Kajian Pemerintahan

Sunday, January 28, 2018

Sudut Tinjau dari sisi keamanan dan peraturan perundang-undangan pengusulan Pejabat Gubernur Jawa Barat dan Sumut pada pilkada serentak 2018


By. Rahmat Hollyson

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan usulan dua nama perwira tinggi Polri untuk menjadi Penjabat Gubernur Jawa Barat dan Penjabat Gubernur Sumatera Utara pada Pilkada 2018 belum final (http://nasional.kompas.com/read/2018/01/25)

Usulan tersebut menjadi perbincangan hangat hampir diseluruh lapisan masyarakat apalagi dikalangan politisi dan akademisi. Untuk mendalami hal tersebut berikut disampaikan Beberapa situasi dan aturan yang mengakibatkan kebijakan pengusulan Pejabat Gubernur Jawa Barat dan Sumut dari Jenderal Polri mendapatkan banyak penolakan ditinjau dari sisi keamanan dan dan peraturan perundang-undangan.

1. Sudut pandang dari sisi keamanan penyelenggaraan pilkada.

a. Pilgub Jabar dikatakan rawan. Jika ini yang dijadikan argument, pertanyaannya adalah mana yang lebih rawan pilgub Jabar dan Sumut dibanding dengan pilgub DKI 2017 lalu?
b. Dalam penjelasan lain Kapuspen Kemendagri meyebutkan bahwa pilgub Jabar dan Sumut termasuk dalam kategori rawan sedang. (sumber : youtube) Dengan demikian situasi di kedua daerah tersebut tidak termasuk dalam kategeri genting ataupun darurat.
c. Bawaslu mempunyai Indeks kerawanan pemilu (IKP). Semestinya hal tersebut dapat dijadikan salah satu rujukan tingkat kerawanan pelaksanaan pemilihan kepala daerah di kedua wilayah. Dan sejauh ini Bawaslu tidak mengeluarkan pernyataan di kedua wilayah tersebut dalam keadaan rawan
d. Masih dalam masalah keamanan, semua kita mengetahui di Jawa Barat dan Sumut juga mempunyai pimpinan Polri dan TNI yakni panglima dan Kapolda.

2. Sudut Pandang Peraturan Perundang-Undangan

a. Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (ayat 10 UU no 10 Tahun 2016)
b. Apakah boleh perwira TNI dan Polri dapat mengisi kekosongan jabatan Gubernur. Jawabannya tentu saja boleh dengan syarat yang bersangkutan telah menjadi pejabat tinggi madya jika kita mengacu kepada UU no 10 tahun 2016.
c. Jabatan Pimpinan Tinggi (Madya) dapat diisi oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif.( Pasal 109 ayat 2 UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN)
d. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. (ayat 3 pasal 28 UU Nomor 2 tahun 2002 Tentang kepolisian RI

Demikian rujukan singkat yang dapat disampaikan sebagai bahan perbandinga atas apa yang disampaikan terkait dengan pengusulan pejabat Gubernur Sumut dan Jawa Barat pada pemilihan Gubernur pada tahun 2018


#pilkada serentak

#kajian pemerintahan







Friday, August 11, 2017

Kepemimpinan vs Bayi



Kepemimpinan vs Bayi
By Rahmat Hollyson
Penulis Buku Leadhership


Bayi
Menunggu kedatangan sang bayi menjadi “sesuatu”
Kita sibuk menyiapkan segala “sesuatu” dengan penuh semangat

Pemimpin
Akankah  menunggu kehadiran seorang pemimpin menjadi “sesuatu”
Kita sibuk menyiapkan segala “sesuatu” dengan penuh semangat

Bayi,
Melihat seorang bayi adalah “sesuatu”
Wajah kita mengisayaratkan “sesuatu”
Sesuatu dengan wajah yang sumringah
Dengan wajah penuh senyum dan kebahagiaan

Pemimpin,
Akankah kita  melihat pemimpin juga “sesuatu”
Wajah kita mengisyaratkan “sesuatu”
Sesuatu dengan wajah sumringah mengharapak kehadiran pemimpin disekitar kita
Dengan wajah penuh senyum dan kebahagiaan atas kedatangannya


Bayi
Wajah polos adalah “sesuatu”
Wajah polos yang menyejukan
Wajah tanpa topeng, yang menunjukan keasliannya
Wajah asli bukan topeng kepalsuan

Pemimpin
Adakah “kepolosan” yang merupakan “sesuatu”
Adakah Wajah polos yang menyejukan
Adakah Wajah tanpa topeng, yang menunjukan keasliannya
Adakah Wajah asli bukan topeng kepalsuan


Sudahkah anda menjadi pemimpin yang “sesuatu”?,
Mari berkacaa  diri, persiapkan diri untuk menjadi pemimpin yang “sesuatu”
Layak “sesuatu” yang dimiliki oleh sang bayi.


SPIPO PP
BNEB 04 

Thursday, May 4, 2017

Asa Yang Lebih Baik Untuk Pemilu Serentak 2019

Asa Yang Lebih Baik Untuk Pemilu Serentak 2019

Jakarta. Pemilu yang dilaksanakan secara serentak ini membawa perubahan pada peta politik kedepan. Dinamika politik dipastikan akan terjadi namun berbeda dengan Pemilu sebelumnya dimana pemilihan legislatif dan presiden dilakukan pada waktu yang berbeda, diharapkan pemilu serentak ini melahirkan koalisi partai politik pendukung Presidenberdasarkan Ideologi, kesamaan visi dan misi, bukan politik transaksional yang terjadi seperti saat ini demikian disampaikan oleh Presiden Government Research Institute (GRI) Dr. Sri Sundari di Senayan dalam acara diskusi tentang pelaksanaan pemilu serentak 2019.

Pemilu legislatif dan presiden akan dilaksanakan secara serentak untuk yang pertama kali dalam sejarah bangsa Indonesia pada tahun 2019. Pemilu legislatif dan Presiden yang dilakukan secara serentak didasarkan atas Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan Koalisi Masyarakat Sipil atas uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada 23 Januari 2014.

enurut Analis Kebijakan GRI Angga Radian “Pada dasarnya pemilu legislatif dan presiden adalah wacana segar yang disambut baik oleh masyarakat”. Ada beberapa keuntungan jika pemilihan legislatif dan presiden dilakukan secara serentak. Pertama, lebih efektif dan dapat menghemat biaya. Selama ini negara selalu mengeluarkan biaya yang sangat besar sebagai ongkos politik pada pemilihan legislatif dan Presiden. Hal ini juga ditambah dengan pemilihan kepala daerah secara serentak yang dilakukan hampir setiap tahun. Kedua, Pemilihan kali ini berkemungkinan akan menghilagkan Presidential Threshold (PT) sehingga setiap partai politik yang lolos dalam pemilihan legislatif dapat mencalonkan masing-masing calon presidennya tanpa harus terlebih dahulu melakukan koalisi dengan partai lain demi mencukupi syarat minimal dukungan. Kondisi ini memiliki konsekuensi bahwa dengan makin banyak calon presiden masyarakat dapat banyak alternatif dalam memilih sekaligus dapat membingungkan masyarakat. Selain itu partai politik akan lebih selektif dan cerdas dalam menentukan figur sebagai calon presidennya. Jika partai politik tersebut salah dalam menentukan figur capres, maka secara otomatis akan berdampak negatif pada pemilihan legislatifnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Peneliti DPR. Dr Mulyadi yang menyebutkan “pemilu serentak ini akan mampu meminimalisir politik transaksional yang biasa terjadi dalam pemilu sebelumnya. Hal ini dikarenakan waktu yang bersamaan sehingga partai politik tidak perlu meninggu hasil pemilihan legislatif dalam menentukan capresnya.

Sementara Koordinator Peneliti Pusat Kajian Daerah DPD RI Rahmat Hollyson menyebutkan “Pemerintahan akan lebih efektif karena keserentakan pemilu presiden dan pemilu legislatif lebih stabil akibat coattail effect, yakni keterpilihan capres dari parpol atau koalisi parpol akan memengaruhi keterpilihan anggota legislatif dari atau koalisi parpol tertentu.
Pemilih akan cenderung memilih partai politik yang mencalonkan presiden yang didukungnya. Akibatnya partai politik yang mendukung calon presiden terpilih akan memiliki peluang besar untuk memenangkan pemilu legislatif. Dengan demikan mayoritas anggota parlemen berasal dari partai tersebut sambung Rahmat Hollyson.(Ang/Thm/Rm/GRI)






Thursday, April 20, 2017

12 HAL PENYEBAB KEKALAHAN AHOK-JAROT



12 HAL  PENYEBAB KEKALAHAN AHOK-JAROT

Walau sempat diunggulkan oleh sebahagian pihak akan menang pada putaran kedua Pilkada DKI Jakarta, pasangan Ahok-Jarok yang  mendapat dukungan mayoritas partai politik, Petahana yang disukai publik, loyalis tim sukses dan relawan, dukungan dana yang sangat kuat, dukungan media cetak dan elektronik, dan lain sebagainya, tetapi akhirnya Ahok-Jarot kalah berdasarkan hasil hitung cepat (quick count) dari hampir semua lembaga/konsultan yang melakukan hitung cepat.

Disisi lain Ahok-Jarot juga mengakui kekalahannya pada saat press confrence. Salah satu kalimat yang menarik dari pernyataan Ahok pada saat itu adalah “Kekuasaan itu tuhan yang kasih, tuhan yang ambil. Tidak ada seorangpun bisa menjabat tanpa seizin tuhan”. Artinya tanpa seizin Tuhan tidak akan ada kita umat manusia yang bisa menduduki jabatan tertentu.

Menarik untuk dicermati adalah apa yang menjadi penyebab kekalahan Ahok-Jarot dengan selisih persentase perolehan suara yang cukup besar ini, yang mencapai dua digit. Setelah ditelusuri,paling tidak patut ditenggarai terdapat 12 hal  yang menjadi penyebab kekalahan Ahok-Jarot yakni sebagai tersebut:

1.      Tipikal pemilih/pendukung agus-silvi lebih mirip dengan anis-sandi dari Ahok-Jarot, sehingga mayoritas pemilih/pendukung agus-silvi memilih anis-sandi pada putaran kedua.
2.      Munculnya dimedsos pembagian sembako yang cukup masif yang dilaksanakan oleh tim baju kotak-kotak menimbulkan rasa kurang simpati dan mengaburkan kesan “kejujuran” yang digadang-gadang dimiliki oleh Ahok.
3.      Ada beberapa kebijakan Ahok-Jarot yang dianggap oleh sebagian orang tidak pro rakyat kecil, misalnya penertiban kawasan pemukiman dengan penggusuran, reklamasi pantai utara dan lain sebagainya
4.      Gaya kepemimpinan Ahok yang tegas dan cendrung arogan menimbulkan sikap tidak simpati dari sebahagian masyarakat
5.      Perkara hukum yang membelenggu Ahok terkait dengan pernyataannya tentang surat Almaidah di Pulau seribu.
6.      Vidio kampanye Ahok-Djarot terkesan negatif dengan pihak tertentu dan diawali dengan kekerasan, berbeda dengan vidio kampanye anis-sandi yang penuh kesejukan.
7.      Adanya keinginan umat muslim untuk dipimpin oleh pemimpin muslim.
8.      Munculnya kompetitor segar dan baru yang dianggap mampu memberikan kesejukan yang karakternya sangat berbeda dengan karakter Ahok.
9.      Steven efek terhadap TGB Gubernur NTB di bandara Changi yang cukup viral, menghilangkan rasa simpati terhadap kaum tionghoa pada saat yang berdekatan dengan pilkada DKI.
10.   Pola kampanye udara yang digunakan ternyata sulit untuk mengungguli kampanye darat yang dilakukan oleh tim Anis-Sandi.
11.   Mesin partai ternyata tidak efektif untuk mendorong suara, padahal Ahok-Jarot didukung oleh koalisi gemuk dibanding Anis-Sandi
12.   Blunder-blunder yang dilakukan oleh Tim Ahok-Jarot dapat menggerus suara

Tentunya hasil penelusuran ini agar benar-benar valid perlu dilakukan pembuktian lebih lanjut dengan melakukan crosscek dengan pemilih DKI dan tim sukses Ahok-Jarot.

Semoga Bermanfaat,
Rahmat Hollyson
Direktur Riset Goverment Riset Institute (GRI)

Thursday, October 27, 2016

PNS DALAM LINGKARAN PEMILU

PNS DALAM LINGKARAN PEMILU

 Oleh : Singgih Usman Fuadi

Sistem Pemerintahan yang dijalankan di sebuah negara dapat dilihat salah satunya dari bagaimana masyarakat di negara tersebut memilih pemimpinnya. Di Indonesia yang menganut Sistem Demokrasi melaksanakan kegiatan untuk memilih pemimpin di seluruh level pemerintahan dengan menggunakan cara pemilihan langsung atau masyarakat lebih familiar dengan istilah pemilihan umum (Pemilu). Pemilihan langsung di Indonesia berbeda dengan pemilihan langsung yang dilaksanakan di negara lain walaupun sama-sama menggunakan sistem demokrasi. Sebagai contoh pelaksanaan pemilihan langsung di Indonesia dengan pemilihan langsung di Amerika. Di Indonesia, setiap orang (yang sudah dewasa secara hukum) berhak atau mempunyai satu suara untuk memilih (One Man One Vote), sedangkan di Amerika dalam melakukan pemilihan menggunakan sistem Elector dalam proses pemilihannya.

Pagelaran pemilihan langsung di seluruh daerah di Indonesia merupakan hal yang dinanti-nanti seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat menjadi sangat antusias karena kontestasi politik yang digelar untuk menentukan pemimpin secara langsung tersebut, menempatkan masyarakat tidak hanya sebagai objek tetapi juga sebagai subjek pembangunan. Masyarakat secara langsung memilih pemimpinnya yang diharapkan mampu memberikan solusi terhadap masalah-masalah yang ada di daerah. Pilihan mereka akan seseorang disimpan rapat-rapat di bilik suara dan dimasukkan ke dalam kotak suara yang telah disediakan oleh panitia pemungutan suara, hingga tiba pada proses penghitungan dan akan diketahui yang mendapatkan suara terbanyak di seluruh TPS.

Sebelumnya, para pasangan calon kepala daerah melakukan kampanye dengan memaparkan berbagai visi misi serta rencana aksi untuk memberikan gambaran kepada masyarakat pemilih akan seperti apa daerahnya apabila berada dibawah kepemimpinan mereka. Kegiatan kampanye dilakukan secara menyuluruh di berbagai wilayah untuk memaparkan “janji” apabila terpilih, atau paling tidak untuk mengenalkan pasangan calon yang mungkin dapat dikatakan masih relatif baru dan belum terlalu dikenal oleh masyarakat. Visi misi para pasangan calon banyak membuat masyarakat berdecak kagum dengan program-program yang disusun untuk mengembangkan suatu daerah. Program yang diberikan pada masa kampanye dirasakan sebagai sumber mata air di tengah padang pasir, sebagai solusi terhadap berbagai masalah yang mungkin dianggap masyarakat belum dapat terselesaikan. Namun, janji politik yang diberikan pada masa kampanye tersebut tidak serta merta dapat terwujud secara keseluruhan. Bahkan program 100 hari kerja yang dirancang sebagai bentuk program awal yang dijanjikan akan segera direalisasikan (program prioriotas) pun tidak sedikit yang luput dari target sasaran.

Dalam gegap gempitanya pesta demokrasi tersebut, ada pihak yang sebenarnya dalam bayang-bayang keresahan, harap-harap cemas siapakah yang akan menjadi pemimpin selanjutnya. Mereka adalah para Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau sekarang disebut sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berada pada situasi tersebut. Terlebih bagi mereka yang sudah menduduki sebuah jabatan, namun tidak terlepas juga bagi seluruh jajaran staf. Kondisi tersebut akan sangat lebih terasa pada tingkat pemerintah daerah yang akan menggelar pilkada, terkhusus lagi di pemerintah daerah yang petahana sudah menduduki jabatan selama 2 periode. Pasukan sakit hati akan kembali mencoba peruntungan agar dapat kembali menduduki jabatan selama masa suram dalam karirnya sebagai PNS.

PNS memang memiliki keterbatasan dalam mengikuti proses pemilihan umum baik itu untuk dipilih sebagai anggota legislatif (DPR/D) ataupun sebagai kepala daerah. PNS diwajibkan mundur dari keanggotannya sebagai PNS apabila mendaftarkan diri sebagai calon peserta pemilu. Keterbatasan tersebutlah akhirnya membuat PNS merasa enggan untuk mengikuti proses pemilu karena harus bertaruh dengan kehilangan status sebagai PNS. Hal tersebut dianggap bertentangan terhadap UUD 1945 karena adanya pembatasan hak warga negara untuk dapat memilih dan dipilih.

