Abstract:
In civic politics, many things to note, but in a condition that concerns national political leaders and the government is required to appear to give greater attention to their needs and at the same time they are required to practice the pattern of life constantly against the ethics. This is done so that people feel not far from its leaders. Political ethics for leaders (including members of the legislature) intended for them to have the moral consciousness of the position acquired from the State on behalf of the people. Officials and local politicians who obey the norms of the code of ethics will place his duty as government officials over its interests will be career and status. Meanwhile, political communication is seen as a channel the aspirations and political interests of the people who became a political system and the inputs at the same time he also adopted a policy to channel the output of the political system. Through the people's political communications support, convey aspirations, and to supervise the political system.
Keyword: political etics, politic communication, local parlement, government
Pendahuluan
Akhir-akhir ini dalam pembicaraan berkenaan praktek politik pemerintahan berujung pada suatu asumsi bahwa para politisi dan elit pemerintahan sering beraktivitas tanpa muatan etika. Hal itu yang menyebabkan masyarakat cenderung jenuh dengan perilaku yang dipertontonkan oleh para elit. Pada saat yang sama sumbatan-sumbatan aspirasi masih sering dijumpai dalam dinamika politik dan pemerintahan, khususnya di daerah.
Ketika politik dipelajari melalui pendekatan etika maka memunculkan upaya perbaikan perilaku melalui penyadaran norma agama atau moral. Padahal dalam masyarakat sering tumbuh fenomena yang dinilai paradoks, seseorang seringkali taat dalam praktik formal kehidupan agama, namun perilaku baik itu pada akhirnya bukan jaminan integritas hidup politik-pemerintahan. Simbol-simbol agama sering digunakan untuk menutupi keadaan yang sebenarnya dan menjadi pembenaran kepentingan politisi. Seringkali kita menyaksikan banyak orang berlatar belakang pendidikan keagamaan yang kuat, akhirnya terperangkap jeratan korupsi, money-politics, dan obsesi kekuasaan ketika pada gilirannya memperoleh kesempatan.
Meski demikian pendekatan agama tetap dipandang sebagai salah satu faktor yang mampu ’menjaga’ perilaku politisi dan elit pemerintahan agar tetap berjalan pada jalan yang benar. Perilaku politisi hanya salah satu dimensi etika politik karena kehendak baik seyogianya ditopang institusi yang adil. Kehendak baik berfungsi mempertajam makna tanggung jawab, sedangkan institusi (hukum, aturan, kebiasaan, lembaga sosial) berperan mengorganisir tanggung jawab Paul Ricoeur (1990). Dengan demikian, etika politik tidak direduksi hanya menjadi masalah perilaku individu.
Melalui tulisan ini, penulis mengulas eksistensi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai suatu instrumen pemerintahan di daerah. Tinjauan tersebut dilakukan dari dua perspektif, yaitu perspektif pelaksanaan etika politik-pemerintahan dan tinjauan komunikasi pemerintahan, Karena bagaimanapun juga lembaga legislatif tersebut merupakan ”audio visual” masyarakat di daerah. Artinya anggota legislatif menjadi perhatian masyarakat (khususnya perwujudan etika politik) dan pada saat yang sama mereka menjadi ”corong” atas lengkingan aspirasi dan kebutuhan rakyat.
Dimensi Etika Politik
Etika politik mengandung tiga dimensi yang menentukan dinamika politik Wayne,A.R Leys (1961) Dimensi pertama adalah tujuan politik yang dirumuskan dalam mencapai kesejahteraan masyarakat dan hidup damai yang didasarkan pada kebebasan dan keadilan. Dalam negara demokratis, pemerintah bertanggung jawab atas kedua komitmen itu. Keprihatinan utama ialah upaya penerapan kebijakan umum (policy) dalam manajemen publik. Menghadapi masalah-masalah negara, kebijakan umum pemerintah harus terumus jelas dalam prioritas, program, metode, dan pendasaran filosofisnya. Lalu menjadi transparan apa yang harus dipertanggungjawabkan.
Atas dasar kebijakan umum ini wakil rakyat dan kelompok-kelompok masyarakat bisa membuat evaluasi pelaksanaan, kinerja pemerintah dan menuntut pertanggungjawaban. Kejelasan tujuan kebijakan publik menunjukkan ketajaman visi seorang pemimpin dan kepedulian suatu partai politik terhadap aspirasi masyarakat. Dimensi moralnya terletak pada kemampuan menentukan arah yang jelas kebijakan umum dan akuntabilitasnya.
Dimensi kedua menyangkut masalah pilihan sarana yang memungkinkan pencapaian tujuan (polity). Dimensi ini meliputi sistem dan prinsip dasar pengorganisasian praktik penyelenggaraan negara dan institusi-institusi sosial. Hal terakhir ini ikut menentukan pengaturan perilaku masyarakat dalam menghadapi masalah-masalah dasar. Dimensi sarana (polity) mengandung dua pola normatif: pertama, tatanan politik (hukum dan institusi) harus mengikuti prinsip solidaritas dan subsidiaritas, penerimaan pluralitas; struktur sosial ditata secara politik menurut prinsip keadilan. Maka asas kesamaan dan masalah siapa diuntungkan atau siapa dirugikan oleh hukum atau institusi tertentu relevan dibahas; kedua, kekuatan-kekuatan politik ditata sesuai prinsip timbal-balik.
Tidak sedikit politisi mengabaikan dimensi etika, mereka hanya berpikir untuk dirinya, tidak mampu menempatkan pada posisi orang lain. Hal ini pula yang membuat mereka tidak peka terhadap jeritan rakyat. Legitimitas representasi mereka perlu dipertanyakan. Dimensi moral pada tingkat sarana ini terletak pada peran etika dalam menguji dan mengkritisi legitimitas keputusan-keputusan, institusi-institusi, dan praktik-praktik politik, yang pada gilirannya akan membentuk struktur-struktur.
Dimensi ketiga etika politik adalah aksi politik (politics). Pelaku menentukan rasionalitas politik. Rasionalitas politik terdiri rasionalitas tindakan dan keutamaan (kualitas moral pelaku). Tindakan politik disebut rasional bila pelaku mempunyai orientasi situasi dan paham permasalahan. Ini mengandaikan kemampuan mempersepsi aneka kepentingan yang dipertaruhkan berdasar peta kekuatan politik yang ada. Disposisi kekuasaan ini membantu memperhitungkan dampak aksi politiknya. Menghindari kekerasan menjadi imperatif moral, penguasaan manajemen konflik adalah syarat aksi politik yang etis. Aksi mengandaikan keutamaan: penguasaan diri dan keberanian memutuskan serta menghadapi risikonya. Etika identik dengan tindakan rasional dan bermakna. Politik bermakna karena memperhitungkan reaksi yang lain: harapan, protes, kritik, persetujuan, penolakan. Makna moral semakin dalam ketika tindakan politikus didasari keberpihakan kepada yang lemah atau korban.
Kedudukan dan peran DPRD dalam Sistem Pemerintahan Daerah.
Dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah, baik daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota, tanggung jawab tidak berada dipundak pemerintah (eksekutif) semata, namun juga pada lembaga Lembaga legislative (Dewan Perwakilan Rakyat daerah). DPRD menjadi sangat penting antara lain disebabkan posisinya yang sangat strategis dalam melakukan pengawasan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah daerah. Disamping itu adanya fungsi legislasi yang dimiliki oleh lembaga ini memberikan harapan bahwa institusi tersebut akan mampu membuat kebijakan yang demokratis dan partisipatif.
Di dalam Undang-Undang Pemerintahan daerah dinyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan lembaga perwakilan yang berkedudukan sebagai unsur lembaga pemerintahan daerah. Pada bagian lain dalam aturan tersebut dinyatakan bahwa DPRD sebagai unsur lembaga pemerintahan di daerah memiliki tanggung jawab yang sama dengan pemerintah daerah (eksekutif). Mengingat pentingnya kedudukan DPRD dalam sistem pemerintahan daerah, maka lembaga ini memiliki peran penting dalam hal:
1. Perumus kebijakan, yaitu menetapkan tujuan, menguji alternatif dan menentukan strategi guna mempedomani langkah-langkah masa kini dan masa mendatang sehingga memberikan manfaat bagi masyarakat.
2. Pengambil keputusan atas beberapa opsi dan pilihan yang tersedia.
3. Penyalur informasi, memberi dan menerima informasi, gagasan dan perasaan dengan pengertian dan akurat.
4. Negosiator, membantu orang lain untuk menemukan solusi-solusi yang dapat diterima walaupun terdapat perbedaan kepentingan.
5. Penentu kebijakan keuangan, membuat keputusan-keputusan tentang perolehan, pengaalokasian/pembagian serta penggunaan keuangan daerah.
6. Pengawas, dalam bentuk penjaminan melalui berbagai aktivitas pengawasan dan pengendalian, bahwa pihak eksekutif maupun legislatif melakukan hal-hal yang diperlukan dengan cara yang baik.
7. Penguasa, dalam pengertian menggunakan pengaruh dan kekuasaan yang dimiliki agar segala hal dapat diselesaikan.
8. Pemberdayaan kelembagaan, mendorong pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan pengembangan organisasi pemerintah daerah.
9. Pemimpin dalam membawa perubahan yang positif di dalam kehidupan para pendukungnya dan masyarakat.
Dalam upaya memahami kedudukan dan peran tersebut, seyogianya anggota legislatif di daerah berupaya meningkatkan kapasitas bagi secara personal/individu maupun secara institusional. Kapasitas yang kuat sangat dibutuhkan dalam memahami issu-issu demokratisasi, otonomi daerah serta kemampuan teknik legislasi, budgeting dan politik lokal. Setidaknya terdapat 6 (enam) pertimbangan yang dapat dijadikan dasar dalam peningkatan kapasitas tersebut antara lain:
1. Anggota DPRD secara terus-menerus meningkatkan pemahamannya tentang issu pemerintahan daerah serta membangun proses legislatif/pemerintahan yang sesuai.
2. Mekanisme kelembagaan untuk mendukung pelaksanaan fungsi dan tugas DPRD terbentuk dan secara teratur disesuaikan dengan kebutuhan operasional.
3. Hubungan antara DPRD, masyarakat dan masyarakat setempat secara umum diperkuat
4. Hak untuk mengakses/memperoleh informasi dijamin, sehingga memungkinkan masyarakat umum untuk melaksanakan kontrol sosial atas kinerja dan kegiatan DPRD
5. Struktur dan mekanisme partisipasi masyarakat di dalam pembuatan keputusan daerah terbentuk demikian pula tingkat dan jenis partisipasi masyarakat di dalam proses-proses pembuatan keputusan daerah disesuaikan dengan skala tugas perencanaan.
6. Peningkatan partisipasi masyarakat yang menuntut perlunya keterbukaan dan pertanggungjawaban yang lebih besar.
Dari keenam pertimbangan tersebut, Pemerintah daerah dan DPRD dituntut melaksanakan program yang bertujuan untuk membuka ruang publik terlibat dalam proses politik dan bisa melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program tersebut mencakup:
1. Membuat peraturan daerah dengan mekanisme yang partisipatif dan melakukan evaluasi terhadap segala peraturan daerah yang implementasinya berdampak negatif dan kurang kondusif bagi kepentingan daerah maupun nasional;
2. Membuka kesempatan kepada publik untuk memperoleh akses-akses pokok berkaitan dengan rencana kebijakan yang strategis. Pada saat yang sama Membuat sebuah wadah dan mekanisme yang tepat dan representatif agar aspirasi dan partisipasi masyarakat bisa tersalurkan secara lebih terarah;
3. Melakukan sosialisasi secara luas dan terbuka sebelum sebuah kebijakan ditetapkan serta Menyediakan daya dukung dan kesempatan yang luas sehingga memungkinkan formulasi kebijakan yang partisipatif dan demokratis.
Perilaku etis anggota DPRD
Sebagai awal penegakan etika politik bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pembuatan kode etik. Perumusan kode etik bertujuan agar setiap anggota Dewan akan memiliki kesadaran moral atas kedudukan yang diperolehnya dari Negara atas nama rakyat. Pejabat maupun politisi lokal yang menaati norma-norma dalam kode etik akan menempatkan kewajibannya sebagai aparat pemerintah (imcumbency obligation) di atas kepentingan-kepentingannya akan karier dan kedudukan. Sebagai Pejabat dalam lingkungan legislatif, mereka akan melihat kedudukan sebagai alat, bukan sebagai tujuan. Oleh karena itu kode etik mengandaikan bahwa para pejabat publik dapat berperilaku sebagai pendukung nilai-nilai moral dan sekaligus pelaksana dari nilai-nilai tersebut dalam tindakan-tindakan yang nyata. Dalam kaitan ini Frederickson dan Hart (1984) mengatakan bahwa pejabat publik harus memiliki moral filsuf dan aktivitas moral yang baik, yang akan memerlukan pertama pemahaman, dan kepercayaan nilai-nilai rezim, dan kedua, rasa kebajikan yang luas bagi orang-orang bangsa.
Sebagai pejabat politik, anggota legislatif wajib menaati prosedur, tata kerja, dan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh organisasi (DPRD). Sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah, maka anggota DPRD wajib mengutamakan aspirasi masyarakat dan peka terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat tersebut. Dan sebagai manusia bermoral, mereka seyogianya memperhatikan nilai-nilai etis di dalam bertindak dan berperilaku. Dengan kata lain, anggota legislatif memiliki kewaspadaan professional dan kewaspadaan spiritual.
Kewaspadaan professional dapat diartikan bahwa ia harus menaati kaidah-kaidah teknis dan peraturan-peraturan sehubungan dengan kedudukannya sebagai seorang pembuat keputusan. Sementara kewaspadaan spiritual merujuk pada penerapan nilai-nilai kearifan, kejujuran, keuletan, sikap sederhana dan hemat, tanggung jawab, serta akhlak dan perilaku yang baik.
Permasalahan yang menyangkut tugas-tugas kedinasan terkadang begitu rumit sehingga tanpa kecermatan dan kehati-hatian seorang pejabat akan mudah tergelincir dan melakukan tindakan penyelewengan tanpa disadarinya. Biasanya seorang pejabat yang mula-mula bekerja dengan jujur dan penuh pengabdian bisa saja tiba-tiba berubah karena ajakan dari rekan kerjanya. Ada pula pejabat yang semula berdedikasi tinggi dan bersih lambat laun terseret arus karena suasana ditempat kerjanya yang penuh dengan intrik dan penyelewengan. Oleh karena itu para legislator perlu sangat hati-hati dalam bertindak dan senantiasa mengingat kode etik serta keluhuran nilai-nilai moral. Setiap pengaruh yang mengarah kepada hal-hal yang negatif hendaknya ditolak sedini mungkin sebelum terlampau jauh dalam melangkah hingga sulit untuk kembali. Douglas dalam Wahyudi Kumorotomo (1992) mengemukakan beberapa tindakan yang hendaknya dihindari oleh seorang pejabat publik (termasuk anggota legislatif), yaitu :
1. Ikut serta dalam transaksi bisnis pribadi atau perusahaan swasta untuk keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan jabatan;
2. Menerima segala sesuatu hadiah dari pihak swasta pada saat ia melaksanakan transaksi untuk kepentingan kedinasan atau pemerintah;
3. Membicarakan masa depan peluang kerja di luar instansi pada saat ia berada dalam tugas-tugas sebagai pejabat pemerintah;
4. Membocorkan informasi komersial atau ekonomis yang bersifat rahasia kepada pihak-pihak yang tidak berhak;
5. Terlalu erat berurusan dengan orang-orang diluar instansi pemerintah yang dalam menjalankan bisnis pokoknya tergantung dari izin pimpinan/pemerintah.
Contoh di atas hanya merupakan sebagian dari unsur tindakan yang kelihatannya sepele namun dalam konteks penegakan etika politik-pemerintahan menjadi penting karena dapat berakibat serius bagi integritas seorang pejabat, termasuk bagi kemungkinan untuk merugikan daerah. Untuk memiliki kecermatan dan kepekaan terhadap hal-hal yang seharusnya tidak diperbolehkan, seorang pejabat dituntut untuk mampu mawas diri dan merenungkan kembali tugas-tugas yang telah dia lakukan di kantor maupun di tengah masyarakat.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya bagi perbaikan citra anggota legislatif adalah kesopanan, khususnya dalam melayani aspirasi masyarakat. Dalam konteks ini, anggota legislatif dituntut menjawab pertanyaan warga secara jelas dan sabar, karena bagaimanapun realitas masyarakat di daerah masih memiliki keterbatasan dalam pendidikan, termasuk dalam berkomunikasi politik. Adanya pejabat yang tidak memahami “kondisi” tersebut yang memicu munculnya ‘miskomunikasi’.
American Society for Publik Administration mengemukakan beberapa yang kiranya layak diketahui, termasuk bagi anggota legislatif di daerah, kaidah etis itu antara lain:
1. Pengabdian kepada rakyat adalah pengabdian kepada diri sendiri;
2. Rakyat adalah berdaulat dan mereka yang bekerja dalam lembaga politik dan pemerintahan pada akhirnya bertanggungjawab kepada rakyat;
3. Hukum mengatur semua tindakan dari instansi pemerintah. Apabila hukum atau peraturan dirasa bermakna ganda, tidak bijaksana, atau perlu perubahan, maka kita akan mengacu kepada sebesar-besarnya kepentingan rakyat sebagai rujukan;
4. Manajemen yang efisien dan efektif adalah dasar bagi administrasi Negara. Subversi melalui penyalahgunaan pengaruh, penggelapan, pemborosan, atau penyelewengan tidak dapat dibenarkan;
5. Sistem penilaian kecakapan, kesempatan yang sama, dan asas-asas itikad baik akan didukung, dijalankan dan dikembangkan;
6. Perlindungan terhadap kepercayaan rakyat adalah sangat penting. Konflik kepentingan, penyuapan, hadiah, atau favoritisme yang merendahkan jabatan publik untuk kepentingan pribadi tidak dapat diterima;
7. Pelayanan kepada masyarakat menuntut kepekaan khusus dengan ciri-ciri sifat keadilan, keberanian, kejujuran, persamaan, kompetensi, dan kasih-sayang. Kita menghargai sifat-sifat seperti ini dan secara aktif mengembangkannya;
8. Hati nurani memegang peran penting dalam memilih arah tindakan. Ini memerlukan kesadaran akan makna ganda moral moral dalam khidupan, dan pengkajian tentang prioritas nilai; tujuan yang baik tidak pernah membenarkan cara yangtidak bermoral (good ends never justify immoral means);
9. Para pejabat tidak hanya terlibat untuk mencegah hal-hal yang salah, tetapi juga untuk mengusahakan hal yangbenar melalui pelaksanaan tanggung jawab dengan penuh semangat dan tepat pada waktunya.
Demikianlah, kode etik merumuskan nilai-nilai etis luhur ke dalam bidang tertentu, termasuk dapat diwujudkan dalam lapangan politik dalam hal ini lembaga perwakilan (di daerah). Kode etik merupakan pedoman bertindak yang pelaksanaannya dalam perilaku nyata tentu sangat tergantung kepada niat baik dan sentuhan moral yang ada dalam diri legislator itu sendiri. Namun, karena kode etik dirumuskan untuk menyempurnakan tugas, mencegah hal-hal yang buruk, dan untuk kepentingan bersama, setiap pejabat diharapkan menaatinya dengan kesadaran yang tulus. Paham idealisme etik mengatakan bahwa pada dasarnya setiap manusia adalah baik dan suka hal-hal yang baik. Apabila ada orang-orang yang menyimpang dari kebaikan, itu semata-mata karena dia tidak memahami norma untuk bertindak dengan baik atau tidak tahu cara-cara bertindak yang menuju kea rah kebaikan. Dalam hal ini yang dibutuhkan adalah suatu peringatan dan sentuhan nurani yang terus-menerus untuk menggugah kesadaran moral dan melestarikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dan interaksi antar individu.
Dalam pada itu melalui praktek politik, pengamalan nilai dan norma lokal seharusnya menjadi landasan etis, tercermin di dalam proses politik demikian pula dalam penyelenggaraan kekuasaan negara, serta di dalam seluruh tingkah laku elit politik.
Dalam konteks politik, ada beberapa gejala yang melekat pada realitas kehidupan bermasyarakat yang juga dapat dianggap sebagai ganjalan terhadap upaya penegakan etika pemerintahan baik pada setiap tingkatannya (Ryaas Rasyid, 2007) Gejala-gejala itu adalah:
1. Perilaku sosial, ekonomi dan politik yang cenderung terlalu berorientasi pada kekuasaan;
2. Orientasi materialisme yang bersifat vulgar;
3. Feodalisme dan primordialisme; dan
4. Budaya santai, kemiskinan dan sikap minder masih mewarnai kehidupan masyarakat.
Selanjutnya, Ryaas menilai keempat gejala kerawanan dan tantangan tersebut di atas seyogianya diatasi dan dijawab secara konsepsional. Dalam hubungan ini, ada beberapa pendekatan strategis yang bisa dipertimbangkan:
1. Pendekatan kepemimpinan dalam arti pembangunan suatu model kepemimpinan yang secara konsisten merefleksikan pengamalan nilai-nilai pokok Pancasila.
2. Pendekatan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada keadilan sosial.
3. Pendekatan hukum dalam arti penegakan hukum dan peningkatan ketaatan pada hukum.
Sebagai bagian dari pelaksanaan etika politik, seorang legislator seyogianya memperhatikan etika sosietal yang merujuk pada tujuan-tujuan yang dicita-citakan oleh masyarakat yang merupakan pedoman bagi arah kebijakan publik dan politik. Keputusan-keputusan tersebut harus memaksimalkan manfaat sosietal dan meminimalkan biaya sosietal. Stuart S. Nagel dalam Wahyudi Kumorotomo (1992) Konsep sosietal disini merujuk kepada hak milik kolektif dalam arti sebagai berikut:
1. Kebahagiaan terbesar bagi jumlah yang terbesar
2. Mengangkat kondisi dasar kemasyarakatan terutama bagi mereka yang paling tak beruntung
3. Melakukan segala sesuatu yang membuat semua orang menjadi lebih baik atau sekurang-kurangnya tidak seorangpun yang menjadi lebih buruk.
MEMBANGUN KOMUNIKASI PEMERINTAHAN EFEKTIF
Selanjutnya, sebagai pihak yang dipilih oleh rakyat melalui mekanisme pemilu, anggota legislatif dituntut untuk selalu menjalin komunikasi dengan masyarakat daerah, baik dalam konteks menjaga hubungan maupun dalam konteks pelaksanaan fungsi pemerintahan yang diemban. Komunikasi merupakan sesuatu yang sangat pokok dalam setiap hubungan seseorang dengan orang lain, begitu pula dalam suatu organisasi terjadinya komunikasi tentunya mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Tujuan – tujuan dari komunikasi tersebut antara lain pertama, menetapkan dan menyebarkan maksud dari suatu kegiatan; kedua, mempengaruhi sikap dan perilaku orang-orang secara individu maupun kelompok-kelompok di dalam suatu organisasi; ketiga, mengembangkan rencana-rencana untuk mencapai tujuan; keempat Mengorganisasikan sumber-sumber daya manusia dan sumber daya lainnya seperti efektif dan efisien; kelima Memilih, mengembangkan, menilai anggota di dalam komunikasi tersebut; dan keenam Memimpin, mengarahkan, memotivasi dan menciptakan suatu iklim kerja di mana setiap orang mau memberikan kontribusi.
Sesuai dengan tujuan dari komunikasi, maka dalam suatu organisasi komunikasi mempunyai beberapa fungsi. Antara lain pertama, komunikasi berfungsi informasi, melalui komunikasi maka apa yang ingin disampaikan oleh narasumber atau pemimpin kepada bawahannya dapat diberikan dalam bentuk lisan ataupun tertulis. Melalui lisan pemimpin dengan bawahan dapat berdialog langsung dalam menyampaikan gagasan dan ide; kedua fungsi komando akan perintah yang berkaitan dengan kekuasaan, di mana kekuasaan seseorang orang adalah hak untuk memberi perintah kepada bawahan di mana para bawahan tunduk dan taat dan disiplin dalam menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Suatu perintah akan berisikan aba-aba untuk pelaksanaan kerja yang harus dipahami dan dimengerti serta yang dijalankan oleh bawahan. Dengan perintah terjadi hubungan atasan dan bawahan sebagai yang diberikan tugas; ketiga Fungsi mempengaruhi dan penyaluran yang berarti memasukan unsur-unsur yang meyakinkan dari pada atasan baik bersifat motivasi maupun bimbingan, sehingga bawahan merasa berkewajiban harus menjalankan pekerjaan atau tugas yang harus dilaksanakannya. Dan dalam mepengaruhi bahwa komunikator harus luwes untuk melihat situasi dan kondisi di mana bawahan akan diberikan tugas dan tanggung jawab, sehingga tidak merasa bahwa sebenarnya apa yang dilakukan bawahannya itu merupakan beban, ia akan merasakan tugas dan tanggung jawab; Keempat Fungsi integrasi yang menunjukkan bahwa organisasi sebagai suatu sistem harus berintegrasi dalam satu total kesatuan yang saling berkaitan dan semua urusan satu sama lain tak dapat dipisahkan, oleh karena itu orang-orang yang berada dalam suatu organisasi atau kelompok merupakan suatu kesatuan sistem, di mana seseorang itu akan saling berhubungan dan saling memberikan pengaruh kepada satu sama lain dalam rangka terciptanya suatu proses komunikasi untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan.
Komunikasi Pemerintahan (government communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan pemerintahan dan aktor-aktor pemerintahan, atau berkaitan dengan pengelolaan pemerintahan dan kebijakan pemerintah. Komunikasi pemerintahan juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara “yang memerintah” dan “yang diperintah”. Mengkomunikasikan pemerintahan tanpa aksi pemerintahan yang kongkret sebenarnya telah dilakukan oleh siapa saja: mahasiswa, dosen, tukang ojek, penjaga warung, dan seterusnya. Tak heran jika ada yang menjuluki Komunikasi Pemerintahan sebagai neologisme, yakni ilmu yang sebenarnya tak lebih dari istilah belaka.
Dalam prakteknya, komunikasi pemerintahan sangat kental dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, dalam aktivitas sehari-hari, tidak satu pun manusia tidak berkomunikasi, dan kadang-kadang sudah terjebak dalam analisis dan kajian komunikasi pemerintahan. Berbagai penilaian dan analisis orang awam berkomentar sosal kenaikan BBM, ini merupakan contoh kekentalan komunikasi pemerintahan. Sebab, sikap pemerintah untuk menaikkan BBM sudah melalui proses komunikasi pemerintahan dengan mendapat persetujuan DPR.
Komunikasi pemerintahan dipandang sebagai menyalurkan aspirasi dan kepentingan pemerintahan rakyat yang menjadi input sistem pemerintahan dan pada waktu yang sama ia juga menyalurkan kebijakan yang diambil sebagai output sistem pemerintahan. Melalui komunikasi pemerintahan rakyat memberikan dukungan, menyampaikan aspirasi, dan melakukan pengawasan terhadap sistem pemerintahan. Melalui itu pula rakyat mengetahui apakah dukungan, aspirasi, dan pengawasan itu tersalur atau tidak sebagaimana dapat mereka simpulkan dari berbagai kebijakan pemerintahan yang diambil.
Dalam ilmu pemerintahan, terdapat suatu asumsi bahwa semakin tinggi kualitas komunikasi pemerintahan yang hadir dalam suatu sistem pemerintahan maka sifat dan kualitas demokrasi sistem pemerintahan itu juga semakin sehat dan tinggi. Oleh karena itu, bangsa-bangsa yang hidup dalam sistem pemerintahan yang demokratis, tidak pernah berhenti mempersehat dan meningkatkan kualitas komunikasi pemerintahan mereka, sebagaimana mereka tidak pernah beristirahat dalam menyempurnakan dan mempertinggi kualitas sistem pemerintahan demokrasi mereka dari masa ke masa, dari generasi ke generasi. Hal ini disebabkan karena realita kehidupan masyarakat yang terus berkembang seiring dengan dinamika perkembangan zaman.
Komunikator Pemerintahan pada dasarnya adalah semua orang yang berkomunikasi tentang pemerintahan, mulai dari obrolan warung kopi hingga sidang parlemen untuk membahas konstitusi negara. Namun, yang menjadi komunikator utama adalah para pemimpin pemerintahan atau pejabat pemerintah karena merekalah yang aktif menciptakan pesan pemerintahan untuk kepentingan politis mereka. Mereka adalah pols, yakni politisi yang hidupnya dari manipulasi komunikasi, dan vols, yakni warganegara yang aktif dalam pemerintahan secara part timer ataupun sukarela.
Mochtar Pabotingi (Cangara, 2005) menyarankan bagaimana agar komunikasi pemerintahan itu bisa berlangsung dewasa. Pertama, berpikir secara multiparadigma. Kedua, menyadari adanya ruang-ruang permasalahan pemerintahan dimana perbedaan pandangan akan selalu ada. Ketiga, harus saling memandang tanpa finalitas penilaian. Fakta masyarakat yang Inklusifisme, sebagai warga Indonesia harus disertakan dalam paradigma berpikir.
Pabotingi menguraikan dalam prosesnya komunikasi pemerintahan sering mengalami empat distoris. Pertama, distoris bahasa sebagai topeng. Ia memberikan contohnya dengan melihat bagaimana orang mengatakan alis “bagai semut beriring” atau bibir “bak delima merekah”. Uraian itu menunjukkan sebuah euphemisme.
Selanjutnya Pabottingi membuat pendapat lebih jauh bahwa dengan mengalihkan perhatian seorang atau ratusan juta orang, maka massa bisa lupa. Bahkan lupa bisa diperpanjang selama dikehendaki manipulator. Di sini tampak distorsi komunikasi ini bisa parah jika sebuah rejim menghendaki rakyatnya melupakan sejarah atau membuat sejarah sendiri untuk melupakan sejarah pemerintahan sebelumnya.
Distorsi ketiga adalah, distorsi bahasa sebagai representasi. Jika dalam distoris topeng keadaan sebenarnya ditutupi dan dalam distorsi lupa berbicara soal pengalihan sesuatu, maka distorsi ketiga ini terjadi bila kita melukiskan sesuatu tidak sebagaimana mestinya.
Ada dua perspektif yang cenderung menyebarkan distoris ideologi. Pertama, perspektif yang mengidentikkan kegiatan pemerintahan sebagai hak istimewa sekelompok orang. Perspektif ini menekankan hanya penguasalah yang berhak menentukan mana yang pemerintahan dan mana yang bukan. Oleh sebab itu nantinya akan berakhir dengan monopoli pemerintahan kelompok tertentu. Kedua, perspektif yang semata-mata menekankan tujuan tertinggi suatu sistem pemerintahan. Mereka yang menganut perspektif ini hanya menitikberatkan pada tujuan tertinggi sebuah sistem pemerintahan tanpa mempersoalkan apa yang sesungguhnya dikehendaki rakyat.
Sementara itu, Gabriel Almond dalam Maswadi dan Mappa Nasrun (1993) berpendapat bahwa struktur komunikasi dapat dibedakan menjadi Pertama, kontak tatap muka informal yang muncul terpisah dari struktur masyarakat. Kedua, struktur sosial tradisional seperti hubungan keluarga dan keagamaan. Ketiga, struktur pemerintahan “output” (keluaran) seperti legislatif dan birokrasi. Keempat, struktur “input” (masukan) termasuk misalnya serikat buruh dan kelompok kepentingan dan partai-partai pemerintahan. Kelima, media massa.
DPRD DAN UPAYA PEMBENTUKAN SISTEM PEMERINTAHAN YANG KUAT DAN EFEKTIF
Pemerintahan yang kuat dan efektif adalah suatu proses pembentukan dan pelaksanaan kebijakan publik oleh lembaga-lembaga publik yang selaras dengan aspirasi dan keinginan rakyat berdasarkan tata peraturan perundang-undangan. Sedangkan pengertian sistem pemerintahan yang kuat dan efektif adalah suatu pola hubungan antara berbagai lembaga-lembaga publik dalam rangka pembentukan dan pelaksanaan kebijakan publik dengan dasar-dasar prinsip tertentu untuk menterjemahkan aspirasi dan keinginan rakyat. Pentingnya sistem pemerintahan yang kuat dan efektif, paling tidak bersumber pada (3) alasan utama, yaitu:
1. Pemerintahan yang kuat dan efektif, aktivitas pemerintahan menjadi lebih responsif. Pemerintah akan berusaha menterjemahkan keinginan rakyat menjadi kebijakan publik.
2. Pemerintah yang kuat dan efektif akan membuat aktivitas pemerintahan didukung oleh berbagai kekuatan politik maupun masyarakat. Sinergi ini akan membuat pencapaian aktivitas pemerintahan yang meluas oleh karena partisipasi masyarakat dan kekuatan politik dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan umum seperti memberikan pelayanan umum, mengatur konflik, maupun pembagian sumber-sumber ekonomi.
3. Pemerintahan yang kuat dan efektif akan memungkinkan berlangsungnya aktivitas yang stabil dalam jangka panjang. Semakin minimnya distorsi dan interupsi proses pemerintahan akan membuat pencapaian tujuan bernegara dan berbangsa lebih nyata.
Untuk mendukung tercapainya sistem pemerintahan yang kuat dan efektif, maka perlu suatu upaya serius untuk menguatkan berbagai elemen sistem pemerintahan bagi kebijakan publik yang aspiratif dan responsif. Jenis elemen-elemen tersebut sangat tergantung pada jenis sistem pemerintahan yang hendak dibangun. Argument teoritik yang mendasari hal tersebut adalah:
1. Untuk memilih kepala daerah secara langsung membuat gubernur, bupati/walikota memiliki mandat yang kuat untuk melaksanakan kehendak rakyat yang memilihnya. Asumsi yang mendasari hal tersebut adalah dengan mandat yang demikian maka lembaga ini memiliki dasar untuk melaksanakan suatyu pemerintahan yang kuat dan efektif.
2. Dalam banyak kasus, kepala daerah biasanya dipilih langsung oleh rakyat dalam jangka waktu yang pasti. Dipilih langsung akan membuat kedudukannya tidak tergantung pada dinamika lembaga lain. Hubungan ini juga memungkinkan terciptanya stabilitas kelembagaan yang berimplikasi terhadap kemungkinan tercapainya pemerintahan yang kuat dan efektif.
3. Kepala daerah terpilih dalam jangka waktu yang pasti diharapkan mampu untuk melaksanakan kebijakan publik secara terencana dan responsif, atau dengan kata lain secara efektif. Sebagai sebuah sistem pemerintahan, untuk efektivitas fungsi pemerintahan maka lembaga pemerintahan harus juga didukung oleh bekerjanya suatu sistem perwakilan yang efektif. Hubungan antara keduanya harus pula berimbang yang didasarkan pada fondasi check and balances.
PENUTUP
Memperhatikan dinamika politik dan pemerintahan yang terus berjalan di tengah krisis multidimensi dan berinteraksi dengan dunia global, maka etika politik dan komunikasi politik yang elegan kembali dihadirkan sebagai sebuah roh pergerakan proses pemerintahan dan pembangunan. Terlebih lagi ketika kita mengalami krisis kepemimpinan baik untuk skala lokal maupun nasional. Penegakan etika akan semakin bermakna jika ia diilhami oleh nilai dan norma lokal yang terbukti diterima oleh sebagian besar golongan tanpa menafikkan keberadaan kelompok minoritas. Dalam konteks itulah maka Pancasila dapat kembali diapungkan untuk menjadi landasan etika politik dan pemerintahan. Realitas kemajemukan negeri justru menjadi pemicu bagi kita untuk menjadikan Pancasila sebagai kekuatan pemersatu (integrating force) yang relatif masih utuh sebagai common platform bagi Negara bangsa Indonesia.
Hubungan Melalui praktek pemerintahan, pengamalan nilai-nilai Pancasila seharusnya menjadi landasan etis, tercermin di dalam proses perumusan kebijakan dan penyelenggaraan kekuasaan negara, serta di dalam seluruh tingkah laku aparatur negara. Beberapa elemen penting yang dipandang mendukung dalam pelaksanaan etika politik berdasarkan Pancasila, yaitu Pluralisme, Hak Asasi Manusia, solidaritas bangsa, demokratisasi, dan keadilan sosial.
Sementara itu Komunikasi Politik merupakan salah satu fungsi dalam sistem politik yang amat penting. Komunikasi politik dipandang sebagai menyalurkan aspirasi dan kepentingan politik rakyat yang menjadi input sistem politik dan pada waktu yang sama ia juga menyalurkan kebijakan yang diambil sebagai output sistem politik. Melalui komunikasi politik rakyat memberikan dukungan, menyampaikan aspirasi, dan melakukan pengawasan terhadap sistem politik. Wallahu wa’lam bissawaf…
DAFTAR PUSTAKA
Almond, Gabriel and G Bingham Powell, 1976. Comparative Politics: A Developmental Approach. New Delhi, Oxford & IBH Publishing Company.
Budiardjo, Miriam. 007. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Jakarta
Budiardjo, Miriam dan Ambong, Ibrahim (edit) 1993. Fungsi Legislatif dalam Sistem politik Indonesia. Jakarta: Gramedia press bekerja sama dengan AIPI Jakarta
Cangara, Hafidz,2005, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta:PT RajaGrafindo Persada
Effendy, Onong Uchjana, 2003. Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: Grasindo.Rosdakarya
Fredericson, H. G. 1984. Administrasi Negara Baru. Jakarta: LP3ES
Gaffar, affan, 1989, Beberapa Aspek Pembangunan Politik (Sebuah Bunga Rampai), Jakarta :Rajawali Press.
Kantaprawira, Rusadi. 2001 Sistem Politik Indonesia (edisi revisi). Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Wahyudi Kumorotomo, Wahyudi. 1992. Etika Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers
Littlejohn, Stephen W. 2001. Theories of Human Communication. USA: Wadsworth Publishing
Mac Andrews, Colin dan Ichlasul amal (ed.)1990. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Rahman. A. 2007. Sistem Politik Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu
Rasyid, M. Ryaas. 2007. Makna Pemerintahan, Tinjauan Dari Segi Etika Dan Kepemimpinan. Jakarta: Mutiara Sumber Widya
Rauf, Maswadi dan Mappa Nasrun. 1993. Indonesia dan Komunikasi Politik, (eds). Jakarta, Gramedia.
Surbakti, ramlan 2007. Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Grasindo PT. Gramedia widia Sarana
Said, Gatara, ardian Said Dzulkiah, Moh. 2007. Sosiologi Politik; Konsep dan Dinamika Perkembangan Kajian. Bandung: CV Pustaka Setia
Sanit, Arbi. 1985. Perwakilan Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers
Winarno, Budi. 2008. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Jakarta: MedPress
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Riwayat Hidup Penulis
Baharuddin Thahir, Lahir di Sungguminasa-Kab Gowa, 2 Mei 1975. Pendidikan Dasar hingga sekolah lanjutan atas (SMA) dilalui di kota Sungguminasa, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi selatan. Pendidikan tinggi antara lain Gelar Sarjana diperoleh pada Jurusan Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Fisip Universitas Hasanuddin (1997), Gelar Magister Ilmu Pemerintahan diperoleh pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung (2001). Saat ini sebagai staf pada Lembaga Kajian Strategis IPDN kampus Cilandak Jakarta. Pengalaman mengajar di perguruan tinggi antara lain: Dosen Tidak Tetap pada sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Inter-Studi, Jakarta (2007 s/d sekarang), Dosen Luar biasa pada Jurusan Ilmu politik dan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unversitas Hasanuddin (2002 s/d 2006), Dosen Tidak Tetap pada fakultas Ekonomi Universitas Indo Nusa Esa Unggul (2005), dan Dosen Luar Biasa pada Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi-Lembaga Administrasi Negara (STIA-LAN) Kampus Makassar (2003 s/d 2004). Disamping itu penulis juga pernah menjadi Konsultan Manajemen Pelaksana (KMP) pada Program Pelatihan Kesadaran Bela Negara-Pemberdayaan Organisasi Masyarakat (PKBN-POM) Departemen Pertahanan Tahun (2002 s/d. 2005).
Oleh. Baharuddin Thahir
In civic politics, many things to note, but in a condition that concerns national political leaders and the government is required to appear to give greater attention to their needs and at the same time they are required to practice the pattern of life constantly against the ethics. This is done so that people feel not far from its leaders. Political ethics for leaders (including members of the legislature) intended for them to have the moral consciousness of the position acquired from the State on behalf of the people. Officials and local politicians who obey the norms of the code of ethics will place his duty as government officials over its interests will be career and status. Meanwhile, political communication is seen as a channel the aspirations and political interests of the people who became a political system and the inputs at the same time he also adopted a policy to channel the output of the political system. Through the people's political communications support, convey aspirations, and to supervise the political system.
Keyword: political etics, politic communication, local parlement, government
Pendahuluan
Akhir-akhir ini dalam pembicaraan berkenaan praktek politik pemerintahan berujung pada suatu asumsi bahwa para politisi dan elit pemerintahan sering beraktivitas tanpa muatan etika. Hal itu yang menyebabkan masyarakat cenderung jenuh dengan perilaku yang dipertontonkan oleh para elit. Pada saat yang sama sumbatan-sumbatan aspirasi masih sering dijumpai dalam dinamika politik dan pemerintahan, khususnya di daerah.
Ketika politik dipelajari melalui pendekatan etika maka memunculkan upaya perbaikan perilaku melalui penyadaran norma agama atau moral. Padahal dalam masyarakat sering tumbuh fenomena yang dinilai paradoks, seseorang seringkali taat dalam praktik formal kehidupan agama, namun perilaku baik itu pada akhirnya bukan jaminan integritas hidup politik-pemerintahan. Simbol-simbol agama sering digunakan untuk menutupi keadaan yang sebenarnya dan menjadi pembenaran kepentingan politisi. Seringkali kita menyaksikan banyak orang berlatar belakang pendidikan keagamaan yang kuat, akhirnya terperangkap jeratan korupsi, money-politics, dan obsesi kekuasaan ketika pada gilirannya memperoleh kesempatan.
Meski demikian pendekatan agama tetap dipandang sebagai salah satu faktor yang mampu ’menjaga’ perilaku politisi dan elit pemerintahan agar tetap berjalan pada jalan yang benar. Perilaku politisi hanya salah satu dimensi etika politik karena kehendak baik seyogianya ditopang institusi yang adil. Kehendak baik berfungsi mempertajam makna tanggung jawab, sedangkan institusi (hukum, aturan, kebiasaan, lembaga sosial) berperan mengorganisir tanggung jawab Paul Ricoeur (1990). Dengan demikian, etika politik tidak direduksi hanya menjadi masalah perilaku individu.
Melalui tulisan ini, penulis mengulas eksistensi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai suatu instrumen pemerintahan di daerah. Tinjauan tersebut dilakukan dari dua perspektif, yaitu perspektif pelaksanaan etika politik-pemerintahan dan tinjauan komunikasi pemerintahan, Karena bagaimanapun juga lembaga legislatif tersebut merupakan ”audio visual” masyarakat di daerah. Artinya anggota legislatif menjadi perhatian masyarakat (khususnya perwujudan etika politik) dan pada saat yang sama mereka menjadi ”corong” atas lengkingan aspirasi dan kebutuhan rakyat.
Dimensi Etika Politik
Etika politik mengandung tiga dimensi yang menentukan dinamika politik Wayne,A.R Leys (1961) Dimensi pertama adalah tujuan politik yang dirumuskan dalam mencapai kesejahteraan masyarakat dan hidup damai yang didasarkan pada kebebasan dan keadilan. Dalam negara demokratis, pemerintah bertanggung jawab atas kedua komitmen itu. Keprihatinan utama ialah upaya penerapan kebijakan umum (policy) dalam manajemen publik. Menghadapi masalah-masalah negara, kebijakan umum pemerintah harus terumus jelas dalam prioritas, program, metode, dan pendasaran filosofisnya. Lalu menjadi transparan apa yang harus dipertanggungjawabkan.
Atas dasar kebijakan umum ini wakil rakyat dan kelompok-kelompok masyarakat bisa membuat evaluasi pelaksanaan, kinerja pemerintah dan menuntut pertanggungjawaban. Kejelasan tujuan kebijakan publik menunjukkan ketajaman visi seorang pemimpin dan kepedulian suatu partai politik terhadap aspirasi masyarakat. Dimensi moralnya terletak pada kemampuan menentukan arah yang jelas kebijakan umum dan akuntabilitasnya.
Dimensi kedua menyangkut masalah pilihan sarana yang memungkinkan pencapaian tujuan (polity). Dimensi ini meliputi sistem dan prinsip dasar pengorganisasian praktik penyelenggaraan negara dan institusi-institusi sosial. Hal terakhir ini ikut menentukan pengaturan perilaku masyarakat dalam menghadapi masalah-masalah dasar. Dimensi sarana (polity) mengandung dua pola normatif: pertama, tatanan politik (hukum dan institusi) harus mengikuti prinsip solidaritas dan subsidiaritas, penerimaan pluralitas; struktur sosial ditata secara politik menurut prinsip keadilan. Maka asas kesamaan dan masalah siapa diuntungkan atau siapa dirugikan oleh hukum atau institusi tertentu relevan dibahas; kedua, kekuatan-kekuatan politik ditata sesuai prinsip timbal-balik.
Tidak sedikit politisi mengabaikan dimensi etika, mereka hanya berpikir untuk dirinya, tidak mampu menempatkan pada posisi orang lain. Hal ini pula yang membuat mereka tidak peka terhadap jeritan rakyat. Legitimitas representasi mereka perlu dipertanyakan. Dimensi moral pada tingkat sarana ini terletak pada peran etika dalam menguji dan mengkritisi legitimitas keputusan-keputusan, institusi-institusi, dan praktik-praktik politik, yang pada gilirannya akan membentuk struktur-struktur.
Dimensi ketiga etika politik adalah aksi politik (politics). Pelaku menentukan rasionalitas politik. Rasionalitas politik terdiri rasionalitas tindakan dan keutamaan (kualitas moral pelaku). Tindakan politik disebut rasional bila pelaku mempunyai orientasi situasi dan paham permasalahan. Ini mengandaikan kemampuan mempersepsi aneka kepentingan yang dipertaruhkan berdasar peta kekuatan politik yang ada. Disposisi kekuasaan ini membantu memperhitungkan dampak aksi politiknya. Menghindari kekerasan menjadi imperatif moral, penguasaan manajemen konflik adalah syarat aksi politik yang etis. Aksi mengandaikan keutamaan: penguasaan diri dan keberanian memutuskan serta menghadapi risikonya. Etika identik dengan tindakan rasional dan bermakna. Politik bermakna karena memperhitungkan reaksi yang lain: harapan, protes, kritik, persetujuan, penolakan. Makna moral semakin dalam ketika tindakan politikus didasari keberpihakan kepada yang lemah atau korban.
Kedudukan dan peran DPRD dalam Sistem Pemerintahan Daerah.
Dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah, baik daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota, tanggung jawab tidak berada dipundak pemerintah (eksekutif) semata, namun juga pada lembaga Lembaga legislative (Dewan Perwakilan Rakyat daerah). DPRD menjadi sangat penting antara lain disebabkan posisinya yang sangat strategis dalam melakukan pengawasan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah daerah. Disamping itu adanya fungsi legislasi yang dimiliki oleh lembaga ini memberikan harapan bahwa institusi tersebut akan mampu membuat kebijakan yang demokratis dan partisipatif.
Di dalam Undang-Undang Pemerintahan daerah dinyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan lembaga perwakilan yang berkedudukan sebagai unsur lembaga pemerintahan daerah. Pada bagian lain dalam aturan tersebut dinyatakan bahwa DPRD sebagai unsur lembaga pemerintahan di daerah memiliki tanggung jawab yang sama dengan pemerintah daerah (eksekutif). Mengingat pentingnya kedudukan DPRD dalam sistem pemerintahan daerah, maka lembaga ini memiliki peran penting dalam hal:
1. Perumus kebijakan, yaitu menetapkan tujuan, menguji alternatif dan menentukan strategi guna mempedomani langkah-langkah masa kini dan masa mendatang sehingga memberikan manfaat bagi masyarakat.
2. Pengambil keputusan atas beberapa opsi dan pilihan yang tersedia.
3. Penyalur informasi, memberi dan menerima informasi, gagasan dan perasaan dengan pengertian dan akurat.
4. Negosiator, membantu orang lain untuk menemukan solusi-solusi yang dapat diterima walaupun terdapat perbedaan kepentingan.
5. Penentu kebijakan keuangan, membuat keputusan-keputusan tentang perolehan, pengaalokasian/pembagian serta penggunaan keuangan daerah.
6. Pengawas, dalam bentuk penjaminan melalui berbagai aktivitas pengawasan dan pengendalian, bahwa pihak eksekutif maupun legislatif melakukan hal-hal yang diperlukan dengan cara yang baik.
7. Penguasa, dalam pengertian menggunakan pengaruh dan kekuasaan yang dimiliki agar segala hal dapat diselesaikan.
8. Pemberdayaan kelembagaan, mendorong pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan pengembangan organisasi pemerintah daerah.
9. Pemimpin dalam membawa perubahan yang positif di dalam kehidupan para pendukungnya dan masyarakat.
Dalam upaya memahami kedudukan dan peran tersebut, seyogianya anggota legislatif di daerah berupaya meningkatkan kapasitas bagi secara personal/individu maupun secara institusional. Kapasitas yang kuat sangat dibutuhkan dalam memahami issu-issu demokratisasi, otonomi daerah serta kemampuan teknik legislasi, budgeting dan politik lokal. Setidaknya terdapat 6 (enam) pertimbangan yang dapat dijadikan dasar dalam peningkatan kapasitas tersebut antara lain:
1. Anggota DPRD secara terus-menerus meningkatkan pemahamannya tentang issu pemerintahan daerah serta membangun proses legislatif/pemerintahan yang sesuai.
2. Mekanisme kelembagaan untuk mendukung pelaksanaan fungsi dan tugas DPRD terbentuk dan secara teratur disesuaikan dengan kebutuhan operasional.
3. Hubungan antara DPRD, masyarakat dan masyarakat setempat secara umum diperkuat
4. Hak untuk mengakses/memperoleh informasi dijamin, sehingga memungkinkan masyarakat umum untuk melaksanakan kontrol sosial atas kinerja dan kegiatan DPRD
5. Struktur dan mekanisme partisipasi masyarakat di dalam pembuatan keputusan daerah terbentuk demikian pula tingkat dan jenis partisipasi masyarakat di dalam proses-proses pembuatan keputusan daerah disesuaikan dengan skala tugas perencanaan.
6. Peningkatan partisipasi masyarakat yang menuntut perlunya keterbukaan dan pertanggungjawaban yang lebih besar.
Dari keenam pertimbangan tersebut, Pemerintah daerah dan DPRD dituntut melaksanakan program yang bertujuan untuk membuka ruang publik terlibat dalam proses politik dan bisa melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program tersebut mencakup:
1. Membuat peraturan daerah dengan mekanisme yang partisipatif dan melakukan evaluasi terhadap segala peraturan daerah yang implementasinya berdampak negatif dan kurang kondusif bagi kepentingan daerah maupun nasional;
2. Membuka kesempatan kepada publik untuk memperoleh akses-akses pokok berkaitan dengan rencana kebijakan yang strategis. Pada saat yang sama Membuat sebuah wadah dan mekanisme yang tepat dan representatif agar aspirasi dan partisipasi masyarakat bisa tersalurkan secara lebih terarah;
3. Melakukan sosialisasi secara luas dan terbuka sebelum sebuah kebijakan ditetapkan serta Menyediakan daya dukung dan kesempatan yang luas sehingga memungkinkan formulasi kebijakan yang partisipatif dan demokratis.
Perilaku etis anggota DPRD
Sebagai awal penegakan etika politik bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pembuatan kode etik. Perumusan kode etik bertujuan agar setiap anggota Dewan akan memiliki kesadaran moral atas kedudukan yang diperolehnya dari Negara atas nama rakyat. Pejabat maupun politisi lokal yang menaati norma-norma dalam kode etik akan menempatkan kewajibannya sebagai aparat pemerintah (imcumbency obligation) di atas kepentingan-kepentingannya akan karier dan kedudukan. Sebagai Pejabat dalam lingkungan legislatif, mereka akan melihat kedudukan sebagai alat, bukan sebagai tujuan. Oleh karena itu kode etik mengandaikan bahwa para pejabat publik dapat berperilaku sebagai pendukung nilai-nilai moral dan sekaligus pelaksana dari nilai-nilai tersebut dalam tindakan-tindakan yang nyata. Dalam kaitan ini Frederickson dan Hart (1984) mengatakan bahwa pejabat publik harus memiliki moral filsuf dan aktivitas moral yang baik, yang akan memerlukan pertama pemahaman, dan kepercayaan nilai-nilai rezim, dan kedua, rasa kebajikan yang luas bagi orang-orang bangsa.
Sebagai pejabat politik, anggota legislatif wajib menaati prosedur, tata kerja, dan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh organisasi (DPRD). Sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah, maka anggota DPRD wajib mengutamakan aspirasi masyarakat dan peka terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat tersebut. Dan sebagai manusia bermoral, mereka seyogianya memperhatikan nilai-nilai etis di dalam bertindak dan berperilaku. Dengan kata lain, anggota legislatif memiliki kewaspadaan professional dan kewaspadaan spiritual.
Kewaspadaan professional dapat diartikan bahwa ia harus menaati kaidah-kaidah teknis dan peraturan-peraturan sehubungan dengan kedudukannya sebagai seorang pembuat keputusan. Sementara kewaspadaan spiritual merujuk pada penerapan nilai-nilai kearifan, kejujuran, keuletan, sikap sederhana dan hemat, tanggung jawab, serta akhlak dan perilaku yang baik.
Permasalahan yang menyangkut tugas-tugas kedinasan terkadang begitu rumit sehingga tanpa kecermatan dan kehati-hatian seorang pejabat akan mudah tergelincir dan melakukan tindakan penyelewengan tanpa disadarinya. Biasanya seorang pejabat yang mula-mula bekerja dengan jujur dan penuh pengabdian bisa saja tiba-tiba berubah karena ajakan dari rekan kerjanya. Ada pula pejabat yang semula berdedikasi tinggi dan bersih lambat laun terseret arus karena suasana ditempat kerjanya yang penuh dengan intrik dan penyelewengan. Oleh karena itu para legislator perlu sangat hati-hati dalam bertindak dan senantiasa mengingat kode etik serta keluhuran nilai-nilai moral. Setiap pengaruh yang mengarah kepada hal-hal yang negatif hendaknya ditolak sedini mungkin sebelum terlampau jauh dalam melangkah hingga sulit untuk kembali. Douglas dalam Wahyudi Kumorotomo (1992) mengemukakan beberapa tindakan yang hendaknya dihindari oleh seorang pejabat publik (termasuk anggota legislatif), yaitu :
1. Ikut serta dalam transaksi bisnis pribadi atau perusahaan swasta untuk keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan jabatan;
2. Menerima segala sesuatu hadiah dari pihak swasta pada saat ia melaksanakan transaksi untuk kepentingan kedinasan atau pemerintah;
3. Membicarakan masa depan peluang kerja di luar instansi pada saat ia berada dalam tugas-tugas sebagai pejabat pemerintah;
4. Membocorkan informasi komersial atau ekonomis yang bersifat rahasia kepada pihak-pihak yang tidak berhak;
5. Terlalu erat berurusan dengan orang-orang diluar instansi pemerintah yang dalam menjalankan bisnis pokoknya tergantung dari izin pimpinan/pemerintah.
Contoh di atas hanya merupakan sebagian dari unsur tindakan yang kelihatannya sepele namun dalam konteks penegakan etika politik-pemerintahan menjadi penting karena dapat berakibat serius bagi integritas seorang pejabat, termasuk bagi kemungkinan untuk merugikan daerah. Untuk memiliki kecermatan dan kepekaan terhadap hal-hal yang seharusnya tidak diperbolehkan, seorang pejabat dituntut untuk mampu mawas diri dan merenungkan kembali tugas-tugas yang telah dia lakukan di kantor maupun di tengah masyarakat.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya bagi perbaikan citra anggota legislatif adalah kesopanan, khususnya dalam melayani aspirasi masyarakat. Dalam konteks ini, anggota legislatif dituntut menjawab pertanyaan warga secara jelas dan sabar, karena bagaimanapun realitas masyarakat di daerah masih memiliki keterbatasan dalam pendidikan, termasuk dalam berkomunikasi politik. Adanya pejabat yang tidak memahami “kondisi” tersebut yang memicu munculnya ‘miskomunikasi’.
American Society for Publik Administration mengemukakan beberapa yang kiranya layak diketahui, termasuk bagi anggota legislatif di daerah, kaidah etis itu antara lain:
1. Pengabdian kepada rakyat adalah pengabdian kepada diri sendiri;
2. Rakyat adalah berdaulat dan mereka yang bekerja dalam lembaga politik dan pemerintahan pada akhirnya bertanggungjawab kepada rakyat;
3. Hukum mengatur semua tindakan dari instansi pemerintah. Apabila hukum atau peraturan dirasa bermakna ganda, tidak bijaksana, atau perlu perubahan, maka kita akan mengacu kepada sebesar-besarnya kepentingan rakyat sebagai rujukan;
4. Manajemen yang efisien dan efektif adalah dasar bagi administrasi Negara. Subversi melalui penyalahgunaan pengaruh, penggelapan, pemborosan, atau penyelewengan tidak dapat dibenarkan;
5. Sistem penilaian kecakapan, kesempatan yang sama, dan asas-asas itikad baik akan didukung, dijalankan dan dikembangkan;
6. Perlindungan terhadap kepercayaan rakyat adalah sangat penting. Konflik kepentingan, penyuapan, hadiah, atau favoritisme yang merendahkan jabatan publik untuk kepentingan pribadi tidak dapat diterima;
7. Pelayanan kepada masyarakat menuntut kepekaan khusus dengan ciri-ciri sifat keadilan, keberanian, kejujuran, persamaan, kompetensi, dan kasih-sayang. Kita menghargai sifat-sifat seperti ini dan secara aktif mengembangkannya;
8. Hati nurani memegang peran penting dalam memilih arah tindakan. Ini memerlukan kesadaran akan makna ganda moral moral dalam khidupan, dan pengkajian tentang prioritas nilai; tujuan yang baik tidak pernah membenarkan cara yangtidak bermoral (good ends never justify immoral means);
9. Para pejabat tidak hanya terlibat untuk mencegah hal-hal yang salah, tetapi juga untuk mengusahakan hal yangbenar melalui pelaksanaan tanggung jawab dengan penuh semangat dan tepat pada waktunya.
Demikianlah, kode etik merumuskan nilai-nilai etis luhur ke dalam bidang tertentu, termasuk dapat diwujudkan dalam lapangan politik dalam hal ini lembaga perwakilan (di daerah). Kode etik merupakan pedoman bertindak yang pelaksanaannya dalam perilaku nyata tentu sangat tergantung kepada niat baik dan sentuhan moral yang ada dalam diri legislator itu sendiri. Namun, karena kode etik dirumuskan untuk menyempurnakan tugas, mencegah hal-hal yang buruk, dan untuk kepentingan bersama, setiap pejabat diharapkan menaatinya dengan kesadaran yang tulus. Paham idealisme etik mengatakan bahwa pada dasarnya setiap manusia adalah baik dan suka hal-hal yang baik. Apabila ada orang-orang yang menyimpang dari kebaikan, itu semata-mata karena dia tidak memahami norma untuk bertindak dengan baik atau tidak tahu cara-cara bertindak yang menuju kea rah kebaikan. Dalam hal ini yang dibutuhkan adalah suatu peringatan dan sentuhan nurani yang terus-menerus untuk menggugah kesadaran moral dan melestarikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dan interaksi antar individu.
Dalam pada itu melalui praktek politik, pengamalan nilai dan norma lokal seharusnya menjadi landasan etis, tercermin di dalam proses politik demikian pula dalam penyelenggaraan kekuasaan negara, serta di dalam seluruh tingkah laku elit politik.
