Dampak Sosial Reklamasi Teluk Jakarta (Bagian 1) - Kajian Pemerintahan

Friday, April 22, 2016

Dampak Sosial Reklamasi Teluk Jakarta (Bagian 1)



Photo by CNN
Abstrak*)
Salah satu dampak sosial dari reklamasi Teluk Jakarta adalah penggusuran atau pengusiran paksa yang dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta terhadap penduduk yang menggunaan sumber daya lahan untuk keperluan hunian maupun usaha mencari ikan. Selain itu, dengan adanya reklamasi akan mempengaruhi ikan yang ada di laut sehingga berakibat pada menurunnya pendapatan mereka yang menggantungkan hidupnya kepada laut. Dampak tersebut tidak hanya sampai disitu, tapi lebih jauh akan meningkatkan indeks keparahan kemiskinan bagi penduduk yang selama ini menggantungkan hidupnya dari hasil laut yang ada di Teluk Jakarta.

Pendahuluan
Pada akhir dasa warsa 1950-an istilah ’pembangunan’ sering dianggap sebagai ’obat’ terhadap berbagai macam masalah yang muncul dalam masyarakat.  Era awal dari pembahasan mengenai teori pembangunan adalah dikemukakannya ’Teori Pertumbuhan’. Menurut Clark (1991:20) bahwa ”pemikiran mengenai teori pertumbuhan berasal dari pandangan kaum ekonom ortodoks yang melihat ’pembangunan’ sebagai pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya diasumsikan akan meningkatkan taraf kehidupan manusia”.
Pembangunan merupakan suatu proses perubahan sosial yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup manusia dengan melakukan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam. Menurut Garna (1992:1) perubahan sosial terjadi karena adanya proses pembangunan yang dilakukan, baik oleh masyarakat itu sendiri maupun dari luar masyarakat.  Perubahan sosial yang terjadi di Indonesia, pada umumnya merupakan proses yang terkendali oleh pola perencanaan yang disebut ‘pembangunan’.
Aktivitas pembangunan ini sering dilakukan dengan memanfaatkan sumberdaya alam. Pembangunan yang dilakukan tentunya akan memberikan pengaruh pada masyarakat dan lingkungan hidup sekitarnya. Biasanya, persoalan yang paling signifikan di daerah perkotaan berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya ialah penggunaan lahan. Penyebab utamanya antara lain ialah meningkatnya pertumbuhan penduduk baik secara alami maupun perpindahan penduduk dari desa ke kota, pembangunan yang senantiasa mendominasi daerah perkotaan, dan faktor keterbatasan lahan perkotaan.
Salah satu proyek pembangunan yang saat ini sedang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah reklamasi Teluk Jakarta. Pada dasarnya, reklamasi pantai dilakukan sebagai upaya untuk memperluas wilayah daratan untuk kepentingan ekonomi dari suatu daerah perkotaan yang memiliki permasalahan keterbatasan lahan. Namun reklamasi pantai sendiri memiliki dampak sosial terhadap masyarakat.
Kehilangan Tempat Tinggal Akibat Penggusuran
Dampak sosial yang paling terasa di masyarakat akibat adanya proyek reklamasi di Teluk Jakarta adalah penggusuran. Di kota besar seperti Jakarta, penggurusan kampung miskin menyebabkan rusaknya jaringan sosial pertetanggaan dan keluarga, merusak kestabilan kehidupan keseharian seperti bekerja dan bersekolah serta melenyapkan aset hunian. Masyarakat yang dulunya hidup dalam satu komunitas nelayan Teluk Jakarta kini tercerai berai akibat wilayah pemukiman mereka digusur karena harus dilalui oleh berbagai kendaraan berat yang mengangkut berbagai bahan material timbunan dan alat untuk membangun wilayah reklamasi.
Penggusuran adalah pengusiran paksa baik secara langsung maupun secara tak langsung yang dilakukan pemerintah setempat terhadap penduduk yang menggunaan sumber daya lahan untuk keperluan hunian maupun usaha. Penggusuran terjadi di wilayah urban karena keterbatasan dan mahalnya lahan. Di wilayah rural penggusuran biasanya terjadi atas nama pembangunan proyek prasarana besar seperti misalnya proyek reklamasi Teluk Jakarta. Penggusuran adalah pelanggaran hak tinggal dan hak memiliki penghidupan. Dialog dan negosiasi dengan pihak atau masyarakat terkait dilakukan untuk menghindari penggusuran.
Penggusuran yang dilakukan oleh aparat pemerintah yang tidak mengindahkan nilai-nilai kemanusian serta hak-hak warga negara yang telah di jamin oleh Undang-undang, tentu saja meninggalkan dampak yang cukup kompleks, yaitu makin meningkatnya warga miskin, rasa tidak percaya lagi oleh pemerintah dan meningkatnya rasa benci dan dendam terhadap perlakuan kasar oleh aparat dilapangan.
Pemerintah daerah (pemda) DKI Jakarta atau pemda mana pun di negeri ini memang memiliki otoritas untuk melakukan penataan terhadap lingkungan permukiman di dalam lingkup administrasi wilayah masing-masing. Namun, pihak pemda seharusnya tidak serta merta menggunakan kekuasaannya dengan semaunya menggusur kelompok warga kelas bawah penghuni kawasan/lahan tertentu. Mengapa?
Pertama, kawasan hunian warga umumnya bukanlah tempatan baru. Melainkan sudah lama, dan bahkan memiliki nilai sejarah tersendiri yang bisa dianggap sebagai bagian dari situs budaya. Kampung nelayan di Luar Batang misalnya, sudah ada sejak lima abad lalu (tahun1631), yang juga tak bisa dilepaskan dengan sejarah masuknya Islam di tanah Betavia (Betawi). Sehingga, di kawasan itu pun terdapat kuburan para tokoh penyebar Islam berikut masjid bangunan tua yang tetap eksis hingga saat ini.
Sejarah permukiman pun tak bisa dilepaskan dari riwayat kepemilikan tanah yang sekarang ada. Jika pihak pemerintah hanya mendasarkan argumen status tanah yang tidak bersertifikat berdasarkan hukum Indonesia, maka jelas pihak penghuni umumnya akan lemah posisinya karena hanya akan sedikit yang memilikinya. Apalagi masih banyak tanah negeri ini (apalagi di pulau Jawa) berstatus verponding, yakni status tanah yang ditetapkan menurut hukum Belanda atau kemudian ada yang diubah statusnya menjadi verponding Indonesia. Di mana, kepemilikannya bisa diwariskan dari generasi ke generasi melalui legalisasi rutin di tingkat kecamatan.
Namun, tidak semua warga bisa selalu sadar dan aktif dalam mengurus surat tanah seperti itu. Sehingga, akibat kelengahan pihak pemilik verponding itulah kemudian pihak pemerintah menganggapnya sebagai milik negara atau tanah tak bertuan.
Aksi gusur paksa seperti itu juga menunjukkan bahwa Pemerintah DKI Jakarta telah mengabaikan pertimbangan psiko-sosiobudaya, di mana suatu kawasan yang sudah lama dan memiliki sejarah, niscaya jiwa para penghuninya sudah pula ”menyatu dengan tanah dan lingkungan tempat tinggal mereka” itu.
Kedua, kawasan permukiman yang sekumuh apa pun tampilan fisiknya, merupakan produk dari sejarah perencanaan dan penataan kota/wilayah yang buruk. Kita, atau setiap pemimpin, harus selalu sadar bahwa Jakarta atau umumnya kota-kota tua dan besar di Indonesia ini, berkembang secara alami dengan secara relatif tidak direncanakan dengan baik.
Para penghuni kawasan yang kini kumuh, saat awal dihuni dan dibangun terus saja dibiarkan oleh pemerintah, dianggap sudah menjadi milik dan bagian dari hidup mereka. Sehingga kalau sekarang dibongkar paksa, maka sama halnya menunjukkan rendahnya kepedulian pengambil kebijakan sebelumnya, dan sekaligus secara arogan mempertontonkan kehebatan sang penguasa sekarang.
(bersambung..........) 

Oleh : Dr. Muhammad Mulyadi
Peneliti Madya Hubungan Masyarakat dan Negara Pada Bidang Kesejahteraan Sosial Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI


* ) Peneliti Madya Hubungan Masyarakat dan Negara Pada Bidang Kesejahteraan Sosial Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI. Email: mohammadmulyadi@yahoo.co.id

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda