Refleksi di Makam Tuanku Imam Bonjol - Kajian Pemerintahan

Thursday, March 31, 2016

Refleksi di Makam Tuanku Imam Bonjol

(Manado). Rasa korsa yang diajarkan puluhan tahun lalu oleh senior dan pengasuh dilembah manglayang, tetap terpilihara baik. Kedatangaan teman satu perjuangan waktu pendidikan di STPDN ke Hotel menjadi salah satu bukti bahwa lembah manglayang telah berhasil membentuk jiwa korsa, rasa kebersamaan sesama alumni, meskipun telah dipisahkan oleh lautan dan waktu puluhan tahun tidak mampu melunturkan rasa persaudaraan sesama alumni.

Satu hal yang menarik dari perjalanan ke Manado kali ini adalah saran yang diberikan oleh sang sahabat yang  juga merupakan salah satu camat di Kota Manado yang membuat saya sedikit terkejut
 
“sudah jalan kemana saja?” tanya pak Camat
“Belum, kemana-kemana, baru ke jembatan Sukarno” jawabku singkat
“kapan kesananya?”tanyanya lagi
“olah raga pagi tadi” jawabku
“Trus rencananya mau jalan kemana lagi” tanya pak camat
“rencananya sih ke bunaken”
“kebunakennya ntar aja, kita ke makam Tuanku Imam Bonjol dulu”

Inilah sekelumit pembicaraan yang bagi saya cukup menarik, karena penghargaan pak camat terhadap nilai-nilai perjuangan pahlawan bangsa menjadi suatu yang mulai jarang diperbincangkan oleh putra-putri bangsa ini. Zaman sekarang ini kita lebih senang berbicara tentang wisata alam, wisata kuliner dan lain sebagainya. Tetapi sebagai seorang kepala wilayah, pak camat masih ingat dengan sang pahlawan walaupun sebenarnya makam tuanku Imam Bonjol berada di luar kota Manado, Desa Lotak tempat Makam Tuanku Imam Bonjol sudah masuk wilayah Kabupaten Minahasa

Sekulumit Perjuangan Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol terlahir dengan nama Muhhammad Shahab pada tahun 1772 dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun di Bonjol Sumatera Barat. Perbedaan pemahaman yang terjadi antara kaum Paderi dan Kaum Adat menjadi awal sengketa bagi kedua kaum di Sumatera Barat itu. Himbauan kaum paderi agar meninggalkan kebiasaan berjudi, minum-minuman keras, meninggalkan sholat tidak diindahkan oleh kaum adat.

Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri  dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu.

Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk mengalahkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek. (Sumber : http://www.biografipedia.com)

Ditengah perjalanan kaum adat menyadari bahwa melibatkan pihak Belanda merupakan suatu kesalahan besar, oleh karena itu pada tahun 1833 kaum adat bergabung dengan kaum paderi untuk sama mengangkat senjata melawan bangsa Belanda.

Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak (Adat berdasarkan agama).
Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon
(Sumber : http://www.biografipedia.com)

Setelah melalui perperangan yang begitu dasyat dan melelahkan, pada tahun 1837 tuanku Imam Bonjol di undang oleh Belanda untuk bernegosiasi di Palupuh. Tipu muslihat dan  sifat curang bangsa Belanda pada saat itu dijadikan senjata terakhir untuk menangkap tuanku Imam Bonjol. Setelah ditangkap, tuanku Imam Bonjol kemudian di buang ke Cianjur, dipindahkan ke Ambon dan terakhir ke Lotak  di Minahasa, Disinilah pada tanggal 8 November 1864 beliau meniupkan nafas terakhir.
Makam Tuanku Imam Bonjol (Minahasa, 29 Maret 2016)
Perjalanan dari Kota Manado Ke Lotak, Minahasa  ditempuh dalam waktu tidak begitu lama, sampai dimakam sekitar pukul 18.30 WITA. Suasana begitu gelap tampa penerangan lampu yang memadai, sedangkan dimakam, tidak ada penerangan sama sekali. Bermodalkan penerangan senter dari 2 buah HP, membuat suasana menjadi sedikit lebih terang.
Duduk bersimpuh  disamping makam menyampaikan surat alfatiha, kemudian berdoa kehadirat Illahi agar para pemimpin bangsa ini dan kita semua dapat mengingat bagaimana para pahlawan Nasioal berjuang berkorban harta, tenaga, keluarga dan nyawa untuk kehormatan dan kedaulatan. Dan semestinya disaat sudah merdeka seperti sekarang  ini perjuangan kita harus mampu mengedepankan kepentingan bangsa dan Negara diatas kepentingan partai politik, golongan apalagi kepentingan pribadi. (Manado, 30 Maret 2015/RHM)
 

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda