Pilkada: Calon Tunggal Kepala Daerah Implikasi Kebijakan Yang Tidak Tepat - Kajian Pemerintahan

Friday, August 7, 2015

Pilkada: Calon Tunggal Kepala Daerah Implikasi Kebijakan Yang Tidak Tepat

Fenomena baru yang sangat menarik terlihat dalam tahap awal pelaksanaan pilkada serentak yang rencananya akan dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2015. Pesta demokrasi pemilihan kepala daerah yang diawali dengan tahapan pendaftaran pasangan bakal calon kepala daerah dilaksanakan pada tanggal 26 Juli sampai dengan 28 Juli 2015. Setelah pendaftaran ditutup pada tanggal 28 Juli 2015 tercatat 810 pasangan calon kepala daerah yang telah mendaftar di 269 Daerah. 20 Pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur di 9 Provinsi, 676 Pasangan Calon Bupati/Wakil Bupati di 223 Kabupaten serta 114 Pasangan Calon Walikota/Wakil Walikota di 36 Kota (Sumber siaran Pers KPU 29 Juli 2015)

Menariknya dari 269 daerah tersebut, ternyata 14 Daerah terdapat calon tunggal dan 1 daerah (Kabupaten Bolang Mongondow Timur) tidak ada pasangan calon yang mendaftar untuk ikut pesta demokrasi pemilihan kepala daerah.
(Baca juga: Bupati Buru Ramly Umasugi Siap Sukseskan Swasembada dan Kedaulatan Pangan)

Fenomena seperti ini menjadi menarik untuk dikaji karena peristiwa yang “tak lazim” seperti ini baru pertamakali terjadi. Terdapat “kelangkaan” peserta pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia. Sebagai perbandingan pada saat pemilihan walikota Padang (Sumatera Barat) yang dilaksanakan pada tanggal 30 Oktober 2013 terdapat 10 pasangan calon kepala daerah yang terdiri dari 3 pasangan calon yang diusung oleh partai politik dan 7 pasangan calon dari independen. Pelaksanaan pesta demokrasi pemilihan kepala daerah di Kota Padang ini diikuti dengan antusias dengan indikasi banyaknya pasangan calon kepala daerah yang meramaikan pemilihan kepala daerah tersebut.

Jika kita bandingkan pemilihan kepala daerah di Kota padang dengan pemilihan kepala daerah serentak yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 desember 2015, maka pertanyaannya adalah Apa yang menjadi penyebab “ganguan” dalam pesta demokrasi pemilihan kepala daerah serentak pada tanggal 9 Desember 2015, sehingga minim peserta pemilihan kepala daerah? .

Pertanyaan diatas dapat dijawab dengan penjelasan sebagai berikut :

Pertama, Anggota Dewan dan PNS harus mundur

Pasca keputusan MK atas 8 perkara yang diputuskan 8 Juli 2015 terutama keputusan yang mengharuskan Anggota Dewan dan PNS harus mundur setelah ditetapkan sebagai pasangan calon kepala daerah mengakibatkan sebahagian besar bakal calon yang berasal dari Anggota Dewan (DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota) menjadi “galau”untuk tetap bertarung dalam pemilihan kepala daerah. Alasannya adalah

  1. Anggota Dewan yang akan maju dalam pemilihan daerah harus berpikir ulang karena akan melepaskan jabatan politik (Anggota Dewan) untuk mendapatkan jabatan Kepala Daerah.
  2. Anggota Dewan tersebut baru saja bertarung dalam pemilihan legislative pada tahun 2014 yang tentunya juga menguras “pundi-pundi” mereka, sehingga mereka harus mengitung ulang kekuatan financial dengan resiko yang diambil.
  3. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan yang hitungannya Milyaran rupiah, tentu membuat anggota dewan harus berhati-hati untuk mengambil keputusan.
  4. Jika peluang untuk menang tidak lebih besar dari pasangan calon kepala daerah yang lain tentunya mereka harus memikir ulang atas resiko yang akan mereka hadapi jika kalah dalam pemilihan kepala daerah.

Dengan mempertimbangkan ketiga hal yang telah disampaikan diatas maka berat bagi anggota dewan untuk mundur dari jabatannya agar bisa ikut bertarung dalam pemilihan kepala daerah ditambah dengan beratnya peluang untuk menang. Sehingga para anggota dewan lebih memilih berada dizona nyaman dengan tetap menjadi anggota dewan dari pada harus bertarung menjadi kepala daerah dengan segala resiko yang menghadang.

Kedua, Calon Independen dipersulit

Tidak dapat kita pungkiri bahwa jumlah calon independen semakin sedikit. Hal ini bisa terjadi karena calon independen semakin “dipersulit” dengan cara memperbesar persentasi dukungan KTP dari 2.5 % dari jumlah pemilih menjadi 6.5% sd 10% dari jumlah penduduk sesuai dengan aturan yang terdapat dalam Pasal 41 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015. Jika penduduk kota padang tahun 2013 sebanyak 876.678 orang dan jumlah pemilih 560.732 (KPU Kota Padang 2013). Pada aturan yang lama jika mau maju dalam pilkada melalui jalur independen, dukungan KTP yang dibutuhkan adalah 2.5% kali 560.732. Maka dukungan KTP yang dibutuhkan adalah 14.018 KTP. Jika kita menggunakan aturan baru maka dukungan KTP yang dibutuhkan adalah 876.678 kali 7.5%. Maka dukungan KTP yang dibutuhkan adalah 65.750 KTP. Dengan demikian, maka calon independen harus menyiapkan 469% dukungan KTP lebih banyak dibandingkan dengan aturan yang lama.

Dengan adanya peningkatan jumlah dukungan KTP sebesar 469%, tentu sangat menyulitkan bagi calon independen, wajar kiranya jumlah pasangan calon kepala daerah yang maju dari jalur independen menjadi semakin sedikit.

Ketiga, Besarnya biaya perahu.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa biaya perahu merupakan salah satu ongkos politik yang harus dikeluarkan oleh pasangan calon kepala daerah. Besarnya ongkos perahu ini juga menjadi “jeritan” tersendiri bagi pasangan calon kepala daerah. Hebatnya para pengurus partai tetap berteriak bahwa tidak ada praktek “üang perahu” dalam pencalonan kepala daerah. Lagu ini bisa mereka nyanyikan karena mereka sangat menyadari bahwa untuk praktek “jual-beli”perahu dilakukan secara rapih sehingga sulit untuk dibuktikan dibuktikan.

Keempat, Besarnya ongkos politik

Pilihan untuk melaksanakan Pemilihan Kepala daerah secara Langsung tidak dapat dihindarkan dengan konsekwensi besarnya ongkos politik yang harus dikeluarkan oleh kepala daerah. Selain untuk biaya perahu, pasangan calon kepala daerah tetap harus merogoh kantong Milyaran rupiah untuk biaya atribut kampanye, pengerahan massa, iklan, penggunaan jasa konsultan politik dan lain sebagainya. Keperluan tersebut sudah merupakan suatu keharusan bagi pasangan calon kepala daerah jika ingin memenangkan pesta demokrasi pemilihan kepala daerah.

Kelima, Partai Politik belum melahirkan kader yang militan.

Terindikasi adanya “kegamangan” partai untuk mengusulkan kadernya dalam pesta demokrasi pemilihan kepala daerah kali ini. Hal ini terbukti dengan munculnya 14 pasangan calon tunggal dan 1 daerah yang tidak mengusulkan pasangan calon sama sekali.

Pertanyaannya adalah apakah selama ini partai politik tidak menyiapkan kadernya untuk diusung dalam pilkada serentak pada tanggal 9 Desember 2015?. Tentunya yang bisa menjawab adalah kalangan partai politik itu sendiri.

Perbaikan Aturan Mainnya.

Beratnya beban yang harus ditanggung oleh calon pasangan kepala daerah harus menjadi pemikiran bersama, terutama dari sisi “finansial”. Kondisi ini tentunya akan membatasi orang-orang yang mempunyai kompetensi dan integritas yang baik tetapi terkendala dengan “öngkos politik”yang mahal untuk maju ikut bertarung dalam pesta demokrasi pemilihan kepala daerah.

Sudah terbukti dengan ditutupnya pendaftaran calon kepala daerah tanggal 28 Juli 2015 Kemaren, ternyata terdapat 14 calon tunggal dan 1 daerah tanpa calon sama sekali dan setelah diperpanjang masih terdapat pasangan calon tunggal di 7 daerah. Semestinya para pembuat kebijakan harus sangat memahami ada yang salah dalam kebijakan yang telah mereka buat.

Kebijakan yang telah diputuskan saat ini terbukti tidak menarik bagi masyarkat dan kader partai untuk maju dalam pemilihan kepala daerah. Oleh karena itu perlu dirumuskan kebijakan pemilihan kepala daerah yang pro dengan kepentingan daerah. Kenapa kita mesti memaksakan suatu mekanisme pemilihan kepala daerah yang sangat mahal baik dari cost yang dikeluarkan oleh pemerintah dan ongkos politik yang dikeluarkan oleh calon pasangan kepala daerah.

Semestinya para pembuat kebijakan meurumuskan suatu kebijakan yang pro kepada kepentingan daerah. Kebijakan yang yang mampu menggali kompetensi calon kepala daerah dan lain sebagainya. Bukan membuat kebijakan-kebijakan yang hanya menguras pundi-pundi pasangan calon kepala daerah dan membenani negara dengan cost yang sangat mahal. Semoga peristiwa kali ini dapat menjadi pelajaran bagi kita semua untuk kepentingan bangsa dan negara.

Ciptakanlah sistim pemilihan kepala daerah yang menghasilkan negarawan bukan menghasilkan calon koruptor baru.


Oleh : Dr. Rahmat Hollyson
Direktur Lembaga Kajian Pemerintahan Indonesia
Salah satu penggugat dari 8 Perkara yang diputuskan MK pada tanggal 8 Juli 2015

sumber gambar: http://goo.gl/gbB8OR

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda