Enigma Pemberdayaan Masyarakat - Kajian Pemerintahan

Tuesday, March 22, 2016

Enigma Pemberdayaan Masyarakat

Gaung pemberdayaan masyarakat (empowerment) pada satu dasawarsa terakhir, cukup marak dan menggema disuarakan, baik diwacanakan/ dibicarakan dalam forum-forum diskusi yang dilakukan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, ormas, orsospol, baik ditingkat internasional, nasional, regional maupun lokal. Objek pemberdayannya pun beragam model yang dikembangkan apakah pemberdayaan sosial, ekonomi, pendidikan, budaya, spiritual, institusi lokal dan sebagainya. Saluran yang digunakanpun bermacam-macam baik melalui media visual, audio maupun bertatap muka langsung dengan masyarakat yang akan diberdayakan. Bahkan era pemerintahan sekarang Jokowi-JK, khusus dibentuk Kementerian Desa yang tidak lain berkaitan dengan kemandirian masyarakat (empowerment). Semua intinya tetap satu yakni adanya idealisme untuk melepaskan rakyat dari keterkungkungan kemiskinan dan ketidakberdayaan dalam pengambilan keputusan.

Namun yang menjadi pertanyaan, sudah sejauh mana pemberdayaan itu dapat menjawab ketidakberdayaan masyarakat ? selanjutnya, sebenarnya siapa yang tidak berdaya dan harus diberdayakan, apakah masyarakat atau orang dan lembaga yang akan memberdayakan masyarakat tersebut, ataukah kedua-duanya.
Sejauh ini, kita melihat implementasi pemberdayaan masih berputar di arena penyenangan hati rakyat, sebagai jawaban solusi dari keperihan pola sentralisasi yang cukup lama, pemberdayaan masih berputar-putar dalam tataran teori dan perdebatan akademisi, tetapi secara substansi belumlah menyentuh akar hakiki kemalaratan hidup masyarakat..

Pola pemberdayaan, masih menempatkan masyarakat dalam konteks objek untuk mendapatkan proyek dari peluang keterbelengguan masyarakat miskin yang berserakan disepanjang ranah khatulistiwa, kita melihat output yang lahir dari konsep pemberdayaan masyarakat ini lebih banyak berupa capacity building yang berupa penjaringan aspirasi, seminar, pendidikan dan pelatihan. Kegiatan capacity building inipun masih perlu dipertanyakan, akuntabilitas dan transparansi sumber kegiatannya apakah dalam bentuk finansial maupun konsep pembelajarannya juga tidak terbuka kepada masyarakat. Biasanya apabila kegiatannya sudah selesai, maka selesai pula tugas sang pemberdaya, tidak ada evaluasi dan tindak lanjut, selanjutnya terserah masyarakat.

Sedangkan pemberdayaan dalam bentuk aksi langsung yang dapat mendorong percepatan kemajuan, kesejahteraan, kemaslahatan dan pencerahan kualitas hidup masyarakat masih jauh panggang dari api. Jikapun ada lebih banyak untuk menyelematakan masyarakat dari krisis sesaat, bukan permanen dan berkelanjutan. Kita agaknya sudah capek dengan itu semua, kegiatan pemberdayaan masih menempatkan aktor pemberdaya pada posisi diri sebagai sang pahlawan dan juru selamat, yang seolah-olah lebih mengerti dan mengetahui tentang seluk beluk masyarakat, dan yang merasa sebagai pihak yang memiliki kapasitas dan kualitas ilmu pengetahuan yang lebih. Tetapi ironisnya jarang kita mendengar klaim dari masyarakat, bahwa kegagalan dari implementasi konsep pemberdayaan juga merupakan kepandiran dari orang/lembaga yang memberi jasa pemberdayaan tersebut. Tetapi justru sebaliknya jika proyek pemberdayaan itu gagal juntrungan yang disalahkan adalah masyarakat itu sendiri karena dianggap masyarakatnya apatis, partisipasi masyarakat yang rendah dalam pembangunan, penolakan masyarakat terhadap beberapa proyek pembangunan, ketidakberdayaan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan serta pemecahan masalahnya, tingkat adopsi masyarakat yang rendah terhadap inovasi, dan masyarakat cenderung menggantungkan hidup terhadap bantuan pemerintah, serta kritik-kritik lainnya yang umumnya meragukan bahwa masyarakat memiliki potensi untuk dilibatkan sebagai pelaksana pembangunan.
***

Membangun Pondasi kesejahteran masyarakat.
Sebenarnya yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah, pertama bagaimana dia bisa bertahan hidup, bagimana dia bisa hidup dengan merasa aman, nyaman dan tentram secara jasmani dan rohani, bagaimana dia bisa mendapatkan pekerjaan yang dapat menghidupi dirinya, bagaimana dia bisa meningkatkan pendapatan dan perekonomian keluarganya dalam mencapai tataran kesejahteraan, bagaimana dia bisa mendapatkan akses pendidikan yang lebih baik, mungkin secara sederhana cuma itu, dan kesemuanya itu sudah diamanatkan oleh undang-Undang Dasar 1945.
Tapi apa yang terjadi, keberpihakan kepada mereka selalu ternafikan, mereka tetap menjadi cawan penampungan dari berbagai sampah kebijakan dan kegiatan yang tidak mengerti mereka, dan sedihnya lagi merekapun ikhlas untuk menerima dan melaksanakannya, tentunya dengan harapan supaya hidup bisa berubah ataukah budaya “nrimo” setiap kebijakan ini sudah melembaga ?
Berikut ini segelintir contoh dari sekian banyak contoh kasus yang berserakan :
Seperti dibidang pertanian, sudah menjadi arena perdebatan public yang tak kunjung habis di perbincangkan di Negara kita, memang sebuah keanehan, Negara yang sebagian besar penduduknya dari sector agraris, tetapi justru masyarakatnya tidak bisa hidup layak dengan keagrarisannya, harga pupuk dan obat-obatan yang melambung, hasil panen yang yang tak sebanding dengan peluh keringat mereka, harga beras yang selalu menempatkan petani sebagai sumber pemerasan, harga hasil perkebunan yang tidak sebanding dengan biaya investasi penantian bertahun-tahun masyarakat.
Kembali pada tataran pemberdayaan, mengapa kita memberdayakan masyarakat tidak dengan menekan harga pupuk dan obat-obatan pertanian, meningkatkan harga gabah, mencarikan akses pasar, memberdayakan mereka dengan melawan para spekulan dan calo-calo hasil pertanian dan perkebunan, memberdayakan mereka dengan membuka dan memberikan mereka informasi tentang jaring-jaring permainan harga, adakah ini yang dilakukan ?

Dibidang investas, kita masih menjual dendang lama bahwa salah satu keunggulan bangsa Indonesia dalam investasi adalah banyaknya tenaga kerja yang dapat digaji murah, bukankah hal ini kita tidak menelanjangi diri sendiri ? bukankah banyaknya tenaga kerja itu adalah anak bangsa kita sendiri ? tidakkah kita malu kalau mereka berSDM rendah ? kenapa kita harus mengexsploitasi kerendahan SDM mereka, mungkin secara SDM akademis mereka memang tidaklah sebaik yang kita standarkan, tetapi yakinlahlah mereka memiliki kelebihan SDM filosofi, nilai, norma dan budaya lokal yang mengarifi bumi Indonesia, Cuma mereka tidak bisa berkata apa-apa, keadaan semuanya telah dikuasai dengan budaya kapitalisme, dimana materi mengalahkan segalanya,
Paralel dengan itu, yang tak kalah prihatin dan mengenaskanya adalah, kita melihat, para tukang bangunan (yang biasa dikonotasikan dengan kuli bangunan) yang banyak membangun gedung-gedung bertingkat, membangun berbagai infrastruktur fital, tetapi imbalan yang mereka peroleh hanya bisa untuk menghidupi kebutuhan keluarganya selama dia bekerja. Sangatlah minim untuk bisa ditabung, apalagi untuk menjamin masa hari tua mereka. Harusnya dengan tingkat resiko yang cukup tinggi mereka juga harus diberi gaji/upah yang cukup tinggi dan sebanding dengan karyawan professional lainnya. Bukankah tukang bangunan itu juga profesi ? apa jadinya infrastruktur yang semakin hari semakin menjamur berdiri tanpa mereka ? mengapa kita tidak memberdayakan mereka ? mengapa kita tidak membukakan pikirannya bahwa pekerjaan yang mereka lakukan juga sama dengan pekerja professional lainnya ? mengapa kita tidak mengajari mereka cara bernegosiasi dan kontrak kerja dengan pimpinan proyek ? mengajari mereka tentang hak dan kewajiban ketenagakerjaan, system asuransi, transparansi system perupahan dan sebagainya. Apalah artinya jika banyaknya gedung menjulang tinggi tetapi nasib rakyat selalu menjulang tanah. Bukankah tujuan pembangunan (baik fisik maupun non-fisik) untuk masyarakat itu sendiri ?
Kita melihat, betapa banyaknya warteg, warung pecel lele, warung nasi gudeg, nasi padang, kedai-kedai kopi, kedai bubur kacang ijo, kedai-kedai rokok, pedagang asongan dll yang berserakan sepanjang jalan, mengapa kita tidak memberdayakan dengan mengajari mereka tentang manajemen sederhana ? mengapa kita tidak membentuk badan usaha atau semacam koperasi yang profesional untuk mnghimpun mereka ? mengapa kita tidak memberdayakan dan mengajari mereka manajemen pemasaran seperti jaringan gurita swalayan atau supermarket yang hanya dimiliki oleh segelintir kalangan itu saja ? mengapa kita tidak memberdayakan dan mengajari mereka tentang system francaise atau joint ventura ? mengapa kita tidak mendekati mereka kalau bukan dikatakan untuk “menghindari” mereka dari system perkreditan perbankan ? jika hal ini terus terjadi maka kita hanya menunggu waktu saja warung-warung makan tradisional akan dijarah juga oleh system francaise konglomerasi, pasar-pasar tradional akan digantikan dengan plaza-plaza, warung-warung kopi nanti akan berganti dengan café-café. Pasar sayur akan masuk ke mal-mal, manalagi kapling bagi masyarakat ?
***

