Serial Rangkayo Novel Politik,,by Hollyson De Maiza
Tahun 2015 adalah era pemilihan pemimpin baru bagi daerah,
baik pemilihan Gubernur, Bupati ataupun Walikota. 269 Daerah melaksanakan pesta
demokrasi pemilihan kepala daerah
tersebut.
Dimana-mana pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara
langsung dan serentak ini menjadi topik yang menarik dan hangat untuk
diperbincangkan. Karena disadari atau tidak pemilihan kepala daerah ini
merupakan proses awal untuk kemajuan daerah. Jika pilkada berhasil memilihdan
menghasilkan pemimpin yang jujur, amanah dan berintegritas serta sesuai dengan
kompetensi yang dibutuhkan, maka ini awal untuk kemajuan yang berarti bagi
daerah. Awal daerah mengantungkan nasib ratusan ribu masyarakatnya kepada pemimpin
baru.
Begitu juga sebaliknya. Apabila pemimpin yang terpilih adalah
tokoh yang mempunya elektabilitas tinggi dan banyak uang serta didukung oleh
partai, tetapi tidak jujur, amanah dan integritas serta sesuai dengan
kompetensinya dipertanyakan, maka tentunya warna pembangunan daerah juga akan
menyesuaikan dengan kemampuan kepala daerah baru tersebut batin rangkayo.
Apakah sistim pemilihan langsung dan serentak yang
dilaksanakan sekarang ini akan mampu memilih pemimpin yang mempunyai kompetensi
dan integritas. Kalau jawabnya bisa, bagaimana cara sistim pemilihan ini
menyeleksi komptensi dan integritas calon kepala daerah kata rangkayo
bertanya-tanya didalam hati.
Rangkayo mencoba searching dialog tentang pilkada di Youtube.
Terlihat dia asik mengikuti pandangan-pandangan dan pendapat-pendapat para
narasumber dalam setiap dialog yang ditontongnya dari youtube tersebut.
Kening rangkayo terlihat mengkerut, sepertinya dia tidak puas
dengan dialog pilkada yang ditontonnya barusan. Entah apalagi yang membuat
rangkayo kurang puas. Mungkin saja dialok yang ditontonnya tidak memberikan
jawaban atau solusi atas pertanyaan-pertanyaan yang ada dibenak rangkayo
tentang pilkada.
Tiba-tiba telpon rangkayo berdering, dan kemudian terdengar
percakapan
“Hallo Bang, apa kabar?”sapa rangkayo dengan akrabnya.
Sepertinya yang menelpon adalah teman akrab rangkayo. Karena dari ekspresi
wajahnya terlihat rangkayo begitu sumringah.
“Baik, rangkayo apa kabar?” terdengar suara dari seberang
sana.
“baik juga, victor lagi dimana?” kata rangkayo
“saya sedang di Jakarta, taragak ketemu rangkayo” kata suara
diseberang sana mencoba berlagak menggunakan Bahasa minang. Bahasa leluhur
rangkayo. Ternyata yang menelpon rangkayo adalah bang Victor dari Maluku,
sahabat rangkayo saat mengikuti pendidikan di lembah manglayang Jatinangor.
“ Siap, bagaimana kalau kita
ketemu nanti malam?” tanya rangkayo
“siap, menunggu arahan komandan?” kata
victor layaknya jawaban seorang meliter.
“ha ha ha ha, janganlah begitu. Kita ketemu
di Kedai Kopi Perjuangan Jam 7 yah”. Kata Rangkayo sambil tertawa senang.
“siap, laksanakan” kata victor tetap
bercanda
“nanti saya ajak teman-teman lain” kata
rangkayo
“mantap, sampai ketemu nanti malam”kata
victor
“siap” kata Rangkayo
Kemudian terlihat rangkayo sibuk menelpon
para sahabatnya, memberitahukan kalau mereka kedatangan sahabat lama mereka
dari Maluku.
Jam 19.00 WIB satu persatu sahabat Rangkayo
bermunculan di Kedai Kopi Perjuangan. Kali ini rangkayo datang pertama. Disusul
Uchok, Pache, Teuku, Asep, trisno, Mannopo, dan Wayan.
“Mana victornya?” Tanya pache kepada
rangkayo
“mungkin masih dijalan”jawab rangkayo
“kita tunggu aja” Kata Wayan
“Dengar-dengar Victor ikut pemilihan kepala daerah
ya?” tanya Teuku
“Aku dengar juga begitu bang” kata Mannopo
Sementara itu terlihat datang mobil pajero
putih diparkiran. Dari pintu kiri depan, turunlah sosok lelaki tegap, dengan
rambut pendek rapi layaknya tentara datang menghampiri rangkayo dan teman-teman.
“panjang umur. Baru saja kita sedang
bicarakan bang Victor. Eh.. orangnya langsung nongol”kata rangkayo
“ha ha ha bisa aja rangkayo “Kata victor sambil menyalami temannya satu
persatu.
Victor menarik salah satu kursi disamping
rangkayo. Kemudian dia meletakan handpone dan rokoknya diatas meja sambil
mengambil satu batang rokok dan membakarnya.
“dengar-dengar kau maju pilkada tahun ini?”
tanya ucok tak sabar kepada victor
“Ya bang, mohon doa restunya” Kata Victor
“mantab bro”kata Pache sambil menyalami
Victor dan diikuti oleh teman-teman lainnya.
“aku bangga sama kau” kata ucok menambahkan
“terima kasih atas dukungan teman-teman
semua” kata Victor
“Dapat urut berapa bro”tanya Pache
“saya dapat nomor urut 2 dari 3 calon” jawab
Pache
“maju dari partai atau independen?” tanya
pache lagi
“dari partai bang, kalau dari independen
repot. Sepertinya pembuat kebijakan berusaha mempersulit calon dari independen”
jawab Victor
“maksudnya dipersulit?” tanya pache
penasaran
“kalau aturan yang lama. Dukungan KTP untuk
calon independen hanya 2,5% dari jumlah pemilih. Tetapi aturan yang baru
6.5%-10% dari Jumlah penduduk” kata
“ngga salah dengar nih?” tanya mannopo
“maksud kau?”potong ucok
“aturan lama perbandingannya dengan jumlah
pemilih, sedangkan aturan baru dengan jumlah penduduk” kata Mannopo
“betul, aturannya begitu sesuai dengan
undang-undang pilkada yang baru”kata victor
“Aneh kali, kok bisa begitu ya?”tanya ucok
“Pernah saya baca dalam buku Pilkada Penuh
Euforia Miskin Makna karangan Rahmat Hollyson dan Sri Sundari menjelaskan bahwa
kenaikan dukungan KTP untuk calon independen kalau dihitung-hitung mencapai
450% lebih. Jika sebelumnya dukungan KTP yang dibutuhkan oleh calon Walikota
dari independen hanya 4.000,- KTP, dengan aturan yang baru ini maka dukungan
KTP yang dibutuhkan naik menjadi 18.000an” kata Mannopo
“gile… itu mah bukan kenaikan tapi bentuk
upaya penjegalan secara halus”kata Pache
“maksud kau, supaya bakal calon kepala
daerah tidak bisa mencalon dari independen ya. Dengan demikian bakal calon yang
bisa bersaing dalam pilkada hanya calon-calon yang mampu merapat kepartai”kata
Ucok
“Betul bang. mereka yang mampu merapat ke
perahu partailah yang akan dapat melenggang mengikuti pemilihan. Sedangkan
untuk calon independen harus berjuang
ekstra lagi”kata Victor
“artinya bukan tidak bisa, tetapi lebih
dipersulit aja ya?”tanya trisno.
“betul mas” Jawab Trisno singkat
“Saya beberapa hari ini mencoba mengikuti euforia
pilkada ini, saya mencoba mencari tahu, bagaimana cara sisim pemilihan kepala
daerah secara langsung ini mampu menyentuh ranah kompetensi, integritas, kejujuran,
wawasan calon dan lain sebagainya sehingga kepala daerah yang terpilih
mempunyai kemampuan dan ranah kompetensi yang benar-benar menjadi pemimpin yang
bermanfaat bagi daerahnya. Pemimpin yang benar-benar menjadi seorang negarawan,
mengutamakan kepentingan daerah dari pada kepentingan pribadi” kata rangkayo
yang dari tadi hanya diam membisu memperhatikan teman-temannya berdiskusi.
“persis rangkayo, saya juga memikirkan hal
yang sama” kata pache
“saya belum menemukan tahapan dalam pilkada
langsung ini yang menyentuh ranah tersebut. Yang saya lihat persyaratan utama
untuk maju dalam pilkada adalah tingkat elektabilitas, dan kekuatan finansial. Kedua
faktor ini lah yang paling menguat yang dijadikan alasan utama bagi partai
untuk menunjuk calon kepala daerah yang mereka usung” kata rangkayo
“bagaimana pendapat bang victor?”tanya trisno
“yang aku ikuti, memang untuk pemilihan
kepala darah, kriteria utama yang diberikan oleh partai kepada calon adalah
tingkat elektabilitas. Setelah itu tentunya adalah kemampuan finansial yang
kita miliki.” Kata Victor
“Kalau elektabilitas bisa diperoleh dari
hasil survey, trus bagaimana cara mengukur kemampuan finansial”tanya Pache
“mereka tanya kepada kita, berapa kekuatan
financial kita” jawab victor
“mereka itu maksudnya partai ya?”tanya
trisno
“ya betul” jawab victor singkat
“trus berapa kita harus setoran
kepartai?”tanya pache penasaran
“wah… kalau itu saya tidak mungkin
membukanya mas, karena sifatnya rahasia. Rahasia ini selalu dijaga oleh partai
dan bakal calon kepala daerah” Jawab
Victor
“cerita ke kita-kita, rahasia terjamin kok”
kata Pache berusaha membujuk Vicktor
“jangan mas, tapi yang jelas jumlahnya tidak
jauh dari cerita-cerita yang berkembang di media”jawab victor
“kisaran berapa?” tanya Pache lagi
“Pache penasaran ya, ntar tanya bang ucok
yang tahun depan juga maju pemilihan Bupati” kata Victor menggoda Ucok
“Bah,… fitnah macam apalagi ini” Ujar Ucok
protes
Protes ucok disambut ketawa oleh pache dan
para sahabatnya. Terlihat pache menghirup kopi panasnya. Sedangkan teuku
mengambil sebatang rokok dan mengoleskannya dengan dedak kopi pahit yang selalu
menjadi kesukaanya tersebut.
“kenapa rokoknya dikasih kopi?” tanya Victor
kepada teuku
“harum kopi arabica ini membuat rokok ini
menjadi lebih harum dan semakin mantap rasanya” jawab teuku.
“aku dapat ilmu baru nih.” kata
victor sambil mencoba mengambil dedak kopi yang ada digelasnya. Setelah
diusapkan kerokoknya kemudian rokok tersebut dibakar dan dihisap oleh victor (bersambung.................................. by Hollyson de Maiza)