu Supiori);
4.    Pemenuhan dokumen dari instansi lain, seperti di Jambi dan Kotawaringin Timur;
5.    Persyaratan mantan narapidana yang maju dalam Pilkada ada 5 daerah, di antaranya Bengkulu Selatan dan Sidoarjo;
6.    Dukungan terhadap calon perseorangan di 25 daerah;
7.    Syarat kesehatan di 3 daerah, di antaranya Musi Rawas dan Musi Rawas Utara;
8.    Perubahan dokumen pencalonan di 3 daerah;
9.    Calon kepala daerah yang bermasalah dengan status tersangkanya di satu daerah, yakni Bengkalis;
10.  Pergantian calon diluar ketentuan, di Simalungun dan Sigi
11.  Pengadaan dan pendistribusian logistik yang disebabkan faktor cuaca, letak geografis, sarana transportasi dan ketersediaan penyedia kebutuhan logistik pemilu;
12.  Politik uang (money politic). Adanya politik uang yang melibatkan pasangan calon, tim sukses, dan penyelenggara Pilkada di kecamatan dan Desa;
13.  Alat Peraga Kampanye yang masih terpasang pada hari pemungutan suara masih ditemukan di beberapa daerah;
14.  Pemungutan Suara Ulang di sejumlah TPS, karena kesalahan pengecekan keabsahan pemilih;  
15.  Adanya pemilih yang tidak mendapat undangan pemilihan (seperti di Kabupaten Manggarai Barat).  
Bagi DPD RI berbagai catatan temuan lapangan tersebut di atas, menjadi dasar argumentatif dan penguatan serta urgensi untuk melakukan perubahan terhadap UU No. 8 Tahun 2015.

Bagikan artikel ini

Artikel Menarik Lainnya

Silakan tulis komentar Anda

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)