Sahabat, pernahkah engkau menderita sakit? Kala itu, apa yang engkau rasakan ketika makan? Sebagian mungkin ada yang tidak berselera untuk makan, sebagian lagi mungkin masih berselera tetapi kemudian muntah akibat rasa mual yang mendera. Satu hal yang pasti, orang sakit akan terhalang dari merasakan kelezatan makanan sebagaimana pada saat ia sehat. Lidah sebagai indera perasa sedang tidak berfungsi dengan baik, akibatnya makanan selezat apa pun tidak akan terasa enak.
Namun, hal berbeda akan terjadi jika kita sehat. Ketika perut sudah keroncongan, nasi bungkus dengan sayur dan lauk seadanya pun akan terasa lezat. Apalagi, makanan yang lebih baik; akan terasa lebih mak nyuss. Bukan itu saja, meskipun harus bersusah payah—seperti mengorek-ngorek daging dari cangkang kepiting atau memisahkan duri dari daging ika—pun akan dilakoni dengan gembira demi kenikmatan yang menggoyang lidah.
Makanan enak, hanya dapat terasa nikmat jika indera yang merasakannya dalam kondisi sehat. Jika indera perasa kita sedang sakit, maka makanan seenak apa pun tidak akan terasa enak. Meskipun rumus itu berlaku untuk urusan makanan jasmani, tetapi ternyata juga bisa diaplikasikan pada urusan ruhani. Sebagaimana jasmani, ruhani kita pun membutuhkan asupan makanan. Salah satu asupan ruhani tersebut adalah Ibadah. Tidak berbeda dengan asupan jasmani, asupan ruhani (Ibadah—red.) juga hanya akan terasa nikmat, jika kondisi ruhani kita sedang sehat. Jika konsisi ruhani kita sedang sakit, maka jangankan merasa nikmat melakukannya, membayangkannya saja barangkali sudah malas.
Saat kondisi ruhani sehat, kita akan bersemangat melakukan berbagai ibadah: shalat, tilawah, puasa, dan ibadah-ibadah yang lain. Bahkan seakan-akan semua makanan ruhani itu belum cukup mengenyangkan kita dan berhasrat lebih jauh untuk menambah kuantitas ibadah yang dilakukan. Tilawah misalnya, saat kondisi ruhani prima, lantunan-lantunan ayat yang keluar dari mulut kita akan terasa begitu sejuk, membuat kita terhanyut dalam suasana syahdu, bahkan tak jarang bisa membuat kita menangis karena mengingat Allah. Dan karena kenikmatan bertilawah tersebut, satu juz mungkin saja masih terasa kurang.
Namun, dalam kondisi ruhani sedang sakit atau sedang menurun kualitasnya, kenikmatan dalam menjalankan ibadah akan berkurang atau bahkan tidak terasa sama sekali. Yang dirasakan justru keengganan untuk melakukan ibadah meskipun itu hanya ibadah ringan dan sederhana. Maka ibadah yang berat dan butuh perjuangan ekstra untuk melakukannya akan terasa jauh lebih enggan untuk dilakukan.
Padahal, dalam kondisi sakit fisik sekalipun, kita tetap membutuhkan asupan makanan. Jika kita sakit dan tidak mau makan, maka penyakit yang kita derita akan bertambah parah dan membahayakan keselamatan kita. Begitupun dengan ibadah sebagai makanan ruhani, dalam kondisi ruhani yang tidak sehat, keengganan kita ‘memakan’ asupan ruhani juga akan membahayakan.
Penurunan kondisi ruhani sejatinya merupakan hal yang manusiawi sebagaimana disampaikan Imam asy-Syafi’i, “Al Imanu yazidu wa yanqush, yazidu bith tha’ah wa yanqush bil maksiyyah… (iman itu bertambah dan berkurang, bertambah dengan amalan ketaatan dan berkurang dengan amalan maksiat”. Lantas, apa yang harus kita lakukan ketika kondisi ruhani kita sedang menurun? Tentu saja kita harus mengobatinya dengan melaksanakan resep dari intisari perkataan Imam asy-Syafi’i di atas, yaitu dengan tetap menjaga amalan-amalan wajib kita dan menghindari perbuatan maksiat. Akan lebih baik lagi jika kita dapat menambah amalan-amalan sunnah serta memperdalam ilmu agama.
Untuk menjamin membaiknya kondisi ruhani kita, resep di atas harus “diminum” secara teratur dengan tetap menghindari perbuatan maksiat sebagai sumber penyakit. Hal ini penting, mengingat betapa banyak orang sakit yang pergi ke dokter, setelah diberi resep dan ditebus, obatnya tidak diminum. Bahkan mereka juga memakan makanan-makanan yang seharusnya tidak boleh mereka makan. Alhasil, sakit mereka tidak akan pernah sembuh, bahkan akan bertambah parah.