Namun dalam gugatan yang dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi, Majelis memberikan pertimbangan lain yang dituangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XII/2014 yang dibacakan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi tanggal 8 Juli 2015. Putusan tersebut merujuk pada Putusan MK No.  45/PUU-VIII/2010 bertanggal 1 Mei 2012 yang kemudian dirujuk dalam Putusan No.12/PUU-IX/2013 bertanggal 9 April 2013 yang menyatakan bahwa, persyaratan mundurnya PNS yang dikarenakan untuk mengikuti pemilihan jabatan publik merupakan sebuah konsekwensi yuridis dari pilihannya, karena sudah terikat dalam peraturan sistem birokrasi pemerintahan, sehingga tidak ada pelanggaran HAM ataupun pelanggaran hak konstitusional dalam konteks tersebut. Mahkamah Konstitusi lebih menekankan pada “kapan” PNS mengudurkan dari keanggoatannya apabila akan masuk dalam arena pemilihan. Aspek keadilan digunakan sebagai dasar untuk merubah waktu pengunduran diri PNS dari yang semula harus mengundurkan diri dari sejak mendaftar, dirubah menjadi mengundurkan diri pada saat telah ditetapkan secara resmi sebagai calon oleh penyelenggara pemilu.

Fungsi PNS seharusnya menjadi fokus utama dalam pembahasan mengenai proses pemilihan umum termasuk di dalamnya pemilihan kepala daerah. Fungsi tersebut sebenarnya telah tertuang dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 sebagai perekat dan pemersatu bangsa. Nilai dasar seorang ASN yang berhubungan erat dengan pelaksanaan pilkada akan merujuk pada pasal 4 huruf d yaitu dapat bekerja secara profesional dan tidak berpihak. Hal tersebut selaras dengan asas netralitas yang menjadi dasar pelaksanaan kebijakan dan manajemen ASN sebagaimana tertuang dalam pasal 2 huruf f.

Secara harfiah memang selaras antara asas netralitas dalam manajemen ASN dengan nilai dasar ASN untuk tidak berpihak. Kata Netralitas dalam referensi manapun akan merujuk pada sebuah kalimat yang diartikan untuk tidak memihak. Ketidakberpihakan ASN dalam hal ini PNS, harus selalu dijaga untuk mempertahankan fungsi hakiki nya. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS disusun untuk mengatur bagaimana PNS harus tetap bekerja secara profesional serta mempunyai kontrol yang kuat dalam menjalankan tugas negaranya. Larangan PNS untuk memberikan dukungan pada saat pelaksanaan pemilu diatur sedemikian rupa dengan cara-cara yang telah ditentukan sebagaimana tertuang dalam pasal 4 angka 12 hingga angka 15. Pelanggaran terhadap larangan tersebut dapat dikenai sanksi dari sanksi sedang berupa penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 tahun, hingga sanksi berat yang dapat berakibat pada pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri. Sehingga dapat dikatakan bahwa peraturan-peraturan tersebut mengatur PNS dapat menentukan pilihan dalam proses pemilu dengan menggunakan asas pemilu yaitu terkait kerahasiaan.

Kondisi pelaksanaan di lapangan, Netralitas PNS menjadi hal yang patut dipertanyakan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam proses pemilihan kepala daerah misalnya, banyak terdapat tim sukses yang berasal dari PNS itu sendiri, tentunya menggunakan cara yang dapat terhindar dari sanksi larangan dalam peraturan tentang disiplin PNS. Berbagai faktor kepentingan akan muncul apabila PNS sudah terkooptasi dan terbingkai dalam berbagai perbedaan pandangan serta tujuan dalam proses pemilihan umum. Perbedaan tujuan tersebut dapat mengancam eksistensi dari Korps Pegawai Negeri (Korpri) termasuk korps pegawai negeri lainnya yang digadang-gadang sebagai alat perekat dan pemersatu bangsa. Tidak jarang adu argumentasi yang berujung pada adu kekuatan fisik antar pendukung mewarnai proses tersebut. Apabila suatu organisasi atau korps pegawai negeri dalam bentuk apapun sudah tidak sepaham dan saling menjatuhkan untuk kepentingan kelompoknya, maka fungsi perekat dan pemersatu bangsa hanya sekedar simbol retorika. Jadi akan menimbulkan sebuah pertanyaan apakah Korps tersebut harus tetap ada jika tujuannya pun sudah tidak dapat dicapai ?

Netralitas harusnya dikunci dalam satu makna tidak memihak dan tidak perlu dibiaskan. Netralitas menjadi sebuah asas kepastian dan bukan menjadi sebuah Netralitas Semu. Batasan yang tegas harus diciptakan guna mendukung terciptanya profesionalitas PNS yang sejati. Larangan PNS harusnya dibuat secara tegas, apabila PNS sudah ditetapkan untuk mengundurkan diri jika mengikuti proses pemilihan, maka PNS juga SEHARUSNYA DILARANG UNTUK MEMILIH sehingga menghilangkan konflik kepentingan di dalamnya. Birokrasi akan dapat berjalan secara sehat, transparan dan akuntabel apabila pejabat di dalam birokrasi tersebut sudah lepas dari kooptasi unsur kepentingan. Dengan kata lain, akan terdapat kontrol secara internal dari masing-masing pelaksanaa kegiatan apabila unsur kepentingan tersebut tidak membayangi setiap pekerjaan yang dilakukan. Namun, apabila PNS tetap “dibiarkan” menjadi sebuah komoditas berharga dalam setiap arena pemilihan, hal tersebut dapat dikatakan bagai pungguk merindukan bulan, sehingga perlu dilakukan perubahan terhadap peraturan yang mengatur fungsi PNS dengan menghapus fungsi perekat dan pemersatu bangsa di dalamnya.

Demikian itu tidaklah menjadi sebuah pilihan arif apabila harus menghapus fungsi yang begitu mulia. Tanggung jawab yang begitu berat menyatukan seluruh wilayah Indonesia dalam bingkai persatuan harus menjadi fokus utama dengan menjamin berjalanya sistem pemerintahan yang baik. PNS ada baiknya harus diposisikan sama dengan Institusi TNI dan POLRI dalam setiap pelaksanaan pemilu, yaitu juga untuk dilarang memilih. Memang tidak akan menjadi jaminan bahwa penciptaan independensi seperti yang dimiliki TNI dan POLRI akan membebaskan unsur kepentingan yang selama ini melekat dalam tubuh PNS, yang kemudian tetap harus diikuti dengan sistem penataan jabatan secara profesional, tetapi paling tidak ada upaya satu demi satu langkah dalam menciptakan iklim pemerintahan yang lebih kondusif.

Tuesday, October 4, 2016

Polling Pilkada DKI Rasa Indonesia, Agus-Silvi Unggul Telak

Photo shelfie para kandidat Cagub dan Wacagub pada saat melaksanakan test kesehatan menjadi awal yang menyejukan dalam  kontestasi perebutan kursi DKI 1

Jakarta, Kajian Pemerintahan. 
Photo shelfie para kandidat Cagub dan Wacagub pada saat melaksanakan test kesehatan menjadi awal yang menyejukan dalam  kontestasi perebutan kursi DKI 1. Awal yang baik ini diharapkan terus menjalar kepada seluruh tim sukses dan pendukung sehingga pilkada DKI dapat berjalan dengan tertib dan aman dalam koridor saling menghormati.

Tentunya para kandidat dan tim sukses secara kontiniu berusaha “mempertontonkan” keunggulan masing-masing dan diharapkan hal tersebut dapat memberikan efek agar para pemilih mencoblos gambar mereka pada bilik suara pada hari rabu tanggal 15 februari 2017.

Survey tentang pilkada DKI sudah mulai dilakukan, dan hasilnya mulai dipublish oleh lembaga-lembaga survey dengan hasil yang beraneka ragam.

Baca Juga : Pilkada DKI Aroma RI 2, Skenario Anak Tangga Mega, SBY dan Prabowo


Kali ini dihadirkan poolling yang bertajuk “Pilkada DKI rasa Indonesia”. Polling ini dilakukan untuk mengetahui pendapat warga negara Indonesia yang tersebar dari sabang sampai merauke yang terdapat dalam  facebook saya yang friendnya berjumlah 4.080. Sedangkan yang berpartisipasi dalam polling tersebut sebanyak 176. Tentunya banyak keterbatasan dalam pooling ini sehingga dengan demikian tidak untuk menjelaskan pilkada DKI secara umum.

Para friends diminta untuk memilih salah satu kandidat pasangan gubernur dengan mengajukan pertanyaan :

“Jika Pilkada DKI rasa Indonesia dilaksanakan hari ini... Siapa pasangan pilihan Anda?
Ketik 1 untuk Anis-Sandi
Ketik 2 untuk Agus-Silvi
Ketik 3 untuk Ahok-Jarot.
Pilkada DKI rasa Indonesia....
Tak perlu memberikan alasan cukup dijawab dengan angka..
Terimakasih atas kesediaannya”

Polling yang dilaksanakan selama dua hari dari mulai hari Sabtu, tanggal 1 sd 3 Oktober 2016. Hasilnya adalah sebagai berikut :

Anis-Sandi memperoleh 17,62.% 

Agus-Silvi memperoleh 71,02 % 


Ahok-Jarot memperoleh 11,36 %

Sebagai kuda hitam dalam kontestasi perebutan kursi DKI 1, ternyata Agus-Silvi bisa unggul telak jika pilkada DKI 1 rasa Indonesia dilaksanakan hari ini. Walaupun hasil poolling dari facebook ini tidak mempresentasikan Pikada DKI yang sebenarnya, tetapi hal tersebut perlu diantisipasi dengan sungguh-sungguh oleh pasangan Ahok-Jarot dan Anis-Sandi karena perolehan suara mereka sangat jauh selisihnya dengan persentase raihan suara Agus-Silvi. Jika mereka tidak mengoptimalkan mesin politik mereka, bisa jadi hasil poolling ini bisa jadi kenyataan.

Selamat berkompetisi secara sehat dan menjaga martabat bangsa dan negara.  

Sunday, September 25, 2016

Terjun ke Politik, Agus Jadi Fenomena Baru


By. Singgih Usman Fuadi

Penantian panjang masyarakat terjawab sudah, Akhirnya Mega dengan koalisinya mengusung Ahok-Jarot, SBY dengan Koalisinya mengusung Agus Silvi dan Prabowo dengan koalisinya mengusung Anis-Sandi

Ahok dan Anis merupakan dua tokoh yang sudah sangat kita kenal. Ahok merupakan Petahana yang sangat disenangi Media, dan Anis merupakan tokoh pendidikan yang terakhir menjabat sebagai menteri pendidikan. Sementara Agus hanya dikenal sebagai Putra Sulung SBY yang merupakan perwira menengah di TNI.

Siapakah sosok AHY ?
Mengundurkan diri dengan pangkat mayor, pemuda bernama lengkap (Mayor Inf) Agus Harimurti Yudhoyono, M.Sc., M.PA, MA atau yang akrab disapa AHY ini membuat Publik Indonesia tercengang dengan munculnya nama AHY sebagai bakal calon Gubernur Provinsi DKI Jakarta Tahun 2017-2022 untuk menjadi rival dalam pertarungan pilkada serentak 2017 melawan petahana. Memang patut dikatakan publik Indonesia, bukan hanya publik Jakarta saja yang merasa tercengang dengan keputusan koalisi kekeluargaan poros cikeas yang diusung Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Sosok AHY memang sulit untuk lepas dari nama besar sang ayah yang merupakan Presiden Indonesia Ke 6, Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, menjadi anak seorang presiden bukan berarti menjadikan sosok AHY tidak mampu membuktikan bahwa dirinya dapat berprestasi dengan kemampuan yang dimilikinya. AHY merupakan lulusan terbaik dari sekolah SMA Taruna Nusantara tahun 1997 dengan menerima medali Garuda Trisakti Tarunatama Emas, sehingga membulatkan tekadnya untuk mengikuti jejak sang ayah untuk bisa memakai Pakaian Dinas Upacara Besar (PDUB) warna hijau yang merupakan PDUB TNI AD. Lulus dari Akademi Militer (AKMIL) tahun 2000 dan mendapat predikat lulusan terbaik dengan penghargaan Adhi Makayasa membuat karir AHY di dunia militer dapat dikatakan akan cemerlang. Tidak hanya pendidikan di dalam negeri, AHY membuktikan kemampuan dirinya dengan menyelesaikan pendidikan di beberapa universitas luar negeri dengan mendapatkan IPK 4,0 yaitu di George Herbert Walker School di Webster University dengan gelar MA in Leadership and Management dan Command and General Staff College (CGSC) di Fort Leaveworth, Kansas, Amerika Serikat (Pendidikan Militer setingkat sekolah staf komando angkatan darat). Selain itu, sebelumnya AHY juga mendapatkan predikat sangat memuaskan pada studi Master Strategic Studies di Institute Of Defence and Strategic Studies Nanyang Technological University Singapura dan Master of Public Administration , John Kennedy School of Government.

Jabatan di dunia militer juga telah didudukinya hingga AHY berpangkat mayor. Berbagai kegiatan kemiliteran mulai dari pelaksanaan dinas militer di dalam negeri maupun penugasan militer di luar negeri seringkali dipublikasikan melalui akun media sosial dirinya yang membuat banyak orang merasa terkesima dan bahkan dapat dikatakan terinspirasi oleh sosok AHY. Faktor tersebutlah yang diyakini membuat masyarakat menyayangkan pengunduran dirinya dan menganggap bahwa keikutsertaannya dalam kontes politik Indonesia “terlalu dini”.

Siapakah Sosok Pendamping AHY ?

AHY maju dalam pertarungan pilkada tahun 2017 dipasangkan dengan Sylviana Murni. Bernama lengkap Prof. Dr. Hj. Sylviana Murni, SH., M.Si., Sylviana merupakan seorang birokrat yang tidak asing dengan dunia politik. Berkiprah sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai staf dan pada akhirnya sebelum maju pilkada 2017 menjabat sebagai Deputi Gubernur Bidang Pariwisata dan Kebudayaan membuktikan bahwa sosok Sylviana dipandang mempunyai kapabilitas untuk bersama-sama membangun DKI Jakarta bersama AHY. Prestasi Sylviana yang sangat dirasakan oleh masyarakat Jakarta adalah Pelayanan Terpada Malam Hari (PTMH) yang menyediakan 23 layanan bagi masyarakat. Terobosan tersebut dilakukan sewaktu Sylviana menjabat sebagai Walikota Jakarta Pusat tahun 2008-2013. Di tengah aktivitasnya sebagai seorang PNS, Sylviana juga pernah terjun ke dunia politik dengan mengambil cuti pada saat menjadi anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta dari Partai Golkar tahun 1997-1999. Hal tersebut tentunya memberikan keuntungan bagi Sylviana sebagai modal untuk bertarung karena tidak hanya paham birokrasi di Provinsi DKI Jakarta pada sisi eksekutif, namun juga pada sisi legislatif.
Berpasangan dengan AHY, menjadikan pasangan ini mempunyai keunikan dan cukup menarik untuk mewakili masyarakat Jakarta. Perpaduan Laki-laki dan Wanita, Jawa-Betawi, Tua-Muda, dan Sipil-Militer menjadi paket lengkap yang diharapkan mampu bersaing dan memenangkan Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017. Keduanya memang tidak diduga-duga akan menjadi satu pasangan calon, mengingat bahwa AHY masih aktif di dunia militer dan Sylviana sebelumnya dikabarkan akan berpasangan dengan Bakal Calon Gubernur dari Partai Gerindra, Sandiaga Uno.

Peta kekuatan
Melihat pada kontestasi politik, seluruh bakal calon gubernur dan wakil gubernur sama-sama belum pernah memenangkan kontes pemilihan kepala daerah, kecuali petahana Basuki Tjahaya Purnama yang pada tahun 2012 terpilih sebagai Wakil Gubernur mendampingi Joko Widodo, sehingga asumsi masyarakat pada umumnya bahwa kemenangan pasangan Jokowi-Ahok pada waktu itu karena figur Jokowi. Apabila dilihat pada komposisi partai pendukung, pasangan Ahok-Djarot mempunyai kekuatan kursi DPRD paling besar yaitu 52 Kursi dengan dukungan dari PDI-P, Hanura, Golkar, dan Nasdem; diikuti pasangan AHY-Sylviana dengan 28 Kursi yang diusung oleh Demokrat, PAN, PPP, dan PKB; dan pasangan Anies-Sandi dengan 26 Kursi DPRD yang diusung oleh Gerindra dan PKS. Apabila kita melihat lagi jumlah pemilih pada Pemilu Legislatif tahun 2012, tentu jumlah pemilih untuk partai pengusung Ahok-Djarot jauh lebih besar dibanding pasangan lain dengan jumlah pendukung lebih dari 2 juta pemilih, jauh meninggalkan lawannya pengusung AHY-Sylvina dan Anies-Sandi yang berada pada angkat 1 juta pemilih.

Namun, psikologis masyarakat pemilih pada saat ini cenderung masih melihat pada seorang figur ataupun pada seorang sosok. Tingginya elektabilitas partai pada proses pemilu sebelumnya tidak dapat menjadi pacuan akan tinggi juganya elektabilitas pasangan yang diusung. Contoh yang sangat nyata dapat dilihat adalah pada proses pemilu presiden secara langsung. Tiga periode presiden dari tahun 2004 hingga saat ini masih diisi oleh seorang figur dan masyarakat tidak melihat partai pengusung. Koalisi kekeluargaan poros cikeas melihat ada kesempatan untuk dapat mengambil hati pemilih di DKI jakarta dengan menghadirkan sosok baru yang sudah menjadi idola masyarakat ditengah kebuntuan menemukan sosok untuk dapat menandingi petahana.

Masih Dini Kah ?
Setelah resmi diumumkan, banyak kalangan menyayangkan karir AHY di dunia militer. Bahkan tidak sedikit yang mencibir bahwa AHY masih terlalu dini dan belum berpengalaman berpolitik serta banyak yang berkomentar bahwa AHY dikorbankan SBY untuk memenuhi ambisi kekuasaannya.

Rasanya begitu naif apabila SBY tanpa perhitungan yang matang, ataupun hanya untuk memenuhi ambisi kekuasaan sang ayah, akan dengan mudah meng”iya”kan tawaran untuk maju bertarung. AHY yang sudah memiliki segudang prestasi di dunianya dengan rekam jejak prestasi yang cemerlang,terlebih dengan pengorbanan berat yang harus dia bayar, tentu AHY akan begitu kuat meyakinkan sang ayah apabila memang benar hanya demi kekuasaan semata, masyarakat pasti dapat melihat dan menilai dengan jernih bahwa AHY tidak sebodoh yang dipikirkan.

Terlalu dini dan belum berpengalaman politik lah yang kemudian menjadi senjata ampuh untuk menyerang AHY. Tidak ada indikator pasti bahwa “masih terlalu dini” atau “ini sudah saatnya”, permasalahan utama dalam pengalaman kerja bukanlah pada lama tidaknya seseorang, tetapi ada pada tingkat penguasaan serta keterampilan seseorang. Waktu hanya sebagai salah satu indikator tetapi tingkat pengetahuan dan keterampilan lah yang seharusnya dibuktikan. Ironis dapat dikatakan tatkala semua orang berbicara, “Berikanlah kesempatan kepada anak muda”, tetapi mereka sendiri yang berteriak menolak. Banyak anak muda yang sudah sukses menjadi seorang kepala daerah yang semula memang diragukan kemampuannya dalam memimpin sebut saja Gubernur Lampung M. Ridho Ficardo yang dilantik menjadi Gubernur pada usia 33 Tahun; Gubernur Jambi Zumi Zola dan Gubernur Nusa Tenggara Barat M. Zainul Majdi yang dilantik pada usia 36 Tahun, terlebih dengan zona nyaman DKI Jakarta yang sebelumnya selalu dipimpin oleh seseorang dari latar belakang TNI dengan paling tidak memiliki bintang di bahu nya. Sepertin masih belum mengikhlaskan estafet kepemimpinan beralih ke anak muda.

Kepemilikan AHY akan figur seseorang pemimpin sudah pasti tidak perlu diragukan lagi. AHY bertanggung jawab, sudah pasti semua orang akan setuju bahwa sosok AHY bukanlah orang yang akan dengan mudah menyalahkan orang lain dalam setiap masalah pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. AHY adalah orang yang tegas, tentu dengan latar belakang TNI yang dimiliki tidak perlu diragukan lagi. Persepsi masyarakat sekarang masih terkotak bahwa tegas selalu identik dengan cara berbicara yang keras dan kasar, terlebih dengan kondisi masyarakat DKI yang sangat kompleks. Seorang pemimpin harus memiliki manajemen konflik yang bagus dan menjaga hubungan baik pada semua lini dalam birokrasi. Etika pemerintahan patut dijaga dengan baik tanpa harus mempertontonkan kegaduhan politik dalam pemerintahan. Pengalaman berpolitik tentu seperti sudah dikatakan sebelumnya banyak orang meragukan. Melihat sosok AHY dengan prestasi yang dimiliki serta rekam jejaknya yang pernah berada di lingkungan istana, kita semua akan yakin bahwa kemampuan AHY dalam politik dan pemerintahan tidak dapat kita sepelekan, terlebih dengan statement banyak pihak bagaimana rekam jejak prestasi dan kemampuan AHY belum ada yang menandingi.

Kubu pengusung tentunya sudah melihat sisi positif dan negatif apabila mengusung AHY, sehingga ditunjuklah Sylviana yang notabene birokrat dengan pengalaman dan prestasi yang mumpuni akan mampu mendukung kepemimpinan yang dimiliki AHY. Menjadi pekerjaan rumah partai pengusung untuk memperkenalkan dua sosok ini kepada masyarakat Jakarta dan meyakinkan masyarakat Jakarta dengan slogan Jakarta Untuk Rakyat.

Kita semua harus dapat berpikir positif bahwa mengambil keputusan berat untuk keluar dari zona nyaman merupakan sebuah langkah awal meniti kesuksesan. Menjadi seorang abdi negara dan mengabdi untuk masyarakat, negara, dan bangsa tidak mengenal batas waktu dan juga tidak mengenal wilayah penugasan. Bergantinya AHY dari Pakaian Dinas Upacara Besar (PDUB) warna hijau menjadi Pakaian Dinas Upacara Besar (PDUB) warna putih tidak akan menyurutkan kecintaan AHY pada almamater dan menyurutkan kecintaan pada tanah air dan bangsa. Justru saat inilah AHY merasa terpanggil untuk memberikan pengabdian kepada bangsa dan negara agar wajah Ibukota dapat menjadi cerminan masyarakat dunia tentang kepeminpinan dan etika pemerintahan sebenarnya.

Pilkada DKI Aroma RI 2, Skenario Anak Tangga Mega, SBY dan Prabowo


Pilkada DKI menjadi sangat menarik disaat petinggi-petinggi parpol besar turun gunung untuk memberikan dukungan kepada calon kepala daerah yang mereka usung. Megawati dengan PDIPnya tidak hanya menformulasikan pasangan Ahok-Jarot tetapi ikut terjun langsung mengantar pasangan Ahok-Jarot ke KPUD DKI pada saat pendaftaran.

Kemudian kita lihat juga “Koalisi cikeas” mengusung AHY-Silvi sebagai calon kepala daerah. Pencalonan AHY-Silvi di skenariokan oleh tokoh besar mantan Presiden RI SBY. SBY turun tangan langsung dan mempunyai peran besar dalam pengambilan keputusan pencalonan AHY-Silvi.

dan kemudian Prabowo Subianto melalui gerindra dan PKS mengusung Anis-Sandi. Pencalonan Anis-Sandi tentunya menjadi hal yang menarik karena Anis-Sandi bukanlah kader partai Gerindra atau PKS. Disisi lain, terkebih dahulu sudah disampaikan bahwa Sandi akan dipasangkan dengan Mardani. Melihat perubahan tersebut maka dapat menjelaskan kepada kita semua, inilah yang dinamakan dengan dunia politik, penuh dengan strategi, kepastiannya berada pada ujung proses.

Skenario Anak Tangga Pilkada DKI
 Jika kita cermati bahwa pencalonan Ahok-Jarot, AHY-Silvi dan Anis-Sandi mempunyai satu pola garis kesamaan yakni apa yang saya disebut dengan “scenario anak tangga” pilkada DKI.

Ahok-Jarot scenario anak tangganya adalah menyiapkan Jarot sebagai Gubernur DKI 2019, menguasai Jawa Timur dengan menjagokan Risma sehingga tidak perlu diterjunkan ke DKI walaupun elektabilitasnya telah melewati Ahok, serta menyiapkan pasangan Jokowi-Ahok untuk RI 1 dan RI2. Skenario anak tangga yang di gawangi oleh Megawati dengan  PDIP ini menjadi langkah strategis disaat PDIP memenangkan kursi DPRD DKI dan didukung oleh kader-kader yang bagus pada saat ini misalnya sebut saja Risma  dan lain sebagainya.

Anis-Sandi scenario anak tangganya adalah jika menang pilkada DKI maka besar peluang untuk menyandingkan Prabowo-Anis untuk RI 1 dan RI 2 dan menyerahkan estafet kepemimpinan DKI kepada Sandiaga Uno. Pemilihan Anis tentunya tidak mulus dan tidak mudah bagi Prabowo untuk memutuskannya karena perlu kita ingat Anis pernah bersebrangan dengan Prabowo pada pilpres lalu disaat Anis mendukung pasangan Jokowi-JK.

Agus-Silvi scenario anak tangganya adalah menyiapkan agus sebagai pengganti SBY di kepemimpinan partai Demokrat. Selain itu tentunya Pilkada DKI ini adalah moment yang tepat untuk Agus terjun kedunia politik. Momentum pilkada DKI akan mampu meningkatkan popularitas dan elektabilitas Agus secara signifikan. Hal akan berbeda jika agus terjun kepolitik pada saat tidak ada momentum khusus. Jika Agus mampu bersaing dan memenangkan DKI 1, tentunya pada tahun 2019 telah menunggu Agus untuk menjadi RI 1 atau RI 2. Artinya pengorbanan untuk meningkalkan dunia meliter sudah dipertimbangkan dengan matang oleh SBY dan Demokrat sebagai pengambil keputusan. Untuk meraih suatu yang besar, pengorbanannya juga besar.

Terlihat bahwa dari ketiga pasangan calon kepala daerah diatas, tiga partai besar menjalankan scenario anak tangga dengan melihat peluang pada pilpres 2019.  Tiga tokoh yang akan mengambil peran penting pada pilpres yang akan datang yakni Megawati, SBY dan Prabowo sudah mengatur langkah dan strategi dengan menjadi pilkada DKI sebagai batu loncatan untuk pilpres yang tidak akan lama lagi.

Dengan demikian makanya sangat wajar scenario anak tangga yang dimainkan oleh ke tiga tokoh ini menjadikan pilkada DKI sebagai wujud dari  Pilgub DKI rasa Pilpres 2019.

 #Rahmat Hollyson
#Skenario Anak Tangga
#Pilkada DKI




Ad Placement