Prof. M. Ryaas Rasyid
Pengantar
Saya memulai dengan suatu respek bahwa di akhir abad ke 20, sekitar tahun 1990-an itu terbit sebuah buku yang sangat kontroversial walaupun sekarang sudah sering terlupakan, yang ditulis oleh Frankis Fukuyama judulnya
The End Of History and the Last Man yang intinya adalah suatu formula konseptual menempatkan liberal demokrasi sebagai puncak peradaban politik yang hampir menyimpulkan bahwa tidak akan ada lagi suatu sistem yang lebih baik dari demokrasi sampai akhir jaman karena itu judulnya the man ofiicer, dan dia menyimpulkan juga bahwa semua negara akan bergerak menuju deliberal democracy, semua akan menjadikan itu sebagai tujuan akhir, sehingga perbedaan satu negara dengan negara yang lain dalam pencapaiannya tergantung pada kondisi obyektif di masing-masing negara tetapi kesepakatan ini adalah sesuatu yang mutlak, saya katakan ini kontrovesial karena sebagai reaksi dari buku ini lahir ratusan artikel di seluruh dunia, bahkan beberapa buku belakangan juga muncul hanya untuk membantah dan mengritik buku ini. Tetapi kita tidak akan masuk perdebatan apakah ini suatu konklusi ilmu politik yang benar atau tidak, melalui tulisan ini, penulis hanya ingin menjadikan suatu referensi saja, bahwa ada suatu masa di akhir abad ke 21 karena perasaan yang sangat senang setelah berakhirnya perang dunia ke II perasaan yang katakanlah eforia tentang superioritas dari sistem Amerika sehingga menggiring seorang Fransis Fukuyama pada suatu keyakinan bahwa semua akan berusaha meng-copy sistem Amerika, saya kira tidak dirasakan oleh beberapa negara di luar Eropa mengenai superioritas dari sistem Amerika itu, bahwa berakhirnya perang dunia dingin secara otomatis melahirkan demokratisasi bahkan dalam beberapa kasus kita melihat ada sejumlah peristiwa yang sangat romantik dan sangat disesalkan dengan bergelimpangan korban-korban di wilayah Balkan itu tidak mengurangi keyakinan bahwa demokrasi adalah puncak peradaban yang mau atau tidak mau, setuju atau tidak setuju semua negara akan menghadap ke sana tentu saja ini bisa diperdebatkan, tetapi argumen pokok dari konsep ini atau keyakinan ini adalah terbukti bahwa semua alternatif sistem politik di luar demokrasi rontok pada akhir abad ke 20, kecuali China, dan ini juga merupakan suatu bantahan terhadap tesis Francis Fukuyama kalau misalnya dalam 10 tahun ke depan China tetap bertahan tanpa demokrasi. Kita masih harus mengamati dulu apakah China masih terus bertahan tanpa demokrasi di tengah kemajuan yang terus diraih, apakah dia akan terus membiarkan rakyat berada di luar pagar kekuasaan yang tidak dikontrol oleh popular vote. Bagaimana kecenderungan di China, tetapi para pengamat ekonomi yang paling top sekalipun itu hampir sepakat bahwa dalam sepuluh tahun ke depan kalau perkembangan China seperti sekarang tidak tertahankan China setuju atau tidak setuju akan menjadi kekuatan ekonomi nomor satu di dunia, melampaui semua negara-negara lain di abad ke-20 dianggap sebagai superior ekonomi.
Tahun 2008, Farid Zakaria juga menulis buku yang judulnya The Post American Word yang berisi kekhawatiran Amerika terhadap kemajuan yang begitu pesat dialami di China dan India. Akibat kemajuan Negara itu, maka kedepan Amerika hanya unggul pada kekuatan militer. Sementara kekuatan teknologi, ekonomi, bahkan sektor jasa pun telah menjadi sangat kuat di China dan India. Kalau Amerika Serikat saja menyadari mengenai kemajuan China dan India dan membuat mereka khawatir, mengapa Indonesia tidak muncul kekhawatiran dengan kemajuan China dan India. Ironisnya, perasaan itu terkesan tidak ada. Indonesia menjadi bangsa yang paling optimis, ditengah majunya beberapa Negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Ilusi tentang liberal dan demokrasi sebagai alternatif terhadap otoritarianisme memang mengalami distorsi dalam prakteknya, ketika komunialisme sudah mewarnai proses demokratisasi, komunialisme kemenangan kaum Suni di Irak misalnya saja, atau kemenangan Hamas di Palestina, itu semua tidak diharapkan oleh Amerika, bahkan kemenangan partai Islam di Aljazair itu juga tidak diharapkan oleh Amerika, itu terjadi karena satu faktor yang menyimpang dari teoiri demokratisasi yaitu komunalisme yang kemudian menjadi motivasi masuk ke dalam pemilihan, itu juga terjadi di sini, ketika orang pergi memilih kepala daerah, presiden, partai politik berdasarkan acuan-acuan kesukuan, keagamaan, ikatan-ikatan primordial dan lain-lain itu adalah bentuk-bentuk komunialisme yang sesungguhnya tidak metc dengan prinsip demokrasi, saya kira perlu melakukan refresi malam ini, bahwa sesungguhnya demokrasi itu berbasis individualisme, ketika anda masuk ke kotak-kotak pemilihan, ke bilik-bilik pemilihan sesungguhnya anda masuk sebagai seorang pribadi, bukan perwakilan sebagai suatu suku atau suatu agama, itu teorinya begitu, kenapa individualisme, karena itu memang adalah ciri dimana demokrasi itu tumbuh, ciri dari suatu masyarakat individualistik, pilihan itu adalah pilihan pribadi, individualisme adalah filosofi yang menjadi fundamen dari demokrasi, maka ketika komunialisme member warna dan perilaku politik demokrasi, demokrasi mengalami distorsi, karena ini adalah individualisme, maka persyaratan demokrasi menurut buku-buku teori yang sering kita baca dan itu tidak pernah berubah sampai hari ini demokrasi mensyaratkan dua hal. Pertama adalah kecerdasan minimum, yang kedua adalah kesejahteraan minimum. Karena demokrasi adalah sebuah peradaban, maka tidak semua negara bisa sekonyong-konyong loncat pada suatu situasi demokratis seperti yang diidealkan dalam buku-buku atau dalam teori-teori, ia merupakan suatu basis intelektualisme, suatu basis kesejahetraan yang cukup, mengapa ini dibentuk. Karena tanpa kecerdasan yang cukup individu yang memilih itu tidak mungkin bisa membedakan antara pemimpin yang baik dan pemimpin yang buruk yang dipilih itu, tidak mungkin bisa membedakan antara kebijaksanaan yang baik dan yang buruk di antara pilihan-pilihan yang ada. Demokrasi itu adalah memilih pemimpin dan memilih kebijaksanaan. Ketika demokrasi dipraktekkan tanpa kesejahteraan yang cukup dan kecerdasan yang cukup, dia mengalami distorsi, terjadilah transaksi-transaksi jual beli kedaulatan, terjadilah manipulasi-manipulasi informasi, berbagai media memanfaatkan dan manipulasi kelemahan-kelemahan dari kecerdasan itu, demokrasi mengalami distorsi (bersambung.......)
(Bagian 2)
Menilai Demokrasi Amerika
Sekarang Indonesia telah 18 tahun menjalankan reformasi, seharusnya reformasi sudah tuntas sejak tahun 2014 yang lalu. Lima belas tahun dipandang sebagai waktu yang cukup untuk mewujudkan perbaikan. Namun hingga sekarang, kita masih sibuk mencari-cari bentuk. SBY pernah mengatakan bahwa sistem demokrasi perlu di review, artinya presiden melihat dan mengoreksi sistem demokrasi yang kita praktekkan. Demokrasi macam apa sebenarnya yang kita perlukan, demokrasi macam apa sebenarnya yang bisa membuat kita pada kesejahteraan, karena demokrasi ikhwal kesejahteraan, meski terdapat perdebatan, apakah demokrasi mensyaratkan kesejahteraan atau berdemokrasi yang melahirkan kesejahteraan. Pihak yang sangat mencintai demokrasi mengatakan bahwa berdemokrasi itu miskin pun tidak apa-apa nanti dari demokrasi kita akan sejahtera. Di Amerika sendiri merasa bahwa demokrasi itu harus sejahtera dulu, keliru besar orang memahami sejarah Amerika yang menganggap dari awal Amerika sudah demokratis itu keliru besar, perlu dicatat bahwa perempuan kulit hitam dengan pendidikan rendah baru bisa ikut memilih sekitar tahun 1968. Jadi 1776 Amerika merdeka, 1968 baru mereka bisa ikut memilih. Di awal proses demokrasi di Amerika itu yang bisa memilih hanya mereka yang kulit putih, berpendidikan, punya pekerjaan, laki-laki bukan perempuan. Indonesia tahun 1955 semua bisa memilih, bahkan yang lebih dahsat lagi satu-satunya di dunia dengan umur 17 tahun atau sudah pernah kawin, di Indonesia pada waktu itu ada orang kawin umur 12 tahun, jadi perekawinan itu adalah simbol kedewasaan bisa memilih. Jadi democratic development itu sebenarnya gradual, cuma kita ini senang yang sekonyong-konyong, sama dengan demokrasi kita tahun 1999, dibuka semua krannya akhirnya bingung sendiri, karena kita tidak punya father of democracy, kita tidak punya stuntmen yang bisa memberi guiden bagaimana pentahapan-pentahapan itu harus dilakukan, persyaratan-persyaratan apa yang harus kita penuhi untuk mempraktekkan sesuatu. Memang, kita harus mengakui bahwa ini adalah suatu terobosan, sebenarnya s.d tahun 1999 atau bahkan sampai sekarang tingkat pendidikan rata-rata orang Indonesia itu + 50% masih SD, tamat atau tidak tamat. Pengangguran cukup besar, kemiskinan bisa diperdebatkan, kalau menurut angka statistik BPS kira-kira 30-an juta, kalau menggunakan institusinya bu Sri Mulyani kira-kira 100 juta. Jadi kemiskinan cukup besar, pengangguran lumayan, bikin demokrasi. Ini hal yang bisa dianggap sebagai terobosan sekaligus satu langkah yang sangat berani. Pertanyaannya adalah siapkah kita menerima konsekuensi-konsekuensi dari pengambilan sikap yang seperti itu.
Sejak tahun 1998 kita deklarasikan reformasi sampai hari ini tolong dihitung sudah berapa orang mati karena tindak kekerasan. Di Maluku, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Poso saja sudah berapa, Papua, belum tindakan lain yang mematikan 10-20 orang, ada kekerasan yang tidak menimbulkan kematian, tapi cukup memalukan misalnya. Di kampung saya di Makassar, di mana kampus itu terus menerus diwarnai oleh kekerasan, ini sangat memalukan, mahasiswa yang berkelahi di Makassar, ada apa sebenarnya dengan demokrasi kita, sampai-sampai di Makasar itu, ada satu ilustrasi kasus yang menarik, suatu ketika kelompok-kelompok tukang becak itu mau berkelahi, tiba-tiba diantara tukang becak ada seorang washmen yang mengatakan mohon jangan kita berkelahi, jangan sampai orang menganggap kita mahasiswa, katanya. Kekerasan mewarnai budaya politik kita, justru ketika kita mempraktekkan demokrasi dengan penuh gairah. Padahal, demokrasi adalah jalan damai untuk menyelesaikan masalah, mengapa demokrasi melahirkan begitu banyak menimbulkan korban, saya berpendapat bahwa semua itu terjadi karena bangsa ini sedang stress, khususnya mahasiswa itu sedang stress, kenapa dia stress, coba bayangkan semakin dia cepat mau lulus semakin dia pusing, nanti setelah lulus mau kerja di mana, ada kerjaan apa tidak. Dalam keadaan stress yang menumpuk itu ia menjadi sangat sensitif, sedikit saja dipicu emosinya bangkit. Saya berusaha untuk tidak percaya bahwa itu budaya, sebab ada suatu diskudi di Habibie Center, saya diundang, Pak Ryaas apakah itu suatu budaya orang Makassar suka mau berkelahi, saya membantah, ini adalah stress, cuma orang Makassar lebih ekpresif dari pada orang lain. Karena dia stress, dia sensitif, dia gampang terangsang untuk bereaksi. Jadi, penyebanya adalah ekonomi, jadi semakin terjadi krisis ekonomi, semakin merosot perekonomian kita, semakin banyak pengangguran, semakin meluas kemiskinan, semakin bersatu kemungkinan potensi kekerasan, dan itu adalah musuh besar dari demokrasi. Saya menyimpulkan bahwa kekerasan-kekerasan itu adalah produk dari ketidak pastian dalam masyarakat, ketidak pastian yang terus menerus, tidak ada bayangan tentang solusi-solusi yang mereka hadapi, dulu saya pernah berkampanye, pemerintah kalau mau menaikkan harga minyak silahkan saja, cuma dia harus jelaskan kepada rakyat berapa lama mereka harus menderita akibat dari kenaikan harga minyak itu, dan apa konpensasinya setelah sekian tahun, jadi pemimpin harus bicara kepada rakyat, saya mohon maaf dengan kenaikan harga minyak ini karena terjadi defisit dan akan ada proses recoveri dan anda akan mendapat manfaat dari kenaikan dan penderitaan yang harus anda terima hari ini sampai beberapa tahun kemudian, ini tidak ada penjelasannya. Max ar pernah mengatakan begini: seorang prajurit rela mati dalam pertempuran, rela terhina dalam kematian, bahkan kalau dia harus mati seperti anjing mati pun tidak apa-apa, yang penting dia tahu untuk apa dia mati, seorang prajurit rela mati dengan cara apapun asal dia tahu untuk apa dia mati. Sekarang saya menggunakan ungkapan itu, rakyat sesungguhnya rela menderita, seburuk apapun asalkan dia tahu untuk apa mereka menderita. Dalam penderitaan seyogianya ada harapan, kalau kesejahteraan tidak tercapat dalam demokrasi, maka pertanyaannya kemana demokrasi itu, dimana dia, saya ulangi sekali lagi bahwa demokrasi adalah proses untuk kesejahteraan.
Kita masuk pada kenyataan yang kita lihat dalam praktek demokrasi adalah dalam pemilihan kepala daerah, banyak pengamat, termasuk saya menganggap bahwa hasil pilkada langsung tidak lebih baik daripada hasil pilkada yang tidak langsung, artinya demokrasi langsung tidak otomatis menggiring rakyat untuk memilih yang lebih baik, karena distorsi tadi, sehingga pilihan-pilihan itu tidak menjadi lebih baik. Padalah itu adalah suatu test cash terhadap formula-formula demokrasi yang seyogianya menghasilkan pemimpin terbaik dan kebijakan yang terbaik, ini belum terjadi, walaupun itu tidak berarti bahwa kita harus menghentikan pemilihan kepala daerah secara langsung, yang harus kita pikirkan adalah bagaimana memformulasikan proses-proses pemilihan itu sehingga rakyat terbiasa dan termampukan untuk memilih yang terbaik di antara calon-calon yang ada. Saya teringat dengan pernyataan Mendagri, yang mengatakan bahwa ada sejumlah kepala daerah (+ 100) yang akan diproses oleh pengadilan, seingat saya waktu itu ada orang yang bertanya tentang bupati-bupati yang lupa diri, yang kebijaksanaannya ngacau, yang korup dst, saya mengatakan itu adalah pilihan rakyat, jadi kenyataan bahwa ada kepala daerah yang harus berurusan dengan pengadilan, kalau betul itu lebih dari 100, itu berarti 20-25% hasil pilihan rakyat itu keliru, itu menunjukan bahwa rakyat tidak tahu siapa yang dipilih. Artinya, kalau begini keadaannya kita perlu melakukan suatu gerakan mensosialisasikan kepada rakyat bahwa mereka harus mengenal siapa yang dipilih dan mengetahui kebijaksanaan apa yang mereka akan laksanakan ketika terpilih. Mengapa isu kebijaksanaan ini menarik untuk hari ini, karena hari ini Kompas memberikan suatu berita tentang pengunduran diri Perdana Menteri Jepang Hatoyama kemarin, setelah hanya 8 bulan berkuasa, dia menyimpulkan dia tidak mampu mengembangkan kinerja yang merepresentasikan keinginan rakyat, yaitu memindahkan pangkalan Amerika dari Okinawa ke tempat lain sehingga ia mundur. Yang menarik di Indonesia belum ada kepala daerah yang mundur. Memang ada perbedaan kultur, karena di Indonesia ini konon kabarnya mereka yang mundur itu terhinakan, sementara di Jepang mereka yang mundur itu semakin terhormat. Ini memang kedua kultur yang asimetrik, saya kira globalisasi ini memungkinkan kita untuk belajar dari bangsa-bangsa lain. Jadi, 8 bulan setelah berkuasa dia sudah bisa menyimpulkan bahwa dia punya kinerja tidak merefleksikan keinginan rakyat. Lalu, apa yang harus kita lakukan, menurut saya, kita tidak bisa sekonyong-konyon mengatakan kita harus melakukan ini, ini, ini. Kita memerlukan suatu peta besar, tidak bisa kita terbawa dengan perdebatan segmental, apakah threshold harus dinaikan, apakah peserta pemilu sebelumnya yang tidak masuk DPR bisa ikut pemilu atau tidak ikut pemilu lagi, itu tidak penting. (bersambung........)
(Bagian 3)
Kita membuat suatu peta besar tentang konstruksi demokrasi yang kita inginkan ke depan. Nanti kita lihat mana yang tidak mess dengan keadaan hari ini. Kita perlu merumuskan beberapa aspek strategis dari masalah-masalah yang kita hadapi untuk kita pertajam konsepsinya.
Pertama, sistem presidensial, ini belum duduk, bagaimana syarat pencalonan, bagaimana proses pemilihan, bagaimana formasi kabinet, bagaimana pertanggingjawabannya. Apakah yang sekarang berlaku sudah seperti itu, sistem presidensial yang kita inginkan ketika kabinet menjadi forum kompromi bagi partai-partai. Saya teringat satu pengalaman ketika menjadi anggota DPR, saya masuk sebagai anggota panitia khusus dan panitia kerja RUU kementerian negara, itu kemudian dipotong oleh pemerintah, karena itu konsep DPR, sebenarnya DPR merancang paling banyak 20 menteri, tapi kemudian oleh Yusril sebagai Sesneg waktu itu, mengatakan tidak bisa mesti sama jumlahnya dengan sekarang, karena kalau dipasang 20 dan UU berlaku saat ditetapkan, maka kabinet yang sekarang bisa delegitimasi. Yusril ahli hukum, bahwa dia lupa ada aturan peralihan, akhirnya kita terima 38 dengan kalimat maksimal. Yang lebih serius lagi saya satu-satunya anggota pansus, semua yang lain setuju, kecuali saya ini harus saya kemukakan, saya menyarankan supaya ada syarat kompetensi dalam bidangnya masing-masing untuk menteri-menteri itu, tidak ada satu fraksi pun yang menyetujui usulan itu. Jadi sepakat waktu itu DPR tidak ada kompetensi untuk menteri alasanya karena itu adalah jabatan politik, sejak kapan jabatan politik didegradasi sedemikian rupa, sehingga kompetensi menjadi tidak relevan, ini kan aneh seolah-olah kalau anda jabat politik anda tidak perlu kompeten. Selain itu jabatan publik, mengatur kepentingan umum, apakah itu tidak mencederai hak rakyat untuk memperoleh pemerintahan yang baik ketika kompetensi dikesampingkan.
Kedua, sistem legislatif kita, apakah 2 kamar atau 1 ¼ kamar seperti sekarang ini, atau 1 kamar saja. Dua tahun yang lalu saya katakan, kalau DPD tidak bisa menjadi senat, tidak bisa menjadi dua kamar sebaiknya DPD tidak usah ada. Buat apa kita punya suatu tembaga jika tidak punya power, tidak punya otoritas, hanya untuk aksesoris demokrasi saja, kembali saja pada sistem lama, apa salahnya pada sistem lama atau bikin dua kamar, kalau bikin dua kamar sistemnya tidak seperti sekarang. Pembahasan oleh dua kamar itu presiden hanya menyetujui atau memveto, ini semua harus duduk sistem legislatif kita, kalau kita mau cerdas membangun sistem politik demokrasi ke depan.
Ketiga, sistem peradilan, hubungan MK dengan MA apakah masih harus seperti ini, kemudian badan penyidik, ada KPK, ada kejaksaan, ada kepolisian, bagaimana mengatur orangnya itu. Ada anggapan seolah-olah KPK hanya ad hoc, tapi saya tidak melihat gejala ad hoc itu, saya melihat KPK akan permanen, bagaiamana ini saling oper-oper kasus atau saling rebutan kasus. Sistem peradilan harus ditata ulang.
Keempat, sistem pemilu dan kepartaian, tershold parlemen atau tershold electoral dan konsekuensi-konsekuensinya. Sistem pemilu proporsional atau distrik, harus clear. Kita kelola dengan distem distrik, tetapi kemarin sistem proporsional dengan sistem multi kursi itu kan sebenarnya sistem distrik yang lebih kacau, sistem distrik dengan ribuan calon, jangankan rakyat, kita aja orang biasa dengan ilmu segala macam bingung melihat sistem yang kemarin itu, ini harus duduk, harus dikoreksi lagi, bagaimana membangun ini, jadi bukan sekedar tershold yang dibicarakan, bagaimana mendudukan sistem ini, sistem kepartaian, bahwa kita menghentikan pembentukan partai baru atau tidak, UU-nya masih memungkinkan membentuk partai baru, atau kita memaksakan ada koalisi-koalisi permanen yang kemudian menjadi partai, itu memerlukan suatu pendekatan, tidak bisa dilepas begitu saja.
Kelima, sistem pemilihan kepala daerah, gubernur, bupati/walikota. Ini bukan sekedar siapa yang dipilih oleh DPRD atau dipilih oleh rakyat secara langsung, persoalannya adalah titik berat otonomi di mana, kalau titik berat otonomi di provinsi, maka gubernur yang dipilih langsung, bupati/walikota tidak perlu, Jakarta memberikan contoh itu, tidak diharamkan. Jakarta hanya gubernur yang dipilih langsung, malah bupati/walikota tidak dipilir oleh DPRD, ditunjuk oleh gubernur, jadi ada contoh. Atau titik berat otonomi di kabupaten/kota kecuali Jakarta, dimana gubernur cukup dipilih oleh DPRD provinsi. Itupun hanya karena UUD mengharuskan kepala daerah dipilih secara demokratis. Kalau UUD diamandemen gubernur ditunjuk presiden pun bisa, itu membuat pemerintahan lebih efektif, itu ide Pak Habibie dulu tahun 1999 dalam sidang kabinet meminta itu, beliau meminta untuk mengurangi medan konflik, membuat pemerintahan lebih efisien dan lebih efektif, gubernur ditunjuk oleh presiden saja. Jadi ide itu bukan sama sekali ide baru, tapi ini memerlukan suatu kemauan untuk membuat peta ulang dan mengoreksi apa yang seharusnya kita perbaiki dalam perjalanan ke depan.
Menjelang akhir ini, saya merujuk pada ulasan News Week, 22 Maret 2010 yang ditulis oleh Yosua Kurlansik, dia mencatat bahwa tahun 2005 Fredom House itu melaporkan hanya 9 negara tahun 2005 yang mengalami rol back of democracy (kemunduran demokrasi). Tetapi tahun 2009 angka itu mencapai 40 negara yang mengalami kemunduran demokrasi. Itu terjadi di Afrika, Amerika Latin, Timur Tengah dan bekas Uni Soviet. Kelas menengah yang dulunya mendorong demokratisasi di negara-negara itu, sekarang berbalik mengatakan ketidak puasan mereka, karena demokrasi hanya dimaknai sebagai proses pemilihan, dan setelah itu pemenangnya akan menggunakan kekuasaan yang dia miliki untuk mendominasi berbagai sektor kehidupan dan pengambilan keputusan. Demokrasi telah menjadi instrumen justru untuk mengukuhkan kekuasaan-kekuasaan yang menyeleweng, 40 negara dalam periode 2005 – 2009 itu mengalami kemunduran, demokrasi memprihatinkan, dan besar kemungkinan jumlahnya akan bertambah setelah merebaknya krisis ekonomi di berbagai negera. Krisis ekonomi dunia telah mendorong ekonomi down ton dan secara konkrit berwujud pengangguran yang semakin besar, kemiskinan yang semakin luas, dan harga-harga yang tidak terjangkau. Presiden Fernandes dari Republik Dominican yang dikutif dalam majalah News Week mengatakan bahwa ekspektasi dari prospek demokrasi di Amerika Latin telah menciptakan disilusi seolah-olah demokrasi telah gagal mewujudkan kesejahteraan. Indonesia menghadapi tantangan yang sama. Mampukah demokrasi menciptakan kesejahteraan, atau sebaliknya demokrasi justru akan menjerumuskan kita ke lembah kenistaan, jika ia tidak mampu mengangkat martabat atau derajat melalui kebijakan yang mensejahterakan mereka. Saya ingin menutup dengan mengulangi lagi pernyataan Presiden di forum rektor mengenai perlunya kita melakukan kajian yang mendalam dan luas tentang di mana posisi demokrasi kita sekarang dan ke mana ia akan diarahkan, jangan sampai demokrasi justru mengantar negara kita ke jurang kekacauan ekonomi yang secara langsung akan mengundang kembali otoritarianisme. Sekali lagi demokrasi untuk kesejahteraan, bukan demokrasi melawan atau memperlambat atau bahkan menghapuskan harapan-harapan untuk kesejahteraan, jangan sampai demokrasi dirinya sendiri. Terima kasih.
Ini menjdi salah satu fundamen akademik yg kuat tentang mengapa pilihan mekanisme demokrasi kita lbh ideal scra tak langsung (indirect system)..
ReplyDelete