Dari pemberdayaan yang mengawang-ngawang ke pemberdayaan akar rumput


Merobah Advokasi menjadi Aksi
Rasanya cukuplah sudah model pemberdayaan yang dilakukan dari berbagai elemen yang merasa mendengarkan jeritan hati para petani, pedagang asongan, kuli bangunan, kuli pelabuhan, nelayan, pemulung sisa-sisa kotoran, pengemis jalanan, pemukim dikolong jembatan, ….
Juga rasanya cukuplah sudah aksi yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka “memberdayakan” mereka. Tetapi hasilnya cukup mencengangkan, angka kemiskinan terus meningkat. Mungkin yang perlu dicarikan jawabannya adalah apakah metode, konsep, pendekatan, keseriusan, kapasitas pemberi layanan pemberdayaan, keikhlasan dan keterbukaan, gerakan yang dilakukan itu sudah menyentuh akar permasalahan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri ?
Kedepan agenda pemberdayaan ini, tidak usahlah dibalut dengan sloganistis bombastis, seolah-olah pemberdayaan memang dapat melepaskan jerat kemiskinan, tetapi cukup rasional saja, yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk segera bangkit dari kemiskinan dan kemelaratannya bukanlah irama gelombang suara dengan retorika yang tersusun secara indah dimuka forum seminar, diskusi panel, symposium, seabrek teori-teori dan konsep multi dimensi dengan kosa kata yang orang kampus punya, temu ramah di gedung pertemuan/balai desa, tetapi yang dibutuhkan adalah adanya tindakan nyata untuk membimbing dan jalan beriring dengan mereka dengan konsep dan strategi merubah pola pikir, melawan segala bentuk kecurangan dan transfer manajemen, seperti mencari dan membukakan mereka untuk akses perbankan guna mendapatkan modal usaha, mengajari mereka untuk bernegosiasi dengan para pimpinan proyek, mendampingi dan mengajari mereka jalur dan akses pasar dalam menyalurkan produknya. Mendampingi mereka membentuk unit usaha yang professional, mendampingi mereka untuk melawan percaloan, mengadvokasi mereka untuk melawan para penjarah hutan, mendampingi mereka untuk merumuskan nilai-nilai kearifan lokal/adat yang bertebaran dalam bentuk tradisi lisan menjadi dokumen/hukum adat tertulis. Serta regulasi yang pro rakyat secara fundamental.
Apakah pemberdayaan dengan memproteksi mereka dari penjarahan ekonomi, social, budaya dan ideologis sebelum mereka mampu mencapai tataran sejahtera, mandiri dan maju bukan suatu tindakan yang adil ? apakah itu bentuk diskriminasi ? mengapa kita tidak memberdayakan mereka dengan membuat konglomerakyat ?




By Empi Muslion
(Peneliti pada Indostrategi)









Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda