DEMOKRASI DAN DEMOKRATISASI DI TENGAH KRISIS EKONOMI - Kajian Pemerintahan

Thursday, April 14, 2016

DEMOKRASI DAN DEMOKRATISASI DI TENGAH KRISIS EKONOMI

Prof. M. Ryaas Rasyid Pengantar Saya memulai dengan suatu respek bahwa di akhir abad ke 20, sekitar tahun 1990-an itu terbit sebuah buku yang sangat kontroversial walaupun sekarang sudah sering terlupakan, yang ditulis oleh Frankis Fukuyama judulnya The End Of History and the Last Man yang intinya adalah suatu formula konseptual menempatkan liberal demokrasi sebagai puncak peradaban politik yang hampir menyimpulkan bahwa tidak akan ada lagi suatu sistem yang lebih baik dari demokrasi sampai akhir jaman karena itu judulnya the man ofiicer, dan dia menyimpulkan juga bahwa semua negara akan bergerak menuju deliberal democracy, semua akan menjadikan itu sebagai tujuan akhir, sehingga perbedaan satu negara dengan negara yang lain dalam pencapaiannya tergantung pada kondisi obyektif di masing-masing negara tetapi kesepakatan ini adalah sesuatu yang mutlak, saya katakan ini kontrovesial karena sebagai reaksi dari buku ini lahir ratusan artikel di seluruh dunia, bahkan beberapa buku belakangan juga muncul hanya untuk membantah dan mengritik buku ini. Tetapi kita tidak akan masuk perdebatan apakah ini suatu konklusi ilmu politik yang benar atau tidak, melalui tulisan ini, penulis hanya ingin menjadikan suatu referensi saja, bahwa ada suatu masa di akhir abad ke 21 karena perasaan yang sangat senang setelah berakhirnya perang dunia ke II perasaan yang katakanlah eforia tentang superioritas dari sistem Amerika sehingga menggiring seorang Fransis Fukuyama pada suatu keyakinan bahwa semua akan berusaha meng-copy sistem Amerika, saya kira tidak dirasakan oleh beberapa negara di luar Eropa mengenai superioritas dari sistem Amerika itu, bahwa berakhirnya perang dunia dingin secara otomatis melahirkan demokratisasi bahkan dalam beberapa kasus kita melihat ada sejumlah peristiwa yang sangat romantik dan sangat disesalkan dengan bergelimpangan korban-korban di wilayah Balkan itu tidak mengurangi keyakinan bahwa demokrasi adalah puncak peradaban yang mau atau tidak mau, setuju atau tidak setuju semua negara akan menghadap ke sana tentu saja ini bisa diperdebatkan, tetapi argumen pokok dari konsep ini atau keyakinan ini adalah terbukti bahwa semua alternatif sistem politik di luar demokrasi rontok pada akhir abad ke 20, kecuali China, dan ini juga merupakan suatu bantahan terhadap tesis Francis Fukuyama kalau misalnya dalam 10 tahun ke depan China tetap bertahan tanpa demokrasi. Kita masih harus mengamati dulu apakah China masih terus bertahan tanpa demokrasi di tengah kemajuan yang terus diraih, apakah dia akan terus membiarkan rakyat berada di luar pagar kekuasaan yang tidak dikontrol oleh popular vote. Bagaimana kecenderungan di China, tetapi para pengamat ekonomi yang paling top sekalipun itu hampir sepakat bahwa dalam sepuluh tahun ke depan kalau perkembangan China seperti sekarang tidak tertahankan China setuju atau tidak setuju akan menjadi kekuatan ekonomi nomor satu di dunia, melampaui semua negara-negara lain di abad ke-20 dianggap sebagai superior ekonomi. Tahun 2008, Farid Zakaria juga menulis buku yang judulnya The Post American Word yang berisi kekhawatiran Amerika terhadap kemajuan yang begitu pesat dialami di China dan India. Akibat kemajuan Negara itu, maka kedepan Amerika hanya unggul pada kekuatan militer. Sementara kekuatan teknologi, ekonomi, bahkan sektor jasa pun telah menjadi sangat kuat di China dan India. Kalau Amerika Serikat saja menyadari mengenai kemajuan China dan India dan membuat mereka khawatir, mengapa Indonesia tidak muncul kekhawatiran dengan kemajuan China dan India. Ironisnya, perasaan itu terkesan tidak ada. Indonesia menjadi bangsa yang paling optimis, ditengah majunya beberapa Negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Ilusi tentang liberal dan demokrasi sebagai alternatif terhadap otoritarianisme memang mengalami distorsi dalam prakteknya, ketika komunialisme sudah mewarnai proses demokratisasi, komunialisme kemenangan kaum Suni di Irak misalnya saja, atau kemenangan Hamas di Palestina, itu semua tidak diharapkan oleh Amerika, bahkan kemenangan partai Islam di Aljazair itu juga tidak diharapkan oleh Amerika, itu terjadi karena satu faktor yang menyimpang dari teoiri demokratisasi yaitu komunalisme yang kemudian menjadi motivasi masuk ke dalam pemilihan, itu juga terjadi di sini, ketika orang pergi memilih kepala daerah, presiden, partai politik berdasarkan acuan-acuan kesukuan, keagamaan, ikatan-ikatan primordial dan lain-lain itu adalah bentuk-bentuk komunialisme yang sesungguhnya tidak metc dengan prinsip demokrasi, saya kira perlu melakukan refresi malam ini, bahwa sesungguhnya demokrasi itu berbasis individualisme, ketika anda masuk ke kotak-kotak pemilihan, ke bilik-bilik pemilihan sesungguhnya anda masuk sebagai seorang pribadi, bukan perwakilan sebagai suatu suku atau suatu agama, itu teorinya begitu, kenapa individualisme, karena itu memang adalah ciri dimana demokrasi itu tumbuh, ciri dari suatu masyarakat individualistik, pilihan itu adalah pilihan pribadi, individualisme adalah filosofi yang menjadi fundamen dari demokrasi, maka ketika komunialisme member warna dan perilaku politik demokrasi, demokrasi mengalami distorsi, karena ini adalah individualisme, maka persyaratan demokrasi menurut buku-buku teori yang sering kita baca dan itu tidak pernah berubah sampai hari ini demokrasi mensyaratkan dua hal. Pertama adalah kecerdasan minimum, yang kedua adalah kesejahteraan minimum. Karena demokrasi adalah sebuah peradaban, maka tidak semua negara bisa sekonyong-konyong loncat pada suatu situasi demokratis seperti yang diidealkan dalam buku-buku atau dalam teori-teori, ia merupakan suatu basis intelektualisme, suatu basis kesejahetraan yang cukup, mengapa ini dibentuk. Karena tanpa kecerdasan yang cukup individu yang memilih itu tidak mungkin bisa membedakan antara pemimpin yang baik dan pemimpin yang buruk yang dipilih itu, tidak mungkin bisa membedakan antara kebijaksanaan yang baik dan yang buruk di antara pilihan-pilihan yang ada. Demokrasi itu adalah memilih pemimpin dan memilih kebijaksanaan. Ketika demokrasi dipraktekkan tanpa kesejahteraan yang cukup dan kecerdasan yang cukup, dia mengalami distorsi, terjadilah transaksi-transaksi jual beli kedaulatan, terjadilah manipulasi-manipulasi informasi, berbagai media memanfaatkan dan manipulasi kelemahan-kelemahan dari kecerdasan itu, demokrasi mengalami distorsi (bersambung.......)
1 2 3

Bagikan artikel ini

1 comment

  1. Ini menjdi salah satu fundamen akademik yg kuat tentang mengapa pilihan mekanisme demokrasi kita lbh ideal scra tak langsung (indirect system)..

    ReplyDelete