Bangkit Sebelum Bangkrut - Kajian Pemerintahan

Tuesday, March 8, 2016

Bangkit Sebelum Bangkrut

 
    Lihatlah kebangkrutan sumber daya alam kita, berapa banyak diantaranya telah habis dieksploitasi oleh oknum pengusaha dalam dan luar negeri. Alam menjadi rusak dan kita mewariskan bagi anak cucu lingkungan yang rentan dengan berbagai macam bencana alam.
    Lihatlah kebangkrutan daya saing kita. Berdasarkan data The Global Competitiveness Report 2010-2011, World Economic Forum, Indonesia berada di peringkat ke-44, jauh di bawah Malaysia yang menempati peringkat ke-26, bahkan sangat jauh dibawah Singapura yang berada di peringkat ke-3.
    Lihatlah sumber daya finansial bangsa ini, dimana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) nya habis digunakan untuk membayar utang luar negeri. Utang luar negeri Indonesia terus bertumpuk. Data terbaru Bank Indonesia yang baru dirilis tanggal 19 Februari 2015, mencatat posisi utang luar negeri per kuartal keempat tahun 2014 mencapai US$ 293,7 miliar atau setara Rp 3,759 triliun (dihitung dengan kurs Rp 12.800 per dolar). Kondisi  ini akan semakin parah dengan pergerakan rupiah yang terus melemah. Kondisi  ini masih dipicu dengan politik yang  semakin tidak stabil. Pada akhirnya perekonomian negara kita akan ambruk, hancur berantakan, seperti yang terjadi di Yunani.
    Apalagi secara moral, bangsa ini sudah bangkrut. Lihatlah oknum polisi, jaksa, dan hakim kita, berapa banyak diantara mereka yang diberi amanah sebagai penegak hukum tapi tersangkut kasus korupsi. Hukum bisa dinego, jaksa, polisi dan hakim bisa disuap. Berapa lama hukuman tergantung berapa dana yang disiapkan. Ini hanya sebagian kecil saja potret buram bangsa.
    Lihatlah pula oknum anggota dewan kita, baik yang di pusat maupun yang di daerah, berapa banyak diantara mereka yang tersangkut kasus korupsi. Lihatlah oknum kepala daerah kita, Gubernur, Bupati/Walikota, berapa banyak diantara mereka yang harus mendekam di dalam penjara karena kasus korupsi. Padahal mereka dipilih secara langsung oleh rakyat dengan biaya yang sangat besar.
    Berdasarkan data Dirjen Bina Administrasi Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, biaya penyelenggaraan pilkada 2010 mencapai Rp 3,54 triliun. Angka ini sungguh sangat menakjubkan ditengah-tengah bangsa Indonesia yang sedang mengalami keterpurukan ekonomi. Selain itu biaya sosial yang harus ditanggung akibat ketidakdewasaan sebagian masyarakat Indonesia dalam menanggapi kekalahan calon yang diunggulkannya dapat  menyebabkan tindakan anarkis yang berujung pada rusaknya infra struktur yang telah ada.
    Apalagi bila melihat hasil survey tahun 2010 yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berpusat di Hongkong dengan responden eksekutif bisnis ekspatriat menetapkan Indonesia sebagai negara yang mempunyai sistem birokrasi terburuk kedua di Asia setelah India.
    Lantas apalagi yang bisa kita andalkan?. Bulan Mei merupakan bulan yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia. Terutama karena pada bulan tersebut, bangsa Indonesia selalu memperingati momentum kebangkitan nasional. Semangat kebangkitan harus terus dikumandangkan dan dilakukan rekontekstualisasi sesuai dengan masanya, tidak hanya dimaknai sebatas pada peringatan secara seremonial. "Kebangkitan setelah era kemerdekaan dimanfaatkan sebagai momentum untuk membangun bangsa yang maju, adil dan sejahtera.” Arti kebangkitan dapat direkontekstualisasi dengan kondisi bangsa saat ini. Krisis sumber daya manusia, daya saing, ekonomi, budaya  tidak seharusnya membuat kita menyerah dan terpuruk. "Tapi dengan semangat kebangkitan kita harus tetap terus berusaha untuk mencapai kemakmuran."
    Bangsa yang rakyatnya makmur tentu akan disegani oleh bangsa-bangsa lain. Singapura misalnya, dari sisi geografis dan demografis, Singapura bukanlah negara besar, tapi karena kehidupan rakyatnya sejahtera, Singapura menjadi negara yang disegani dan diperhitungkan dalam setiap pergaulan internasional. Padahal negara ini dahulunya adalah bagian dari koloni Kerajaan Sriwijaya yang ada di Indonesia. Namun, sekarang negara ini telah maju pesat, dan bahkan dapat melebihi negara kita yang dahulu pernah mendudukinya.
    Sementara negara kita (Indonesia), dari sisi geografis maupun demografis, Indonesia boleh dikatakan negara besar, tapi karena jumlah penduduk miskinnya banyak dan pendapatan perkapita penduduknya rendah, Indonesia menjadi negara yang mudah dilecehkan dan didikte oleh negara lain. Lihat saja, bagaimana bangsa ini beberapa kali “dilecehkan” oleh negara tetangganya sendiri (Malaysia) dan didikte oleh negara-negara “pengutang.”
    Cerita dari perkembangan negara Singapura adalah salah satu kisah sukses paling inspiratif tentang mengubah kegagalan menjadi batu loncatan, seperti yang pernah tertulis dalam buku John Maxwell, berjudul Failing Forward. Mengapa failing forward? Sebab, Singapura mengalami perjuangan yang sangat berat ketika baru mencoba merdeka. Mereka mengalami kegagalan dan keterpurukan, namun akhirnya bisa bangkit kembali.
     Negara Singapura memang bukanlah negara yang sempurna. Negara kita juga tidak selalu kalah dengan Singapura. Namun, kisah suksesnya dalam “mengubah kegagalan menjadi batu loncatan” pantas kita tiru dan terapkan, baik sebagai individu atau sebagai negara.
    Strategi pembangunan melalui pemberdayaan dan partisipasi masyarakat yang selama ini telah kita lakukan, perlu terus dilanjutkan dan dikembangkan agar memberikan peluang kepada rakyat untuk berperan sebagai subyek dan aktor yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya dan mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya.
    Negara ini sudah mengalami permasalahan yang begitu kompleks, walaupun seperti itu kita tidak boleh menyerah begitu saja. Bangsa ini mempunyai banyak orang cerdas dan unggul disegala bidang, karena itu mari kita bahu membahu menuju bangsa yang lebih maju, bangsa yang mampu membawa masyarakatnya menuju kesejahteraan.


