Hiruk pikuk pemilihan
DKI 1 semakin menarik untuk diamati. Setelah skenario anak tangga PDIP dengan
mengusung Ahok
Sekarang Skenario Anak Tangga tersebut kembali
dipraktekan oleh Demokrat dengan mengusung Agus Hari Murti Yudoyono (AHY).
Terkait
dengan pengusungan AHY dan Silvi oleh partai Demokrat, PKS, PPP dan PKB beragam
tanggapan yang muncul, mulai dari yang mengganggap hal tersebut sebagai
blunder, tetapi ada juga yang menyatakan akan memilih AHY untuk DKI 1.
Penunjukan
AHY oleh Koalisi yang digagas di cikeas menjadi catatan tersendiri yang perlu
dicermati. Sang putra mahkota harus melepas statusnya sebagai perwira TNI
dengan segala prestasi yang dimiliki. Pengorbanan yang besar ini tentunya telah
diperhitungkan dengan matang oleh SBY ataupun Demokrat. Keputusan ini adalah momentum yang tepat
untuk AHY terjun dalam dunia politik. Prestasi yang dimiliki selama pendidikan
dan dinas di TNI adalah modal untuk mendongkrak popularitas AHY. Seandainyapun
kalah di DKI, tentunya Demokrat sudah menyiapkan rumah yang nyaman untuk putra
mahkota. Tentunya untuk tahun 2019 tidak akan sulit baginya untuk meraih salah
satu kursi di Senayan. Maka pencalonan AHY sebagai DKI 1 merupakan langkah
dianak tangga pertama untuk menapak anak-anak tangga berikutnya yang ada
diatasnya.
Banyak yang
memandang ini sebagai bentuk melanggengkan politik dinasti, Kalau hanya sebatas
politik Dinasti tentunya SBY cukup menunjuk Ibas, putra mahkota yang sudah
lebih dahulu terjun kepolitik. Tanpa harus mengorbankan karir meliter AHY.
Teori
kepemimpinan menjelaskan bahwa pemimpin itu merupakan bakat lahir, dan disisi
lain merupakan pembentukan melalui pendidikan dan pengkaderan. Menurut hemat
saya AHY memiliki keduanya. Selain bakat lahir yang diwariskan dari SBY, disisi
lain jiwa kepemimpinan AHY juga dibentuk selama pendidikan dan dinas
kemeliteran di TNI dengan pangkat perwira menengah. Kedua hal tersebut semestinya akan mampu membentuk AHY
menjadi pemimpin yang negarawan.
Demikian halnya dengan Purna Praja, diajarkan ilmu pemerintahan, dilatih jiwa kepemimpinan dan diterjunkan dalam
dunia pemerintahan yang sebenarnya dengan status sebagai Pegawai Negeri Sipil
(PNS) yang sekarang popular dengan sebutan ASN. Secara keilmuan dan praktek Purna Praja sudah
di suapin tentang pemerintahan dan kepemimpinan. Bagaimana dengan bakat lahir?.
Tentunya tidak sedikit juga diantara ribuan purna praja yang mempunyai bakat
kepemimpinan terutama yang diwariskan oleh orang tua mereka yang juga pemimpin
dimasanya.
Persamaan AHY dan Purna Praja adalah sama-sama dididik dilembaga
pendidikan unggulan, sebagian Purna Praja Sudah Berani keluar dari Zona nyaman,
masuk ke percaturan politik dengan resiko melepas jabatan sama seperti AHY. Tentunya
pertarungan tersebut Ada yang menang dan ada juga yang kalah.
Sedangkan perbedaan
AHY dengan sebagian purna praja adalah, AHY disiapkan dan di kaderkan oleh
orang tua, purna praja bergerak mandiri. AHY jika kalah dalam pilkada DKI,
sudah ada rumah nyaman partai Demokrat yang menanti. Purna Praja jika kalah
dalam pertarungan politik siap-siap gigit jari jika tidak mempersiapkan Plan B
maka akan beresiko tinggi terhadap anak-anak dan istri.
Oleh karena
itu maka banyak purna praja bersikap realistis dan tetap berada dizona nyaman
dengan status sebagai Pegawai Negeri, walau diyakini bahwa purna praja punya
potensi yang tidak kalah hebat dengan
AHY.
Bravo,
selamat kepada AHY dan selamat kepada Purna Praja yang bertarung dan
berkompetensi dalam perebutan kepala daerah 2017. BNEB
#kajian
pemerintahan
#Pilkada DKI
#Rahmat
Hollyson