Terjun ke Politik, Agus Jadi Fenomena Baru - Kajian Pemerintahan

Sunday, September 25, 2016

Terjun ke Politik, Agus Jadi Fenomena Baru


By. Singgih Usman Fuadi

Penantian panjang masyarakat terjawab sudah, Akhirnya Mega dengan koalisinya mengusung Ahok-Jarot, SBY dengan Koalisinya mengusung Agus Silvi dan Prabowo dengan koalisinya mengusung Anis-Sandi

Ahok dan Anis merupakan dua tokoh yang sudah sangat kita kenal. Ahok merupakan Petahana yang sangat disenangi Media, dan Anis merupakan tokoh pendidikan yang terakhir menjabat sebagai menteri pendidikan. Sementara Agus hanya dikenal sebagai Putra Sulung SBY yang merupakan perwira menengah di TNI.

Siapakah sosok AHY ?
Mengundurkan diri dengan pangkat mayor, pemuda bernama lengkap (Mayor Inf) Agus Harimurti Yudhoyono, M.Sc., M.PA, MA atau yang akrab disapa AHY ini membuat Publik Indonesia tercengang dengan munculnya nama AHY sebagai bakal calon Gubernur Provinsi DKI Jakarta Tahun 2017-2022 untuk menjadi rival dalam pertarungan pilkada serentak 2017 melawan petahana. Memang patut dikatakan publik Indonesia, bukan hanya publik Jakarta saja yang merasa tercengang dengan keputusan koalisi kekeluargaan poros cikeas yang diusung Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Sosok AHY memang sulit untuk lepas dari nama besar sang ayah yang merupakan Presiden Indonesia Ke 6, Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, menjadi anak seorang presiden bukan berarti menjadikan sosok AHY tidak mampu membuktikan bahwa dirinya dapat berprestasi dengan kemampuan yang dimilikinya. AHY merupakan lulusan terbaik dari sekolah SMA Taruna Nusantara tahun 1997 dengan menerima medali Garuda Trisakti Tarunatama Emas, sehingga membulatkan tekadnya untuk mengikuti jejak sang ayah untuk bisa memakai Pakaian Dinas Upacara Besar (PDUB) warna hijau yang merupakan PDUB TNI AD. Lulus dari Akademi Militer (AKMIL) tahun 2000 dan mendapat predikat lulusan terbaik dengan penghargaan Adhi Makayasa membuat karir AHY di dunia militer dapat dikatakan akan cemerlang. Tidak hanya pendidikan di dalam negeri, AHY membuktikan kemampuan dirinya dengan menyelesaikan pendidikan di beberapa universitas luar negeri dengan mendapatkan IPK 4,0 yaitu di George Herbert Walker School di Webster University dengan gelar MA in Leadership and Management dan Command and General Staff College (CGSC) di Fort Leaveworth, Kansas, Amerika Serikat (Pendidikan Militer setingkat sekolah staf komando angkatan darat). Selain itu, sebelumnya AHY juga mendapatkan predikat sangat memuaskan pada studi Master Strategic Studies di Institute Of Defence and Strategic Studies Nanyang Technological University Singapura dan Master of Public Administration , John Kennedy School of Government.

Jabatan di dunia militer juga telah didudukinya hingga AHY berpangkat mayor. Berbagai kegiatan kemiliteran mulai dari pelaksanaan dinas militer di dalam negeri maupun penugasan militer di luar negeri seringkali dipublikasikan melalui akun media sosial dirinya yang membuat banyak orang merasa terkesima dan bahkan dapat dikatakan terinspirasi oleh sosok AHY. Faktor tersebutlah yang diyakini membuat masyarakat menyayangkan pengunduran dirinya dan menganggap bahwa keikutsertaannya dalam kontes politik Indonesia “terlalu dini”.

Siapakah Sosok Pendamping AHY ?

