Sesuatu yang menggusarkan bahwa hingga 2015, seorang yang tak dapat menyelesaikan pendidikan SLTA secara lazim masih diberi celah kesempatan untuk menjadi Kepala Pemerintahan di Daerah. Tentu isu diskriminatif bukan lagi persoalan, karena kurun waktu 30 tahun terakhir Pemerintah telah membuka kesempatan seluas mungkin bagi warga negara mengenyam pendidikan formal hingga tingkat SLTA. Di sisi lain, kepentingan umum jauh lebih penting dari sekedar menampung kepentingan figur-figur tokoh lokal yang telah melewatkan kesempatan menuntaskan pendidikan SLTA nya di masa remaja.
Agenda perubahan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada, masih saja membuka celah masuk bagi figur berbekal ijzah paket persamaan setingkat SLTA untuk maju dalam kontestasi Pilkada. Dalam konteks ini penyusun undang-undang, seakan menafikan korelasi antara tingkat pendidikan formal, intelektualitas dan cakrawala pandang (vision leadership) seorang Kepala Daerah. Meskipun dalam prakteknya, calon kepala daerah diharuskan memiliki visi dan misi. Melaluinya publik diyakinkan akan dibawa kemana daerah dalam era kepemimpinannya. Jikapun visi dan misi itu disusun oleh tim sukses, namun pada saat egoisme pemimpin mengental maka putusan-putusannya tak jauh dari tingkat intelijensi, intelektualitas dan wawasan cakrawala pandangnya.
Halnya kepemimpian dan paternalistik merupakan sesuatu yang tak terpisah dalam budaya masyarakat Indonesia. Ki Hajar Dewantoro menyebutnya “Ing Ngarso sung tulodo” untuk menggambarkan betapa kuat peran keteladanan pemimpin dalam mempengaruhi kehidupan masyarakat di bawahnya. Fakta empirik menunjukkan bagaimana perbedaan Kota Bandung di bawah Walikota Ridwan Kamil, Kota Surabaya dibawah Walikota Risma Tri Hasmarini, Kabupaten Bantaeng di bawah Bupati Prof. HM. Nurdin Abdullah dan beberapa masa silam terjadi juga di Kabupaten Jembrana di bawah Bupati I Gede Winasa. Fakta ini memberikan makna bahwa intelektualitas dan karakter personal Kepala Daerah “bekerja” membuat perbedaan siginifikan perkembangan suatu Daerah.
Dengan analogi yang sama, wajar muncul tanda tanya akan hal daerah sekitar yang memiliki sumber daya dan karakteristik yang mirip namun tak bisa mencapai hal yang sama. Demikian halnya, sebuah Daerah yang berkilau seperti memudar kemilau setelah berakhir masa kepemimpinan bupati atau walikota progressif tersebut. Sementara susunan organisasi dan sumber daya birokrasi yang menghidupakan pemerintahan daerah dapat dikatakan tidak jauh berbeda. Tentu saja Pemimpin fenomenal itu lahir dari mekanisme rekrutmen politik yang sama seperti daerah lainnya. Mekanisme yang sama dengan daerah yang dipimpin oleh figure yang menggunakan ijazah SLTA paket persamaan atau ijazah SLTA yang masih dipertanyakan.
Baca Juga :Berikan Kesempatan Anggota Dewan dan PNS Maju Pilkada Tanpa Mundur
Pada akhirnya, faktor ruh atau spirit yang melingkari suasana kebatinan para pemuka partai politik turut menentukan figur calon kepala daerah terdidik atau tidak yang diusung pada pilkada. Masyarakat hanya memilih yang disajikan, jikapun terdapat calon perseorangan terdidik yang bersikeras untuk maju dalam pilkada, kerap kandas karena minimnya pengalaman dan jaringan politik massa yang mereka miliki. Ruh positif elit parpol daerah dan parpol pusat akan membuat celah terbuka tidak dimanfaatkan untuk meloloskan figur tak terdidik karena adanya pertimbangan yang cermat dan peka pada proses penjaringan calon kepala daerah, disamping benar-benar berorientasi pada kepentingan kamajuan daerah.
Namun halnya, akan lebih baik bila secara ekspilisit ditegaskan dalam “rule of the game” bahwa untuk kepentingan dan keterjaminan kepemimpinan politik pemerintahan maka syarat pendidikan minimal calon kepala daerah adalah diploma tiga dari perguruan tinggi terakreditasi. Sebuah kondisi yang menutup celah “pertaruhan” figur-figur bakal calon yang tak memiliki hasrat intelekutualitas dan keterdidikan. Nilai tak menghargai pendidikan akan terbawa dalam masa kepemimpinan seorang kepala daerah yang dirinya tak sempat merasakan dinamika, suka duka dan pengalaman menempuh studi pendidikan tinggi.
Dalam sebuah kesempatan berbicara di hadapan publik, ditemukan kepala daerah yang bertindak kontra produktif pendidikan. Menyampaikan pesan bahwa dengan hanya berijazah SMA dapat menjabat kepala daerah. Sementara itu, sebagian masyarakat kelompok muda menginterpretasikannya untuk tak perlu menempuh pendidikan sebaik mungkin. Faktanya Pemimpin hari ini adalah mereka yang dahulu juga tidak termasuk ideal menempuh studi di level SLTA.
Sangat disayangkan secara formal, Undang-Undang Pilkada juga mengkonfirmasi bahwa jikapun tak selesai SLTA, dapat mengambil paket untuk bersaing menjadi kepala pemerintahan. Hal ini menjadi lebih rumit, saat kepala daerah tak memiliki basis pendidikan kuat yang berimbas pada kerapuhan karakter pendidikan. Dalam beberapa kasus, tngkat capaian kelulusan menjadi isu public yang kini telah ditransformasi menjadi produk kerja kepemimpinan politik. Jika capaian tingkat kelulusan tinggi maka itulah hasil kepemimpinan politik kepala daerah dan demikian sebaliknya. Hal negative akan menjadi amunisi lawan politik merampas kedudukan kepala pemerintahan
Aspek intelektualitas sumber daya manusia adalah elemen terpenting dari pembangunan bangsa. Karenanya salah satu tolak ukur kemakmuran dalam program Millenieum Development Goal adalah adalah tingkat capaian Indeks Pembangunan Manusia atau dikenal dengan singkatan IPM. Tentu saja pendidikan yang dimaksud adalah proses dimana manusia mendapatkan pencerahan dari hal yang sederhana semisal dimulai dari tidak buta huruf hingga dengan kepandaian menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan terbentuk sikap arif bijaksana dalam memandang kehidupan.
Bertolak dari proses, maka hasil akhir yang diharapkan adalah hadirnya sosok manusia yang berkualitas. Pendidikan bukanlah perkara selembar ijazah atau surat tanda tamat belajar. Dengan kata lain, bahwa ijazah adalah sesuatu yang berada di hilir, apabila kita sepakat bahwa seluruh proses penanaman nilai dan pengenalan ilmu pengetahuan dan pembentukan sikap sebagai sesuatu yang berlangsung di hulu. Perbedaan karakter antara figure sdm terdidik dan tidak terdidik terlihat masif saat kekuasaan dipercayakan kepada dirinya. Pendidikan ideal sejatinya menghasilkan seorang yang semakin tinggi pendidikannya maka semakin baik pula kapasitasnya dan karakter personalnya.
Jika menggunakan piramid strata sosial, orang terdidik diberi tempat di pucuk piramid. Dalam kehidupan seseorang yang berada di tempat tinggi akan dapat memiliki cakrawala pandang yang lebih jauh dari pada yang berada di bawah. Maka tak mengherankan, seseorang yang berilmu pengetahuan kerap menyampaikan sesuatu yang sulit dipahami oleh mereka yang tidak berilmu pengetahuan. Karenanya sangat logis jika figure yang memimpin memiliki pendidikan di atas mereka yang dipimpin. Seperti telah diketahui, bahwa secara natural legitimasi kepemimpinan seseorang muncul karena kelebihan-kelebihan yang dimilikinya, seperti kelebihan ilmu pengetahuan, kuat karakter dan kelebihan materi kekayaan. Legitimasi kepemimpinan politik Indonesia hadir karena kemenangan kompetisi raihan suara di hari pemungutan.
Persoalan rekrutmen pemimpin politik pemerintahan adalah domein utama partai politik. Masyarakat hanya mendapat pilihan-pilihan hasil penjaringan dan pemilihan internal partai politik. Partai politik politik dan politisi bertanggung jawab penuh kemana bangsa akan dibawa oleh Pemimpin yang dilahirkannya melalui demokrasi prosdur yang disebut PEMILU.
Ditulis oleh Dr. Iskandar, AP