   Namun dari semua hal itu, yang sangat mengkhawatirkan adalah kebangkrutan asset masa depan negara. Lihatlah kebangkrutan pendidikan kita. Berdasarkan indeks pembangunan pendidikan untuk semua atau Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011 peringkat Indonesia menurun. Jika tahun lalu Indonesia berada di peringkat ke-65, tahun ini merosot di peringkat ke-69.
  Sungguh ironis, di negeri kita yang kaya raya akan sumber daya alam ini,  berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2014 mencapai 27,73 juta orang dengan pendapatan kurang dari US$ 1/hari. Kondisi seperti ini tidak lebih baik dari “kesejahteraan” sapi di Uni Eropa yang menerima subsidi pakan 2 USD/hari/ekor (dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar UGM Prof. Dr. Ir. Sudi Nurtini, SU, 2011).  Padahal berbagai upaya telah dilakukan, beragam kebijakan dan program telah disebar, sehingga tidak sedikit jumlah dana yang telah dikeluarkan demi mengatasi persoalan bangsa. Tak terhitung berapa kajian dan ulasan telah dilakukan di universitas, hotel berbintang dan tempat lainnya.



Oleh
Dr. Mohammad Mulyadi, AP.,M.Si
Penulis adalah Peneliti Pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi
Setjen DPR RI.

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda