![]() |
Photo by CNN |
Salah satu dampak
sosial dari reklamasi Teluk Jakarta adalah penggusuran atau pengusiran paksa
yang dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta terhadap penduduk yang menggunaan
sumber daya lahan untuk keperluan hunian maupun usaha mencari ikan. Selain itu,
dengan adanya reklamasi akan mempengaruhi ikan yang ada di laut sehingga
berakibat pada menurunnya pendapatan mereka yang menggantungkan hidupnya kepada
laut. Dampak tersebut tidak hanya sampai disitu, tapi lebih jauh akan
meningkatkan indeks keparahan kemiskinan bagi penduduk yang selama ini
menggantungkan hidupnya dari hasil laut yang ada di Teluk Jakarta.
Pendahuluan
Pada akhir dasa warsa
1950-an istilah ’pembangunan’ sering dianggap sebagai ’obat’ terhadap berbagai
macam masalah yang muncul dalam masyarakat.
Era awal dari pembahasan mengenai teori pembangunan adalah
dikemukakannya ’Teori Pertumbuhan’. Menurut Clark (1991:20) bahwa ”pemikiran
mengenai teori pertumbuhan berasal dari pandangan kaum ekonom ortodoks yang
melihat ’pembangunan’ sebagai pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya
diasumsikan akan meningkatkan taraf kehidupan manusia”.
Pembangunan merupakan
suatu proses perubahan sosial yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup
manusia dengan melakukan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam. Menurut Garna
(1992:1) perubahan sosial terjadi karena adanya proses pembangunan yang
dilakukan, baik oleh masyarakat itu sendiri maupun dari luar masyarakat. Perubahan sosial yang terjadi di Indonesia,
pada umumnya merupakan proses yang terkendali oleh pola perencanaan yang
disebut ‘pembangunan’.
Aktivitas pembangunan ini
sering dilakukan dengan memanfaatkan sumberdaya alam. Pembangunan yang
dilakukan tentunya akan memberikan pengaruh pada masyarakat dan lingkungan hidup
sekitarnya. Biasanya, persoalan yang paling signifikan di daerah perkotaan
berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya ialah penggunaan lahan. Penyebab
utamanya antara lain ialah meningkatnya pertumbuhan penduduk baik secara alami
maupun perpindahan penduduk dari desa ke kota, pembangunan yang senantiasa
mendominasi daerah perkotaan, dan faktor keterbatasan lahan perkotaan.
Salah satu proyek
pembangunan yang saat ini sedang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta adalah reklamasi Teluk Jakarta. Pada dasarnya, reklamasi pantai
dilakukan sebagai upaya untuk memperluas wilayah daratan untuk kepentingan
ekonomi dari suatu daerah perkotaan yang memiliki permasalahan keterbatasan
lahan. Namun reklamasi pantai sendiri memiliki dampak sosial terhadap masyarakat.
Kehilangan Tempat Tinggal
Akibat Penggusuran
Dampak sosial yang
paling terasa di masyarakat akibat adanya proyek reklamasi di Teluk Jakarta adalah
penggusuran. Di kota besar seperti Jakarta, penggurusan kampung miskin
menyebabkan rusaknya jaringan sosial pertetanggaan dan keluarga, merusak
kestabilan kehidupan keseharian seperti bekerja dan bersekolah serta
melenyapkan aset hunian. Masyarakat yang dulunya hidup dalam satu komunitas
nelayan Teluk Jakarta kini tercerai berai akibat wilayah pemukiman mereka
digusur karena harus dilalui oleh berbagai kendaraan berat yang mengangkut
berbagai bahan material timbunan dan alat untuk membangun wilayah reklamasi.
Penggusuran adalah
pengusiran paksa baik secara langsung maupun secara tak langsung yang dilakukan
pemerintah setempat terhadap penduduk yang menggunaan sumber daya lahan untuk
keperluan hunian maupun usaha. Penggusuran terjadi di wilayah urban karena
keterbatasan dan mahalnya lahan. Di wilayah rural penggusuran biasanya terjadi
atas nama pembangunan proyek prasarana besar seperti misalnya proyek reklamasi
Teluk Jakarta. Penggusuran adalah pelanggaran hak tinggal dan hak memiliki
penghidupan. Dialog dan negosiasi dengan pihak atau masyarakat terkait
dilakukan untuk menghindari penggusuran.
Penggusuran yang
dilakukan oleh aparat pemerintah yang tidak mengindahkan nilai-nilai kemanusian
serta hak-hak warga negara yang telah di jamin oleh Undang-undang, tentu saja
meninggalkan dampak yang cukup kompleks, yaitu makin meningkatnya warga miskin,
rasa tidak percaya lagi oleh pemerintah dan meningkatnya rasa benci dan dendam
terhadap perlakuan kasar oleh aparat dilapangan.
Pemerintah daerah
(pemda) DKI Jakarta atau pemda mana pun di negeri ini memang memiliki otoritas
untuk melakukan penataan terhadap lingkungan permukiman di dalam lingkup
administrasi wilayah masing-masing. Namun, pihak pemda seharusnya tidak serta
merta menggunakan kekuasaannya dengan semaunya menggusur kelompok warga kelas
bawah penghuni kawasan/lahan tertentu. Mengapa?
Pertama, kawasan hunian
warga umumnya bukanlah tempatan baru. Melainkan sudah lama, dan bahkan memiliki
nilai sejarah tersendiri yang bisa dianggap sebagai bagian dari situs budaya.
Kampung nelayan di Luar Batang misalnya, sudah ada sejak lima abad lalu
(tahun1631), yang juga tak bisa dilepaskan dengan sejarah masuknya Islam di
tanah Betavia (Betawi). Sehingga, di kawasan itu pun terdapat kuburan para
tokoh penyebar Islam berikut masjid bangunan tua yang tetap eksis hingga saat
ini.
Sejarah permukiman pun
tak bisa dilepaskan dari riwayat kepemilikan tanah yang sekarang ada. Jika
pihak pemerintah hanya mendasarkan argumen status tanah yang tidak
bersertifikat berdasarkan hukum Indonesia, maka jelas pihak penghuni umumnya
akan lemah posisinya karena hanya akan sedikit yang memilikinya. Apalagi masih
banyak tanah negeri ini (apalagi di pulau Jawa) berstatus verponding, yakni status tanah yang ditetapkan menurut hukum
Belanda atau kemudian ada yang diubah statusnya menjadi verponding Indonesia. Di mana, kepemilikannya bisa diwariskan dari
generasi ke generasi melalui legalisasi rutin di tingkat kecamatan.
Namun, tidak semua
warga bisa selalu sadar dan aktif dalam mengurus surat tanah seperti itu.
Sehingga, akibat kelengahan pihak pemilik verponding
itulah kemudian pihak pemerintah menganggapnya sebagai milik negara atau tanah
tak bertuan.
Aksi gusur paksa
seperti itu juga menunjukkan bahwa Pemerintah DKI Jakarta telah mengabaikan
pertimbangan psiko-sosiobudaya, di mana suatu kawasan yang sudah lama dan memiliki
sejarah, niscaya jiwa para penghuninya sudah pula ”menyatu dengan tanah dan
lingkungan tempat tinggal mereka” itu.
Kedua, kawasan
permukiman yang sekumuh apa pun tampilan fisiknya, merupakan produk dari
sejarah perencanaan dan penataan kota/wilayah yang buruk. Kita, atau setiap
pemimpin, harus selalu sadar bahwa Jakarta atau umumnya kota-kota tua dan besar
di Indonesia ini, berkembang secara alami dengan secara relatif tidak
direncanakan dengan baik.
Para penghuni kawasan
yang kini kumuh, saat awal dihuni dan dibangun terus saja dibiarkan oleh
pemerintah, dianggap sudah menjadi milik dan bagian dari hidup mereka. Sehingga
kalau sekarang dibongkar paksa, maka sama halnya menunjukkan rendahnya
kepedulian pengambil kebijakan sebelumnya, dan sekaligus secara arogan
mempertontonkan kehebatan sang penguasa sekarang.
(bersambung..........)
(bersambung..........)
Oleh : Dr. Muhammad Mulyadi
Peneliti Madya Hubungan Masyarakat dan Negara Pada Bidang
Kesejahteraan Sosial Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI
* ) Peneliti Madya Hubungan Masyarakat dan Negara Pada Bidang
Kesejahteraan Sosial Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI. Email:
mohammadmulyadi@yahoo.co.id