Fenomena calon tunggal pada pilkada serentak 2015 semakin menarik untuk dicermati. Setelah pendaftaran pasangan calon kepala daerah diperpanjang terdapat 7 calon tunggal dan akhirnya terdapat 4 calon tunggal pada perpanjangan pendaftaran kedua. Langkah apa yang harus ditempuh oleh KPU pemerintah dalam menyikapi calon tunggal dalam pesta demokrasi pemilihan kepala daerah tersebut?.
Salah satu alternatif yang dimunculkan untuk mengatasi masalah calon tunggal ini adalah tetap melaksanakan pemilihan dengan menghadapkan calon tunggal versus bumbung kosong. Alternatif ini merupakan salah satu altenatif dari beberapa alternatif lainnya, misalnya memperpanjang kembali pendaftaran calon kepala daerah, ataupun menunda pelaksanaan pilkada tahun 2017.
Memilih calon tunggal atau bumbung kosong merupakan pertarungan untuk memilih calon kepala daerah yang aktif dengan calon pasif. Alternatif ini sepertinya merupakan bentuk “kehilangan akal” untuk mencarikan solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi. Selain pemerintah pemilihan calon tunggal melawan bumbug kosong juga disampaikan oleh Ketua Kehormatan KPU. “Menurut Jimly, beberapa opsi yang bisa diambil pemerintah dalam menghadapi pilkada serentak di antaranya, tetap menunda hingga 2017 sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015, atau menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dengan beberapa pilihan. Salah satunya, calon tunggal 'melawan' bumbung kosong”. (Sumber : okezone.com Kamis, 4 Agustus 2015 pukul 21.20 wib).
Bagaimana mungkin kita memilih kepala daerah dengan menghadapkan calon tunggal dengan bumbung kosong. Satu sisi calon yang mampu mempengaruhi massa untuk memilihnya melalui pencitraan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi, dan kekuatan uang yang dimiliki. Disisi lain bumbung kosong hanya diam tanpa berbuat apa-apa. Bumbung kosong jelas saja tidak mampu mengkampanyekan dirinya agar dipilih oleh masyarakat, dan yang pasti bumbung kosong tidak mampu melakukan politik uang untuk memenangkan pemilihan tersebut.
Bagi mereka yang punya uang dan kekuasaan bisa saja memborong sebanyak mungkin partai yang ada dalam rangka mempersulit calon lainnya untuk mendapatkan perahu. Dengan demikian jika tidak ada yang bisa mendaftar dan terjadi calon tunggal, maka calon tunggal tersebut mempunyai kesempatan yang besar untuk memenangkan pemilihan. Yang lebih ironis tentunya jika terjadi sebaliknya. Jika seandainya ternyata bumbung kosong mampu memenangkan pemilihan, maka mau ngga mau sistim pemilihan yang dilaksanakan sekarang ini perlu ditinjau ulang.
Tentunya alternatif seperti orang “kehilangan akal” ini tidak akan dipilih oleh KPU ataupun pemerintah sebagai alternatif untuk mengatasi permasalahan calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah. Semestinya pemerintah dan DPR menjadikan fenomena ini menjadi pelajaran yang berharga dalam membuat kebijakan, sehingga kebijakan yang diputuskan tersebut dapat meminimalisir permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan sebagai salah satu dampak dari kebijakan yang telah diputuskan.
Oleh Dr. Rahmat Hollyson Maiza,
Salah satu alternatif yang dimunculkan untuk mengatasi masalah calon tunggal ini adalah tetap melaksanakan pemilihan dengan menghadapkan calon tunggal versus bumbung kosong. Alternatif ini merupakan salah satu altenatif dari beberapa alternatif lainnya, misalnya memperpanjang kembali pendaftaran calon kepala daerah, ataupun menunda pelaksanaan pilkada tahun 2017.
Memilih calon tunggal atau bumbung kosong merupakan pertarungan untuk memilih calon kepala daerah yang aktif dengan calon pasif. Alternatif ini sepertinya merupakan bentuk “kehilangan akal” untuk mencarikan solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi. Selain pemerintah pemilihan calon tunggal melawan bumbug kosong juga disampaikan oleh Ketua Kehormatan KPU. “Menurut Jimly, beberapa opsi yang bisa diambil pemerintah dalam menghadapi pilkada serentak di antaranya, tetap menunda hingga 2017 sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015, atau menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dengan beberapa pilihan. Salah satunya, calon tunggal 'melawan' bumbung kosong”. (Sumber : okezone.com Kamis, 4 Agustus 2015 pukul 21.20 wib).
Bagaimana mungkin kita memilih kepala daerah dengan menghadapkan calon tunggal dengan bumbung kosong. Satu sisi calon yang mampu mempengaruhi massa untuk memilihnya melalui pencitraan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi, dan kekuatan uang yang dimiliki. Disisi lain bumbung kosong hanya diam tanpa berbuat apa-apa. Bumbung kosong jelas saja tidak mampu mengkampanyekan dirinya agar dipilih oleh masyarakat, dan yang pasti bumbung kosong tidak mampu melakukan politik uang untuk memenangkan pemilihan tersebut.
Bagi mereka yang punya uang dan kekuasaan bisa saja memborong sebanyak mungkin partai yang ada dalam rangka mempersulit calon lainnya untuk mendapatkan perahu. Dengan demikian jika tidak ada yang bisa mendaftar dan terjadi calon tunggal, maka calon tunggal tersebut mempunyai kesempatan yang besar untuk memenangkan pemilihan. Yang lebih ironis tentunya jika terjadi sebaliknya. Jika seandainya ternyata bumbung kosong mampu memenangkan pemilihan, maka mau ngga mau sistim pemilihan yang dilaksanakan sekarang ini perlu ditinjau ulang.
Tentunya alternatif seperti orang “kehilangan akal” ini tidak akan dipilih oleh KPU ataupun pemerintah sebagai alternatif untuk mengatasi permasalahan calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah. Semestinya pemerintah dan DPR menjadikan fenomena ini menjadi pelajaran yang berharga dalam membuat kebijakan, sehingga kebijakan yang diputuskan tersebut dapat meminimalisir permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan sebagai salah satu dampak dari kebijakan yang telah diputuskan.
Oleh Dr. Rahmat Hollyson Maiza,