Dalam konteks politik, ada beberapa gejala yang melekat pada realitas kehidupan bermasyarakat yang juga dapat dianggap sebagai ganjalan terhadap upaya penegakan etika pemerintahan baik pada setiap tingkatannya (Ryaas Rasyid, 2007) Gejala-gejala itu adalah:
1. Perilaku sosial, ekonomi dan politik yang cenderung terlalu berorientasi pada kekuasaan;
2. Orientasi materialisme yang bersifat vulgar;
3. Feodalisme dan primordialisme; dan
4. Budaya santai, kemiskinan dan sikap minder masih mewarnai kehidupan masyarakat.
Selanjutnya, Ryaas menilai keempat gejala kerawanan dan tantangan tersebut di atas seyogianya diatasi dan dijawab secara konsepsional. Dalam hubungan ini, ada beberapa pendekatan strategis yang bisa dipertimbangkan:
1. Pendekatan kepemimpinan dalam arti pembangunan suatu model kepemimpinan yang secara konsisten merefleksikan pengamalan nilai-nilai pokok Pancasila.
2. Pendekatan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada keadilan sosial.
3. Pendekatan hukum dalam arti penegakan hukum dan peningkatan ketaatan pada hukum.
Sebagai bagian dari pelaksanaan etika politik, seorang legislator seyogianya memperhatikan etika sosietal yang merujuk pada tujuan-tujuan yang dicita-citakan oleh masyarakat yang merupakan pedoman bagi arah kebijakan publik dan politik. Keputusan-keputusan tersebut harus memaksimalkan manfaat sosietal dan meminimalkan biaya sosietal. Stuart S. Nagel dalam Wahyudi Kumorotomo (1992) Konsep sosietal disini merujuk kepada hak milik kolektif dalam arti sebagai berikut:
1. Kebahagiaan terbesar bagi jumlah yang terbesar
2. Mengangkat kondisi dasar kemasyarakatan terutama bagi mereka yang paling tak beruntung
3. Melakukan segala sesuatu yang membuat semua orang menjadi lebih baik atau sekurang-kurangnya tidak seorangpun yang menjadi lebih buruk.
MEMBANGUN KOMUNIKASI PEMERINTAHAN EFEKTIF
Selanjutnya, sebagai pihak yang dipilih oleh rakyat melalui mekanisme pemilu, anggota legislatif dituntut untuk selalu menjalin komunikasi dengan masyarakat daerah, baik dalam konteks menjaga hubungan maupun dalam konteks pelaksanaan fungsi pemerintahan yang diemban. Komunikasi merupakan sesuatu yang sangat pokok dalam setiap hubungan seseorang dengan orang lain, begitu pula dalam suatu organisasi terjadinya komunikasi tentunya mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Tujuan – tujuan dari komunikasi tersebut antara lain pertama, menetapkan dan menyebarkan maksud dari suatu kegiatan; kedua, mempengaruhi sikap dan perilaku orang-orang secara individu maupun kelompok-kelompok di dalam suatu organisasi; ketiga, mengembangkan rencana-rencana untuk mencapai tujuan; keempat Mengorganisasikan sumber-sumber daya manusia dan sumber daya lainnya seperti efektif dan efisien; kelima Memilih, mengembangkan, menilai anggota di dalam komunikasi tersebut; dan keenam Memimpin, mengarahkan, memotivasi dan menciptakan suatu iklim kerja di mana setiap orang mau memberikan kontribusi.
Sesuai dengan tujuan dari komunikasi, maka dalam suatu organisasi komunikasi mempunyai beberapa fungsi. Antara lain pertama, komunikasi berfungsi informasi, melalui komunikasi maka apa yang ingin disampaikan oleh narasumber atau pemimpin kepada bawahannya dapat diberikan dalam bentuk lisan ataupun tertulis. Melalui lisan pemimpin dengan bawahan dapat berdialog langsung dalam menyampaikan gagasan dan ide; kedua fungsi komando akan perintah yang berkaitan dengan kekuasaan, di mana kekuasaan seseorang orang adalah hak untuk memberi perintah kepada bawahan di mana para bawahan tunduk dan taat dan disiplin dalam menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Suatu perintah akan berisikan aba-aba untuk pelaksanaan kerja yang harus dipahami dan dimengerti serta yang dijalankan oleh bawahan. Dengan perintah terjadi hubungan atasan dan bawahan sebagai yang diberikan tugas; ketiga Fungsi mempengaruhi dan penyaluran yang berarti memasukan unsur-unsur yang meyakinkan dari pada atasan baik bersifat motivasi maupun bimbingan, sehingga bawahan merasa berkewajiban harus menjalankan pekerjaan atau tugas yang harus dilaksanakannya. Dan dalam mepengaruhi bahwa komunikator harus luwes untuk melihat situasi dan kondisi di mana bawahan akan diberikan tugas dan tanggung jawab, sehingga tidak merasa bahwa sebenarnya apa yang dilakukan bawahannya itu merupakan beban, ia akan merasakan tugas dan tanggung jawab; Keempat Fungsi integrasi yang menunjukkan bahwa organisasi sebagai suatu sistem harus berintegrasi dalam satu total kesatuan yang saling berkaitan dan semua urusan satu sama lain tak dapat dipisahkan, oleh karena itu orang-orang yang berada dalam suatu organisasi atau kelompok merupakan suatu kesatuan sistem, di mana seseorang itu akan saling berhubungan dan saling memberikan pengaruh kepada satu sama lain dalam rangka terciptanya suatu proses komunikasi untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan.
Komunikasi Pemerintahan (government communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan pemerintahan dan aktor-aktor pemerintahan, atau berkaitan dengan pengelolaan pemerintahan dan kebijakan pemerintah. Komunikasi pemerintahan juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara “yang memerintah” dan “yang diperintah”. Mengkomunikasikan pemerintahan tanpa aksi pemerintahan yang kongkret sebenarnya telah dilakukan oleh siapa saja: mahasiswa, dosen, tukang ojek, penjaga warung, dan seterusnya. Tak heran jika ada yang menjuluki Komunikasi Pemerintahan sebagai neologisme, yakni ilmu yang sebenarnya tak lebih dari istilah belaka.
Dalam prakteknya, komunikasi pemerintahan sangat kental dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, dalam aktivitas sehari-hari, tidak satu pun manusia tidak berkomunikasi, dan kadang-kadang sudah terjebak dalam analisis dan kajian komunikasi pemerintahan. Berbagai penilaian dan analisis orang awam berkomentar sosal kenaikan BBM, ini merupakan contoh kekentalan komunikasi pemerintahan. Sebab, sikap pemerintah untuk menaikkan BBM sudah melalui proses komunikasi pemerintahan dengan mendapat persetujuan DPR.
Komunikasi pemerintahan dipandang sebagai menyalurkan aspirasi dan kepentingan pemerintahan rakyat yang menjadi input sistem pemerintahan dan pada waktu yang sama ia juga menyalurkan kebijakan yang diambil sebagai output sistem pemerintahan. Melalui komunikasi pemerintahan rakyat memberikan dukungan, menyampaikan aspirasi, dan melakukan pengawasan terhadap sistem pemerintahan. Melalui itu pula rakyat mengetahui apakah dukungan, aspirasi, dan pengawasan itu tersalur atau tidak sebagaimana dapat mereka simpulkan dari berbagai kebijakan pemerintahan yang diambil.
Dalam ilmu pemerintahan, terdapat suatu asumsi bahwa semakin tinggi kualitas komunikasi pemerintahan yang hadir dalam suatu sistem pemerintahan maka sifat dan kualitas demokrasi sistem pemerintahan itu juga semakin sehat dan tinggi. Oleh karena itu, bangsa-bangsa yang hidup dalam sistem pemerintahan yang demokratis, tidak pernah berhenti mempersehat dan meningkatkan kualitas komunikasi pemerintahan mereka, sebagaimana mereka tidak pernah beristirahat dalam menyempurnakan dan mempertinggi kualitas sistem pemerintahan demokrasi mereka dari masa ke masa, dari generasi ke generasi. Hal ini disebabkan karena realita kehidupan masyarakat yang terus berkembang seiring dengan dinamika perkembangan zaman.
Komunikator Pemerintahan pada dasarnya adalah semua orang yang berkomunikasi tentang pemerintahan, mulai dari obrolan warung kopi hingga sidang parlemen untuk membahas konstitusi negara. Namun, yang menjadi komunikator utama adalah para pemimpin pemerintahan atau pejabat pemerintah karena merekalah yang aktif menciptakan pesan pemerintahan untuk kepentingan politis mereka. Mereka adalah pols, yakni politisi yang hidupnya dari manipulasi komunikasi, dan vols, yakni warganegara yang aktif dalam pemerintahan secara part timer ataupun sukarela.
Mochtar Pabotingi (Cangara, 2005) menyarankan bagaimana agar komunikasi pemerintahan itu bisa berlangsung dewasa. Pertama, berpikir secara multiparadigma. Kedua, menyadari adanya ruang-ruang permasalahan pemerintahan dimana perbedaan pandangan akan selalu ada. Ketiga, harus saling memandang tanpa finalitas penilaian. Fakta masyarakat yang Inklusifisme, sebagai warga Indonesia harus disertakan dalam paradigma berpikir.
Pabotingi menguraikan dalam prosesnya komunikasi pemerintahan sering mengalami empat distoris. Pertama, distoris bahasa sebagai topeng. Ia memberikan contohnya dengan melihat bagaimana orang mengatakan alis “bagai semut beriring” atau bibir “bak delima merekah”. Uraian itu menunjukkan sebuah euphemisme.
Selanjutnya Pabottingi membuat pendapat lebih jauh bahwa dengan mengalihkan perhatian seorang atau ratusan juta orang, maka massa bisa lupa. Bahkan lupa bisa diperpanjang selama dikehendaki manipulator. Di sini tampak distorsi komunikasi ini bisa parah jika sebuah rejim menghendaki rakyatnya melupakan sejarah atau membuat sejarah sendiri untuk melupakan sejarah pemerintahan sebelumnya.
Distorsi ketiga adalah, distorsi bahasa sebagai representasi. Jika dalam distoris topeng keadaan sebenarnya ditutupi dan dalam distorsi lupa berbicara soal pengalihan sesuatu, maka distorsi ketiga ini terjadi bila kita melukiskan sesuatu tidak sebagaimana mestinya.
Ada dua perspektif yang cenderung menyebarkan distoris ideologi. Pertama, perspektif yang mengidentikkan kegiatan pemerintahan sebagai hak istimewa sekelompok orang. Perspektif ini menekankan hanya penguasalah yang berhak menentukan mana yang pemerintahan dan mana yang bukan. Oleh sebab itu nantinya akan berakhir dengan monopoli pemerintahan kelompok tertentu. Kedua, perspektif yang semata-mata menekankan tujuan tertinggi suatu sistem pemerintahan. Mereka yang menganut perspektif ini hanya menitikberatkan pada tujuan tertinggi sebuah sistem pemerintahan tanpa mempersoalkan apa yang sesungguhnya dikehendaki rakyat.
Sementara itu, Gabriel Almond dalam Maswadi dan Mappa Nasrun (1993) berpendapat bahwa struktur komunikasi dapat dibedakan menjadi Pertama, kontak tatap muka informal yang muncul terpisah dari struktur masyarakat. Kedua, struktur sosial tradisional seperti hubungan keluarga dan keagamaan. Ketiga, struktur pemerintahan “output” (keluaran) seperti legislatif dan birokrasi. Keempat, struktur “input” (masukan) termasuk misalnya serikat buruh dan kelompok kepentingan dan partai-partai pemerintahan. Kelima, media massa.
DPRD DAN UPAYA PEMBENTUKAN SISTEM PEMERINTAHAN YANG KUAT DAN EFEKTIF
Pemerintahan yang kuat dan efektif adalah suatu proses pembentukan dan pelaksanaan kebijakan publik oleh lembaga-lembaga publik yang selaras dengan aspirasi dan keinginan rakyat berdasarkan tata peraturan perundang-undangan. Sedangkan pengertian sistem pemerintahan yang kuat dan efektif adalah suatu pola hubungan antara berbagai lembaga-lembaga publik dalam rangka pembentukan dan pelaksanaan kebijakan publik dengan dasar-dasar prinsip tertentu untuk menterjemahkan aspirasi dan keinginan rakyat. Pentingnya sistem pemerintahan yang kuat dan efektif, paling tidak bersumber pada (3) alasan utama, yaitu:
1. Pemerintahan yang kuat dan efektif, aktivitas pemerintahan menjadi lebih responsif. Pemerintah akan berusaha menterjemahkan keinginan rakyat menjadi kebijakan publik.
2. Pemerintah yang kuat dan efektif akan membuat aktivitas pemerintahan didukung oleh berbagai kekuatan politik maupun masyarakat. Sinergi ini akan membuat pencapaian aktivitas pemerintahan yang meluas oleh karena partisipasi masyarakat dan kekuatan politik dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan umum seperti memberikan pelayanan umum, mengatur konflik, maupun pembagian sumber-sumber ekonomi.
3. Pemerintahan yang kuat dan efektif akan memungkinkan berlangsungnya aktivitas yang stabil dalam jangka panjang. Semakin minimnya distorsi dan interupsi proses pemerintahan akan membuat pencapaian tujuan bernegara dan berbangsa lebih nyata.
Untuk mendukung tercapainya sistem pemerintahan yang kuat dan efektif, maka perlu suatu upaya serius untuk menguatkan berbagai elemen sistem pemerintahan bagi kebijakan publik yang aspiratif dan responsif. Jenis elemen-elemen tersebut sangat tergantung pada jenis sistem pemerintahan yang hendak dibangun. Argument teoritik yang mendasari hal tersebut adalah:
1. Untuk memilih kepala daerah secara langsung membuat gubernur, bupati/walikota memiliki mandat yang kuat untuk melaksanakan kehendak rakyat yang memilihnya. Asumsi yang mendasari hal tersebut adalah dengan mandat yang demikian maka lembaga ini memiliki dasar untuk melaksanakan suatyu pemerintahan yang kuat dan efektif.
2. Dalam banyak kasus, kepala daerah biasanya dipilih langsung oleh rakyat dalam jangka waktu yang pasti. Dipilih langsung akan membuat kedudukannya tidak tergantung pada dinamika lembaga lain. Hubungan ini juga memungkinkan terciptanya stabilitas kelembagaan yang berimplikasi terhadap kemungkinan tercapainya pemerintahan yang kuat dan efektif.
3. Kepala daerah terpilih dalam jangka waktu yang pasti diharapkan mampu untuk melaksanakan kebijakan publik secara terencana dan responsif, atau dengan kata lain secara efektif. Sebagai sebuah sistem pemerintahan, untuk efektivitas fungsi pemerintahan maka lembaga pemerintahan harus juga didukung oleh bekerjanya suatu sistem perwakilan yang efektif. Hubungan antara keduanya harus pula berimbang yang didasarkan pada fondasi check and balances.
PENUTUP
Memperhatikan dinamika politik dan pemerintahan yang terus berjalan di tengah krisis multidimensi dan berinteraksi dengan dunia global, maka etika politik dan komunikasi politik yang elegan kembali dihadirkan sebagai sebuah roh pergerakan proses pemerintahan dan pembangunan. Terlebih lagi ketika kita mengalami krisis kepemimpinan baik untuk skala lokal maupun nasional. Penegakan etika akan semakin bermakna jika ia diilhami oleh nilai dan norma lokal yang terbukti diterima oleh sebagian besar golongan tanpa menafikkan keberadaan kelompok minoritas. Dalam konteks itulah maka Pancasila dapat kembali diapungkan untuk menjadi landasan etika politik dan pemerintahan. Realitas kemajemukan negeri justru menjadi pemicu bagi kita untuk menjadikan Pancasila sebagai kekuatan pemersatu (integrating force) yang relatif masih utuh sebagai common platform bagi Negara bangsa Indonesia.
Hubungan Melalui praktek pemerintahan, pengamalan nilai-nilai Pancasila seharusnya menjadi landasan etis, tercermin di dalam proses perumusan kebijakan dan penyelenggaraan kekuasaan negara, serta di dalam seluruh tingkah laku aparatur negara. Beberapa elemen penting yang dipandang mendukung dalam pelaksanaan etika politik berdasarkan Pancasila, yaitu Pluralisme, Hak Asasi Manusia, solidaritas bangsa, demokratisasi, dan keadilan sosial.
Sementara itu Komunikasi Politik merupakan salah satu fungsi dalam sistem politik yang amat penting. Komunikasi politik dipandang sebagai menyalurkan aspirasi dan kepentingan politik rakyat yang menjadi input sistem politik dan pada waktu yang sama ia juga menyalurkan kebijakan yang diambil sebagai output sistem politik. Melalui komunikasi politik rakyat memberikan dukungan, menyampaikan aspirasi, dan melakukan pengawasan terhadap sistem politik. Wallahu wa’lam bissawaf…
DAFTAR PUSTAKA
Almond, Gabriel and G Bingham Powell, 1976. Comparative Politics: A Developmental Approach. New Delhi, Oxford & IBH Publishing Company.
Budiardjo, Miriam. 007. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Jakarta
Budiardjo, Miriam dan Ambong, Ibrahim (edit) 1993. Fungsi Legislatif dalam Sistem politik Indonesia. Jakarta: Gramedia press bekerja sama dengan AIPI Jakarta
Cangara, Hafidz,2005, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta:PT RajaGrafindo Persada
Effendy, Onong Uchjana, 2003. Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: Grasindo.Rosdakarya
Fredericson, H. G. 1984. Administrasi Negara Baru. Jakarta: LP3ES
Gaffar, affan, 1989, Beberapa Aspek Pembangunan Politik (Sebuah Bunga Rampai), Jakarta :Rajawali Press.
Kantaprawira, Rusadi. 2001 Sistem Politik Indonesia (edisi revisi). Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Wahyudi Kumorotomo, Wahyudi. 1992. Etika Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers
Littlejohn, Stephen W. 2001. Theories of Human Communication. USA: Wadsworth Publishing
Mac Andrews, Colin dan Ichlasul amal (ed.)1990. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Rahman. A. 2007. Sistem Politik Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu
Rasyid, M. Ryaas. 2007. Makna Pemerintahan, Tinjauan Dari Segi Etika Dan Kepemimpinan. Jakarta: Mutiara Sumber Widya
Rauf, Maswadi dan Mappa Nasrun. 1993. Indonesia dan Komunikasi Politik, (eds). Jakarta, Gramedia.
Surbakti, ramlan 2007. Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Grasindo PT. Gramedia widia Sarana
Said, Gatara, ardian Said Dzulkiah, Moh. 2007. Sosiologi Politik; Konsep dan Dinamika Perkembangan Kajian. Bandung: CV Pustaka Setia
Sanit, Arbi. 1985. Perwakilan Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers
Winarno, Budi. 2008. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Jakarta: MedPress
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Riwayat Hidup Penulis
Baharuddin Thahir, Lahir di Sungguminasa-Kab Gowa, 2 Mei 1975. Pendidikan Dasar hingga sekolah lanjutan atas (SMA) dilalui di kota Sungguminasa, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi selatan. Pendidikan tinggi antara lain Gelar Sarjana diperoleh pada Jurusan Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Fisip Universitas Hasanuddin (1997), Gelar Magister Ilmu Pemerintahan diperoleh pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung (2001). Saat ini sebagai staf pada Lembaga Kajian Strategis IPDN kampus Cilandak Jakarta. Pengalaman mengajar di perguruan tinggi antara lain: Dosen Tidak Tetap pada sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Inter-Studi, Jakarta (2007 s/d sekarang), Dosen Luar biasa pada Jurusan Ilmu politik dan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unversitas Hasanuddin (2002 s/d 2006), Dosen Tidak Tetap pada fakultas Ekonomi Universitas Indo Nusa Esa Unggul (2005), dan Dosen Luar Biasa pada Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi-Lembaga Administrasi Negara (STIA-LAN) Kampus Makassar (2003 s/d 2004). Disamping itu penulis juga pernah menjadi Konsultan Manajemen Pelaksana (KMP) pada Program Pelatihan Kesadaran Bela Negara-Pemberdayaan Organisasi Masyarakat (PKBN-POM) Departemen Pertahanan Tahun (2002 s/d. 2005).
Oleh. Baharuddin Thahir