By. Singgih Usman Fuadi
Penantian panjang masyarakat terjawab sudah, Akhirnya Mega dengan
koalisinya mengusung Ahok-Jarot, SBY dengan Koalisinya mengusung Agus Silvi dan
Prabowo dengan koalisinya mengusung Anis-Sandi
Ahok
dan Anis merupakan dua tokoh yang sudah sangat kita kenal. Ahok merupakan
Petahana yang sangat disenangi Media, dan Anis merupakan tokoh pendidikan yang
terakhir menjabat sebagai menteri pendidikan. Sementara Agus hanya dikenal
sebagai Putra Sulung SBY yang merupakan perwira menengah di TNI.
Siapakah sosok AHY ?
Mengundurkan diri
dengan pangkat mayor, pemuda bernama lengkap (Mayor Inf) Agus Harimurti
Yudhoyono, M.Sc., M.PA, MA atau yang akrab disapa AHY ini membuat Publik
Indonesia tercengang dengan munculnya nama AHY sebagai bakal calon Gubernur
Provinsi DKI Jakarta Tahun 2017-2022 untuk menjadi rival dalam pertarungan
pilkada serentak 2017 melawan petahana. Memang patut dikatakan publik
Indonesia, bukan hanya publik Jakarta saja yang merasa tercengang dengan
keputusan koalisi kekeluargaan poros cikeas yang diusung Partai Demokrat,
Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB).
Sosok AHY memang sulit
untuk lepas dari nama besar sang ayah yang merupakan Presiden Indonesia Ke 6,
Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, menjadi anak seorang presiden bukan berarti
menjadikan sosok AHY tidak mampu membuktikan bahwa dirinya dapat berprestasi
dengan kemampuan yang dimilikinya. AHY merupakan lulusan terbaik dari sekolah
SMA Taruna Nusantara tahun 1997 dengan menerima medali Garuda Trisakti
Tarunatama Emas, sehingga membulatkan tekadnya untuk mengikuti jejak sang ayah
untuk bisa memakai Pakaian Dinas Upacara Besar (PDUB) warna hijau yang
merupakan PDUB TNI AD. Lulus dari Akademi Militer (AKMIL) tahun 2000 dan
mendapat predikat lulusan terbaik dengan penghargaan Adhi Makayasa membuat
karir AHY di dunia militer dapat dikatakan akan cemerlang. Tidak hanya
pendidikan di dalam negeri, AHY membuktikan kemampuan dirinya dengan
menyelesaikan pendidikan di beberapa universitas luar negeri dengan mendapatkan
IPK 4,0 yaitu di George Herbert Walker School di Webster University dengan
gelar MA in Leadership and Management dan Command and General Staff College
(CGSC) di Fort Leaveworth, Kansas, Amerika Serikat (Pendidikan Militer
setingkat sekolah staf komando angkatan darat). Selain itu, sebelumnya AHY juga
mendapatkan predikat sangat memuaskan pada studi Master Strategic Studies di
Institute Of Defence and Strategic Studies Nanyang Technological University
Singapura dan Master of Public Administration , John Kennedy School of
Government.
Jabatan di dunia
militer juga telah didudukinya hingga AHY berpangkat mayor. Berbagai kegiatan
kemiliteran mulai dari pelaksanaan dinas militer di dalam negeri maupun
penugasan militer di luar negeri seringkali dipublikasikan melalui akun media
sosial dirinya yang membuat banyak orang merasa terkesima dan bahkan dapat
dikatakan terinspirasi oleh sosok AHY. Faktor tersebutlah yang diyakini membuat
masyarakat menyayangkan pengunduran dirinya dan menganggap bahwa
keikutsertaannya dalam kontes politik Indonesia “terlalu dini”.
Siapakah Sosok Pendamping AHY ?
AHY maju dalam
pertarungan pilkada tahun 2017 dipasangkan dengan Sylviana Murni. Bernama
lengkap Prof. Dr. Hj. Sylviana Murni, SH., M.Si., Sylviana merupakan seorang
birokrat yang tidak asing dengan dunia politik. Berkiprah sebagai Pegawai
Negeri Sipil (PNS) sebagai staf dan pada akhirnya sebelum maju pilkada 2017 menjabat
sebagai Deputi Gubernur Bidang Pariwisata dan Kebudayaan membuktikan bahwa
sosok Sylviana dipandang mempunyai kapabilitas untuk bersama-sama membangun DKI
Jakarta bersama AHY. Prestasi Sylviana yang sangat dirasakan oleh masyarakat Jakarta
adalah Pelayanan Terpada Malam Hari (PTMH) yang menyediakan 23 layanan bagi
masyarakat. Terobosan tersebut dilakukan sewaktu Sylviana menjabat sebagai
Walikota Jakarta Pusat tahun 2008-2013. Di tengah aktivitasnya sebagai seorang
PNS, Sylviana juga pernah terjun ke dunia politik dengan mengambil cuti pada
saat menjadi anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta dari Partai Golkar tahun
1997-1999. Hal tersebut tentunya memberikan keuntungan bagi Sylviana sebagai
modal untuk bertarung karena tidak hanya paham birokrasi di Provinsi DKI
Jakarta pada sisi eksekutif, namun juga pada sisi legislatif.