AHY maju dalam pertarungan pilkada tahun 2017 dipasangkan dengan Sylviana Murni. Bernama lengkap Prof. Dr. Hj. Sylviana Murni, SH., M.Si., Sylviana merupakan seorang birokrat yang tidak asing dengan dunia politik. Berkiprah sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai staf dan pada akhirnya sebelum maju pilkada 2017 menjabat sebagai Deputi Gubernur Bidang Pariwisata dan Kebudayaan membuktikan bahwa sosok Sylviana dipandang mempunyai kapabilitas untuk bersama-sama membangun DKI Jakarta bersama AHY. Prestasi Sylviana yang sangat dirasakan oleh masyarakat Jakarta adalah Pelayanan Terpada Malam Hari (PTMH) yang menyediakan 23 layanan bagi masyarakat. Terobosan tersebut dilakukan sewaktu Sylviana menjabat sebagai Walikota Jakarta Pusat tahun 2008-2013. Di tengah aktivitasnya sebagai seorang PNS, Sylviana juga pernah terjun ke dunia politik dengan mengambil cuti pada saat menjadi anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta dari Partai Golkar tahun 1997-1999. Hal tersebut tentunya memberikan keuntungan bagi Sylviana sebagai modal untuk bertarung karena tidak hanya paham birokrasi di Provinsi DKI Jakarta pada sisi eksekutif, namun juga pada sisi legislatif.
Berpasangan dengan AHY, menjadikan pasangan ini mempunyai keunikan dan cukup menarik untuk mewakili masyarakat Jakarta. Perpaduan Laki-laki dan Wanita, Jawa-Betawi, Tua-Muda, dan Sipil-Militer menjadi paket lengkap yang diharapkan mampu bersaing dan memenangkan Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017. Keduanya memang tidak diduga-duga akan menjadi satu pasangan calon, mengingat bahwa AHY masih aktif di dunia militer dan Sylviana sebelumnya dikabarkan akan berpasangan dengan Bakal Calon Gubernur dari Partai Gerindra, Sandiaga Uno.

Peta kekuatan
Melihat pada kontestasi politik, seluruh bakal calon gubernur dan wakil gubernur sama-sama belum pernah memenangkan kontes pemilihan kepala daerah, kecuali petahana Basuki Tjahaya Purnama yang pada tahun 2012 terpilih sebagai Wakil Gubernur mendampingi Joko Widodo, sehingga asumsi masyarakat pada umumnya bahwa kemenangan pasangan Jokowi-Ahok pada waktu itu karena figur Jokowi. Apabila dilihat pada komposisi partai pendukung, pasangan Ahok-Djarot mempunyai kekuatan kursi DPRD paling besar yaitu 52 Kursi dengan dukungan dari PDI-P, Hanura, Golkar, dan Nasdem; diikuti pasangan AHY-Sylviana dengan 28 Kursi yang diusung oleh Demokrat, PAN, PPP, dan PKB; dan pasangan Anies-Sandi dengan 26 Kursi DPRD yang diusung oleh Gerindra dan PKS. Apabila kita melihat lagi jumlah pemilih pada Pemilu Legislatif tahun 2012, tentu jumlah pemilih untuk partai pengusung Ahok-Djarot jauh lebih besar dibanding pasangan lain dengan jumlah pendukung lebih dari 2 juta pemilih, jauh meninggalkan lawannya pengusung AHY-Sylvina dan Anies-Sandi yang berada pada angkat 1 juta pemilih.

Namun, psikologis masyarakat pemilih pada saat ini cenderung masih melihat pada seorang figur ataupun pada seorang sosok. Tingginya elektabilitas partai pada proses pemilu sebelumnya tidak dapat menjadi pacuan akan tinggi juganya elektabilitas pasangan yang diusung. Contoh yang sangat nyata dapat dilihat adalah pada proses pemilu presiden secara langsung. Tiga periode presiden dari tahun 2004 hingga saat ini masih diisi oleh seorang figur dan masyarakat tidak melihat partai pengusung. Koalisi kekeluargaan poros cikeas melihat ada kesempatan untuk dapat mengambil hati pemilih di DKI jakarta dengan menghadirkan sosok baru yang sudah menjadi idola masyarakat ditengah kebuntuan menemukan sosok untuk dapat menandingi petahana.

Masih Dini Kah ?
Setelah resmi diumumkan, banyak kalangan menyayangkan karir AHY di dunia militer. Bahkan tidak sedikit yang mencibir bahwa AHY masih terlalu dini dan belum berpengalaman berpolitik serta banyak yang berkomentar bahwa AHY dikorbankan SBY untuk memenuhi ambisi kekuasaannya.

Rasanya begitu naif apabila SBY tanpa perhitungan yang matang, ataupun hanya untuk memenuhi ambisi kekuasaan sang ayah, akan dengan mudah meng”iya”kan tawaran untuk maju bertarung. AHY yang sudah memiliki segudang prestasi di dunianya dengan rekam jejak prestasi yang cemerlang,terlebih dengan pengorbanan berat yang harus dia bayar, tentu AHY akan begitu kuat meyakinkan sang ayah apabila memang benar hanya demi kekuasaan semata, masyarakat pasti dapat melihat dan menilai dengan jernih bahwa AHY tidak sebodoh yang dipikirkan.