Demikianlah, coba tanyakan kepada hati nurani kita, khusyukkah, nikmatkah ibadah-ibadah yang selama ini kita lakukan? Jika jawabannya tidak, maka boleh jadi kondisi ruhani kita sedang tidak sehat alias sakit dan perlu segera diobati sebelum berstatus kronis.
Namun, hal berbeda akan terjadi jika kita sehat. Ketika perut sudah keroncongan, nasi bungkus dengan sayur dan lauk seadanya pun akan terasa lezat. Apalagi, makanan yang lebih baik; akan terasa lebih mak nyuss. Bukan itu saja, meskipun harus bersusah payah—seperti mengorek-ngorek daging dari cangkang kepiting atau memisahkan duri dari daging ika—pun akan dilakoni dengan gembira demi kenikmatan yang menggoyang lidah.
Makanan enak, hanya dapat terasa nikmat jika indera yang merasakannya dalam kondisi sehat. Jika indera perasa kita sedang sakit, maka makanan seenak apa pun tidak akan terasa enak. Meskipun rumus itu berlaku untuk urusan makanan jasmani, tetapi ternyata juga bisa diaplikasikan pada urusan ruhani. Sebagaimana jasmani, ruhani kita pun membutuhkan asupan makanan. Salah satu asupan ruhani tersebut adalah Ibadah. Tidak berbeda dengan asupan jasmani, asupan ruhani (Ibadah—red.) juga hanya akan terasa nikmat, jika kondisi ruhani kita sedang sehat. Jika konsisi ruhani kita sedang sakit, maka jangankan merasa nikmat melakukannya, membayangkannya saja barangkali sudah malas.
Saat kondisi ruhani sehat, kita akan bersemangat melakukan berbagai ibadah: shalat, tilawah, puasa, dan ibadah-ibadah yang lain. Bahkan seakan-akan semua makanan ruhani itu belum cukup mengenyangkan kita dan berhasrat lebih jauh untuk menambah kuantitas ibadah yang dilakukan. Tilawah misalnya, saat kondisi ruhani prima, lantunan-lantunan ayat yang keluar dari mulut kita akan terasa begitu sejuk, membuat kita terhanyut dalam suasana syahdu, bahkan tak jarang bisa membuat kita menangis karena mengingat Allah. Dan karena kenikmatan bertilawah tersebut, satu juz mungkin saja masih terasa kurang.
Namun, dalam kondisi ruhani sedang sakit atau sedang menurun kualitasnya, kenikmatan dalam menjalankan ibadah akan berkurang atau bahkan tidak terasa sama sekali. Yang dirasakan justru keengganan untuk melakukan ibadah meskipun itu hanya ibadah ringan dan sederhana. Maka ibadah yang berat dan butuh perjuangan ekstra untuk melakukannya akan terasa jauh lebih enggan untuk dilakukan.
Padahal, dalam kondisi sakit fisik sekalipun, kita tetap membutuhkan asupan makanan. Jika kita sakit dan tidak mau makan, maka penyakit yang kita derita akan bertambah parah dan membahayakan keselamatan kita. Begitupun dengan ibadah sebagai makanan ruhani, dalam kondisi ruhani yang tidak sehat, keengganan kita ‘memakan’ asupan ruhani juga akan membahayakan.
Penurunan kondisi ruhani sejatinya merupakan hal yang manusiawi sebagaimana disampaikan Imam asy-Syafi’i, “Al Imanu yazidu wa yanqush, yazidu bith tha’ah wa yanqush bil maksiyyah… (iman itu bertambah dan berkurang, bertambah dengan amalan ketaatan dan berkurang dengan amalan maksiat”. Lantas, apa yang harus kita lakukan ketika kondisi ruhani kita sedang menurun? Tentu saja kita harus mengobatinya dengan melaksanakan resep dari intisari perkataan Imam asy-Syafi’i di atas, yaitu dengan tetap menjaga amalan-amalan wajib kita dan menghindari perbuatan maksiat. Akan lebih baik lagi jika kita dapat menambah amalan-amalan sunnah serta memperdalam ilmu agama.
Untuk menjamin membaiknya kondisi ruhani kita, resep di atas harus “diminum” secara teratur dengan tetap menghindari perbuatan maksiat sebagai sumber penyakit. Hal ini penting, mengingat betapa banyak orang sakit yang pergi ke dokter, setelah diberi resep dan ditebus, obatnya tidak diminum. Bahkan mereka juga memakan makanan-makanan yang seharusnya tidak boleh mereka makan. Alhasil, sakit mereka tidak akan pernah sembuh, bahkan akan bertambah parah.
Demikianlah, coba tanyakan kepada hati nurani kita, khusyukkah, nikmatkah ibadah-ibadah yang selama ini kita lakukan? Jika jawabannya tidak, maka boleh jadi kondisi ruhani kita sedang tidak sehat alias sakit dan perlu segera diobati sebelum berstatus kronis.