Berpasangan dengan AHY,
menjadikan pasangan ini mempunyai keunikan dan cukup menarik untuk mewakili
masyarakat Jakarta. Perpaduan Laki-laki dan Wanita, Jawa-Betawi, Tua-Muda, dan
Sipil-Militer menjadi paket lengkap yang diharapkan mampu bersaing dan
memenangkan Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017. Keduanya memang tidak diduga-duga
akan menjadi satu pasangan calon, mengingat bahwa AHY masih aktif di dunia
militer dan Sylviana sebelumnya dikabarkan akan berpasangan dengan Bakal Calon
Gubernur dari Partai Gerindra, Sandiaga Uno.
Peta kekuatan
Melihat pada kontestasi
politik, seluruh bakal calon gubernur dan wakil gubernur sama-sama belum pernah
memenangkan kontes pemilihan kepala daerah, kecuali petahana Basuki Tjahaya
Purnama yang pada tahun 2012 terpilih sebagai Wakil Gubernur mendampingi Joko
Widodo, sehingga asumsi masyarakat pada umumnya bahwa kemenangan pasangan
Jokowi-Ahok pada waktu itu karena figur Jokowi. Apabila dilihat pada komposisi
partai pendukung, pasangan Ahok-Djarot mempunyai kekuatan kursi DPRD paling
besar yaitu 52 Kursi dengan dukungan dari PDI-P, Hanura, Golkar, dan Nasdem;
diikuti pasangan AHY-Sylviana dengan 28 Kursi yang diusung oleh Demokrat, PAN,
PPP, dan PKB; dan pasangan Anies-Sandi dengan 26 Kursi DPRD yang diusung oleh
Gerindra dan PKS. Apabila kita melihat lagi jumlah pemilih pada Pemilu
Legislatif tahun 2012, tentu jumlah pemilih untuk partai pengusung Ahok-Djarot
jauh lebih besar dibanding pasangan lain dengan jumlah pendukung lebih dari 2
juta pemilih, jauh meninggalkan lawannya pengusung AHY-Sylvina dan Anies-Sandi
yang berada pada angkat 1 juta pemilih.
Namun, psikologis
masyarakat pemilih pada saat ini cenderung masih melihat pada seorang figur
ataupun pada seorang sosok. Tingginya elektabilitas partai pada proses pemilu
sebelumnya tidak dapat menjadi pacuan akan tinggi juganya elektabilitas pasangan
yang diusung. Contoh yang sangat nyata dapat dilihat adalah pada proses pemilu
presiden secara langsung. Tiga periode presiden dari tahun 2004 hingga saat ini
masih diisi oleh seorang figur dan masyarakat tidak melihat partai pengusung.
Koalisi kekeluargaan poros cikeas melihat ada kesempatan untuk dapat mengambil
hati pemilih di DKI jakarta dengan menghadirkan sosok baru yang sudah menjadi
idola masyarakat ditengah kebuntuan menemukan sosok untuk dapat menandingi
petahana.
Masih Dini Kah ?
Setelah resmi
diumumkan, banyak kalangan menyayangkan karir AHY di dunia militer. Bahkan
tidak sedikit yang mencibir bahwa AHY masih terlalu dini dan belum
berpengalaman berpolitik serta banyak yang berkomentar bahwa AHY dikorbankan
SBY untuk memenuhi ambisi kekuasaannya.
Rasanya begitu naif
apabila SBY tanpa perhitungan yang matang, ataupun hanya untuk memenuhi ambisi
kekuasaan sang ayah, akan dengan mudah meng”iya”kan tawaran untuk maju
bertarung. AHY yang sudah memiliki segudang prestasi di dunianya dengan rekam
jejak prestasi yang cemerlang,terlebih dengan pengorbanan berat yang harus dia
bayar, tentu AHY akan begitu kuat meyakinkan sang ayah apabila memang benar hanya
demi kekuasaan semata, masyarakat pasti dapat melihat dan menilai dengan jernih
bahwa AHY tidak sebodoh yang dipikirkan.
Terlalu dini dan belum
berpengalaman politik lah yang kemudian menjadi senjata ampuh untuk menyerang
AHY. Tidak ada indikator pasti bahwa “masih terlalu dini” atau “ini sudah
saatnya”, permasalahan utama dalam pengalaman kerja bukanlah pada lama tidaknya
seseorang, tetapi ada pada tingkat penguasaan serta keterampilan seseorang.
Waktu hanya sebagai salah satu indikator tetapi tingkat pengetahuan dan
keterampilan lah yang seharusnya dibuktikan. Ironis dapat dikatakan tatkala
semua orang berbicara, “Berikanlah kesempatan kepada anak muda”, tetapi mereka
sendiri yang berteriak menolak. Banyak anak muda yang sudah sukses menjadi
seorang kepala daerah yang semula memang diragukan kemampuannya dalam memimpin
sebut saja Gubernur Lampung M. Ridho Ficardo yang dilantik menjadi Gubernur
pada usia 33 Tahun; Gubernur Jambi Zumi Zola dan Gubernur Nusa Tenggara Barat
M. Zainul Majdi yang dilantik pada usia 36 Tahun, terlebih dengan zona nyaman
DKI Jakarta yang sebelumnya selalu dipimpin oleh seseorang dari latar belakang
TNI dengan paling tidak memiliki bintang di bahu nya. Sepertin masih belum
mengikhlaskan estafet kepemimpinan beralih ke anak muda.
Kepemilikan AHY akan
figur seseorang pemimpin sudah pasti tidak perlu diragukan lagi. AHY
bertanggung jawab, sudah pasti semua orang akan setuju bahwa sosok AHY bukanlah
orang yang akan dengan mudah menyalahkan orang lain dalam setiap masalah
pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. AHY adalah orang yang tegas, tentu
dengan latar belakang TNI yang dimiliki tidak perlu diragukan lagi. Persepsi
masyarakat sekarang masih terkotak bahwa tegas selalu identik dengan cara
berbicara yang keras dan kasar, terlebih dengan kondisi masyarakat DKI yang
sangat kompleks. Seorang pemimpin harus memiliki manajemen konflik yang bagus
dan menjaga hubungan baik pada semua lini dalam birokrasi. Etika pemerintahan
patut dijaga dengan baik tanpa harus mempertontonkan kegaduhan politik dalam
pemerintahan. Pengalaman berpolitik tentu seperti sudah dikatakan sebelumnya
banyak orang meragukan. Melihat sosok AHY dengan prestasi yang dimiliki serta
rekam jejaknya yang pernah berada di lingkungan istana, kita semua akan yakin
bahwa kemampuan AHY dalam politik dan pemerintahan tidak dapat kita sepelekan,
terlebih dengan statement banyak
pihak bagaimana rekam jejak prestasi dan kemampuan AHY belum ada yang
menandingi.
Kubu pengusung tentunya
sudah melihat sisi positif dan negatif apabila mengusung AHY, sehingga
ditunjuklah Sylviana yang notabene birokrat dengan pengalaman dan prestasi yang
mumpuni akan mampu mendukung kepemimpinan yang dimiliki AHY. Menjadi pekerjaan
rumah partai pengusung untuk memperkenalkan dua sosok ini kepada masyarakat
Jakarta dan meyakinkan masyarakat Jakarta dengan slogan Jakarta Untuk Rakyat.
Kita semua harus dapat
berpikir positif bahwa mengambil keputusan berat untuk keluar dari zona nyaman
merupakan sebuah langkah awal meniti kesuksesan. Menjadi seorang abdi negara
dan mengabdi untuk masyarakat, negara, dan bangsa tidak mengenal batas waktu
dan juga tidak mengenal wilayah penugasan. Bergantinya AHY dari Pakaian Dinas
Upacara Besar (PDUB) warna hijau menjadi Pakaian Dinas Upacara Besar (PDUB)
warna putih tidak akan menyurutkan kecintaan AHY pada almamater dan menyurutkan
kecintaan pada tanah air dan bangsa. Justru saat inilah AHY merasa terpanggil
untuk memberikan pengabdian kepada bangsa dan negara agar wajah Ibukota dapat
menjadi cerminan masyarakat dunia tentang kepeminpinan dan etika pemerintahan
sebenarnya.