Terlalu dini dan belum berpengalaman politik lah yang kemudian menjadi senjata ampuh untuk menyerang AHY. Tidak ada indikator pasti bahwa “masih terlalu dini” atau “ini sudah saatnya”, permasalahan utama dalam pengalaman kerja bukanlah pada lama tidaknya seseorang, tetapi ada pada tingkat penguasaan serta keterampilan seseorang. Waktu hanya sebagai salah satu indikator tetapi tingkat pengetahuan dan keterampilan lah yang seharusnya dibuktikan. Ironis dapat dikatakan tatkala semua orang berbicara, “Berikanlah kesempatan kepada anak muda”, tetapi mereka sendiri yang berteriak menolak. Banyak anak muda yang sudah sukses menjadi seorang kepala daerah yang semula memang diragukan kemampuannya dalam memimpin sebut saja Gubernur Lampung M. Ridho Ficardo yang dilantik menjadi Gubernur pada usia 33 Tahun; Gubernur Jambi Zumi Zola dan Gubernur Nusa Tenggara Barat M. Zainul Majdi yang dilantik pada usia 36 Tahun, terlebih dengan zona nyaman DKI Jakarta yang sebelumnya selalu dipimpin oleh seseorang dari latar belakang TNI dengan paling tidak memiliki bintang di bahu nya. Sepertin masih belum mengikhlaskan estafet kepemimpinan beralih ke anak muda.

Kepemilikan AHY akan figur seseorang pemimpin sudah pasti tidak perlu diragukan lagi. AHY bertanggung jawab, sudah pasti semua orang akan setuju bahwa sosok AHY bukanlah orang yang akan dengan mudah menyalahkan orang lain dalam setiap masalah pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. AHY adalah orang yang tegas, tentu dengan latar belakang TNI yang dimiliki tidak perlu diragukan lagi. Persepsi masyarakat sekarang masih terkotak bahwa tegas selalu identik dengan cara berbicara yang keras dan kasar, terlebih dengan kondisi masyarakat DKI yang sangat kompleks. Seorang pemimpin harus memiliki manajemen konflik yang bagus dan menjaga hubungan baik pada semua lini dalam birokrasi. Etika pemerintahan patut dijaga dengan baik tanpa harus mempertontonkan kegaduhan politik dalam pemerintahan. Pengalaman berpolitik tentu seperti sudah dikatakan sebelumnya banyak orang meragukan. Melihat sosok AHY dengan prestasi yang dimiliki serta rekam jejaknya yang pernah berada di lingkungan istana, kita semua akan yakin bahwa kemampuan AHY dalam politik dan pemerintahan tidak dapat kita sepelekan, terlebih dengan statement banyak pihak bagaimana rekam jejak prestasi dan kemampuan AHY belum ada yang menandingi.

Kubu pengusung tentunya sudah melihat sisi positif dan negatif apabila mengusung AHY, sehingga ditunjuklah Sylviana yang notabene birokrat dengan pengalaman dan prestasi yang mumpuni akan mampu mendukung kepemimpinan yang dimiliki AHY. Menjadi pekerjaan rumah partai pengusung untuk memperkenalkan dua sosok ini kepada masyarakat Jakarta dan meyakinkan masyarakat Jakarta dengan slogan Jakarta Untuk Rakyat.

Kita semua harus dapat berpikir positif bahwa mengambil keputusan berat untuk keluar dari zona nyaman merupakan sebuah langkah awal meniti kesuksesan. Menjadi seorang abdi negara dan mengabdi untuk masyarakat, negara, dan bangsa tidak mengenal batas waktu dan juga tidak mengenal wilayah penugasan. Bergantinya AHY dari Pakaian Dinas Upacara Besar (PDUB) warna hijau menjadi Pakaian Dinas Upacara Besar (PDUB) warna putih tidak akan menyurutkan kecintaan AHY pada almamater dan menyurutkan kecintaan pada tanah air dan bangsa. Justru saat inilah AHY merasa terpanggil untuk memberikan pengabdian kepada bangsa dan negara agar wajah Ibukota dapat menjadi cerminan masyarakat dunia tentang kepeminpinan dan etika pemerintahan sebenarnya.

Bagikan artikel ini

2 comments